Jumat, 08 Mei 2020

Tentang Mengenal Diri dan Dualisme Semesta

Perjalanan mengenal cara semesta bekerja adalah perjalanan ke dalam diri sendiri. Jadi mungkin, mungkiiiiinn… cara menguasasi situasi pun berasal dari penguasaan diri.
Mengenal diri sendiri maka akan erat kaitannya dengan mengenal emosi-emosi dan pikiran-pikiran di dalam sana. Kurasa kita seringkali tidak adil di sini. Kita cenderung menerima dengan tangan terbuka segala emosi positif seperti kebahagiaan, kepuasan, dan sebagainya. Tapi ingin cepat-cepat mengusir segala yang negatif seperti sedih, kecewa, stres, depresi, dan lainnya.
Padahal seharusnya kita paham bahwa di dunia ini segalanya dualisme. Senormal ada lelaki dan perempuan, siang dan malam, pagi dan petang, maka begitu pun dengan emosi. Ada positif dan negatif. Maka seperti menghadapi semua dualisme lain, baiknya seadil itu pula kita memperlakukan emosi. Karena tidak seperti semua kodrat dualisme lain, emosi atau psikologis ini cukup berbahaya menurutku.
Kita tidak akan menanggung kerugian yang destruktif ketika kita mengabaikan malam tapi menyambut siang, kan? Atau menolak keberadaan lawan jenis karena orientasi seksual kita yang mungkin berbeda dengan yang lain misalnya. Tapi urusan emosi ini berbeda. Jika kita terus menerus hanya menerima yang positif-positif aja tapi membuang yang negatif terus, kita sedang menciptakan monster dalam diri kita. Jika mungkin destruktifnya tidak langsung terasa, akan ada karakter yang tercipta dari kebiasaan itu. Naif, egois, keras kepala, merasa selalu benar, dan sebagainya. Pun sama bila sebaliknya, kita selalu memenangkan emosi negatif karena mungkin merasa kita tidak pantas bahagia atau takut bahagia. Keduanya sama saja, seperti kita sedang mengaktifkan bom waktu. Nanti kalo udah di tahap ini, mbenerinnya susah. Banget. Dan berat.

Premeditatio Malorum

Memiliki kesadaran akan dualisme ini penting. Terlebih dalam mendekap emosi negatif. Kita tidak perlu belajar untuk menerima emosi positif, bukan? Kayak kita ngga perlu belajar buat senang, tertawa, bahagia, dan sebagainya itu. Udah dari sananya kita siap menerimanya.
Tapi bagaimana dengan emosi negatif? Bagaimana menghadapi kekecewaan, kemarahan, stres, dan sebagainya? Jangankan menghadapi, bagaimana caranya mendekap mereka dengan kesetaraan yang sama dengan yang kita berikan ketika kita menyambut bahagia, senang, dan sebagainya?
Aku menyadari keberbahayaan ini sejak lama. Hingga kemudian berpikir, “Kayaknya ada yang salah. Jika situasiku 50:50. Maka harusnya aku mengerahkan 97% energiku untuk mempersiapkan diri menghadapi yang terburuk. Karena aku pasti akan siap-siap aja buat nerima yang terbaik.”
Ternyata dalam filsafat stoic, itu ada istilahnya. Namanya Premeditatio Malorum. Menyiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk sebelum benar-benar kejadian. Berat memang latihan di awal-awalnya tapi ini teramat berguna. Sangat, sangat berguna. Apalagi ketika harus menghadapi bencana emosi terakhir dulu itu. Aku mendapatkan ketenangan dan pengendalian diri yang tidak pernah kuduga akan kumiliki.
Stres itu boleh. Depresi itu wajar. Dunia ini memang terlalu brengsek untuk membiarkan kita terus bahagia. Tapi juga di situ asiknya ding. Kalo bahagia terus ya bosen juga sih ya? Ahahaha
Kurasa di situlah inti dari cara semesta bekerja. Yang sedang membuat kita kecewa, marah, atau depresi, belum tentu salah atau buruk buat kita. Mungkin selama ini kita terlalu banyak mengusir emosi negatif sehingga semesta ingin kita membayar itu dulu sebelum merasakan yang bahagianya. Pun sebaliknya, yang sedang membuat kita bahagia melayang bukan kepalang juga belum tentu pasti baik dan benar untuk kita. Siapa tahu itu hanya jalan untuk menuju ujian lain? Atau bisa jadi juga sih itu hadiah karena kita udah mau melewati yang negatif-negatif. Mana yang benar? Kita sendiri yang tau.
Stres itu terlahir ketika kita mencoba mengendalikan realita. Sialnya, dalam banyak situasi, ternyata realitas tidak berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Tabrakan antara keinginan untuk mengendalikan, harapan, dan kenyataan yang sebenarnya ini yang kemudian meledakkan stres.
Jika awalnya kita tidak punya depresi, stres cukup mudah dihadapi. Tinggal cari distraksi aja kelar. Tapi kalo kita punya depresi, lain cerita. Depresi memicu overthinking yang kemudian seperti bahan bakar untuk mengobarkan stres.
Saat ada di situasi ini, coba tenang dulu. Ambil jeda. Berpikir sejernih mungkin. Jangan pernah biarkan ada asumsi dalam tempurung kepalamu itu. Saran paling bijaksana yang bisa ku kasih adalah, cobalah bangun kesadaran penuh tentang keberadaan dirimu. Mindfulness kurang lebih istilahnya. Sadar dan paham yang sedang kita lakukan dan keadaan realitas yang sedang kita hidupi.
Kadang pikiran kita menipu kita habis-habisan. Contohnya, kita sedang laptopan, entah kerja, entah nulis jurnal kayak sekarang. Trus pikiran kita mulai rusuh nih ngga bisa diem. Jadilah dia loncat ke suatu situasi, membuat kita berpikir, “Harusnya aku melakukan itu”. Atau, “Harusnya aku tidak melakukan itu”. Lalu membawa ke, “Oke aku akan melakukan ini, ini, dan ini tapi rumit juga ya. Pasti bakal gini, gini, gini. Ah, hidupku memang seburuk ini. Ngga pernah ada yang ngertiin aku!”
Udah rumit aja tuh kan pikiran. Padahal kita lagi ngapain? Laptopan! Iya, laptopan doang. Dan ngga ada yang berubah juga. Dunia tetep gini-gini aja. Covid-19 masih berkuasa, Kim Jong Un ngga jadi mati, Trump tetep bego, ngga ada yang berubah. Tapi di semesta kita, di dalam sana, udah semacam ada perang antar galaksi aja chaosnya, kan?
Lalu harus gimana? Dikendalikan? Nggak juga sih menurutku. Mengendalikan pikiran tu terlalu ekstrem sih. Berasa kayak Dr. Strange. Mungkin cara lebih manusiawinya adalah kitanya yang harus mengambil jarak dari pikiran kita. Kalo memang yang di dalam sana sedang serumit itu, ya udah gapapa. Tapi kita harus paham bahwa itu hanya ada di kepala kita. Perumpamaanku sih semacam nonton di bioskop. Ada jarak dan kesadaran penuh untuk memahami segala aspeknya.
Semua orang punya cara mengatasinya masing-masing. Curhat sama Allah salah satunya. Atau meditasi. Atau apapun. Coba aja semuanya. Yang baik-baik lho ya. Jangan yang destruktif.
Tapi apapun cara yang kita pilih, pastikan kita tidak mengusir atau melawan emosi negatif itu. Jika semesta sedang ingin kita lebih tangguh dengan memberi kita kebrengsekan duniawi seperti stres, kecewa, marah, dan sebagainya, maka tugas kita adalah menerimanya. Memahaminya. Belajar dari sana. Kalau Allah menempatkan kita di posisi nggak enak itu, maka Dia juga akan membawa kita melewatinya.
Kalo hari ini belum baik-baik aja, gapapa. Besok kita coba lagi. ;)

Selasa, 05 Juni 2018

Jangan Buka Email Kantor Setelah Selesai Jam Kerja


Itu ilusi. Setidaknya untuk saya.

Awal memutuskan bekerja jadi karyawan dulu, aku berkomitmen untuk apapun yang ada di kantor tetap di kantor. Jangan mensinkronisasi email kantor ke hape. Kenapa? Karena di MoU aku dibayar untuk bekerja 8 jam sehari. I was just trying to be fair kan. Kemudian akhirnya? Jangankan mensinkronisasi email ke hape, lagi cuti liburan aja ditelepon urusan kerjaan, ku angkat. :”

Sejujurnya, pemikiranku waktu itu adalah karena aku cukup miris melihat betapa sekarang urusan pekerjaan untuk kebanyakan orang seperti sudah melanggar batas. Mereka (atau kita) bekerja seperti tidak lagi mengenal jam kerja. Setelah pulang kantor, sembari di jalan, ada email masuk, cek dulu, balas. Malem, di rumah yang seharusnya menjadi jatah keluarga, ada email, cek lagi, bales lagi. Mikir lagi. Atau mungkin malah telepon. Urgent katanya. Ngga bisa nunggu besok. Keburu keduluan kompetitor. Atau, keburu dunia kiamat. Entahlah.

Nanti pagi, bangun tidur, ada segunung email masuk untuk hari itu, cek lagi. Di jalan ke kantor udah sibuk dengan mobile gadget menangani kerjaan ini-itu. Bahkan, denger dari beberapa teman mereka ada grup WA kantor yang isinya bahas kerjaan!

Kurasa memang benar teknologi mempermudah (hampir) segalanya tapi di sisi lain, kita yang semakin menyambut uluran ‘tangannya’ ini membuat beberapa hal lain menjadi kelewat tidak tahu diri.

Sialnya (kalau ini mungkin hanya di kantorku sih), HR hanya menghitung jam kerjaku ketika aku sign in di sistem kantor yang itu hanya bisa dilakukan setelah udah nyampe kantor. Kan… rada ngeselin. :’D

Jadi sebenarnya sehat ngga sih membiarkan ini berlarut?

Tergantung. Ada di posisi mana kita berada.

Satu ruangan di lantai 2 kantorku, dimana setiap harinya aku teronggok di situ dari pagi sampe malem (lebay sih), aku termasuk salah satu tim pulang-terakhiran. Lainnya adalah 2 Project Manager, Service Delivery Manager (SDM), salah satu Developer (kalo ini sih emang dia berangkatnya siang), sama palingan beberapa Lead Dev. Dan, orang-orang ini juga yang masuk kategori “diganggu email diluar jam kerja”.

Awalnya aku sempat khawatir, apa aku terlalu berdedikasi ya? (cyailah ahaha).

Suatu sore, tinggal berdua. Aku dan si SDM. Hari itu bener-bener yang ngos-ngosan sangat. Meeting bertubi-tubi, task membumbung macam wedus gembel Gunung Merapi, dan detlen semua task minta hari itu juga. Kan kurang ajar.

Kemudian, sembari nungguin si SDM report (kami ada daily report yang harus dikirim ke atasan tiap hari), curhatlah daku.

“Kok kerja gini-gini amat ya, Mas? Lelah lho aku tu. Pengen nikah aja deh.” Yang terakhir 100% bercanda. Serius.

Si SDM ngakak ngga abis-abis. Dia, yang sudah menikah dan berhasil bikin anak 1, bilang, “Itu ngga nyelesein masalah, Neeeng!”

Terus akhirnya kita sama-sama ngakak secara menyedihkan.

Tapi kemudian, dari sore itu kita ngobrol, ternyata bukan hanya aku yang tergelitik untuk ngecek email di luar jam kerja. Mereka malah lebih parah. Kalau aku hanya harus report ke atasan (Indonesia), mereka harus report ke atasan (Indonesia), atasan (Aussie), dan para klien yang sedang mereka ternak. Dan itu sering kali mereka lakukan di rumah. Malem.

Dari situ akhirnya aku punya pemikiran baru.

Mungkin memang terdengar menyedihkan. Mungkiin memang bagi sebagian orang melakukannya akan teramat menyedihkan dan stressful tapi untuk kami yang enjoy dengan apa yang kami kerjakan (atau setidaknya saya sih) itu biasa aja.

Untuk saya sendiri, ngecek (dan kadang juga bales) email di luar jam kerja udah kayak ngecek notifikasi sosmed aja. Ya udah. Sometime you have to deal with it but most of the time you can just ignore it. Just, be wise. Toh, ngga semua email harus direspon saat itu juga. Karena sejujurnya, itu hanyalah salah satu usaha untuk menjaga kedamaian jiwa. Untuk beberapa orang yang memiliki tanggung jawab lebih, memastikan kapal tetap di jalur dan (seburuk-buruknya) mempertahankannya untuk tidak tenggelam jauh lebih menenangkan daripada berusaha mengabaikan detail kecil (semacam ngecek email) tapi kemudian ketika besoknya kembali online, kapal sudah porak poranda. Karena memperbaiki keadaan ketika segalanya sudah mawut jauh lebih stressful daripada melakukan tindakan preventif.

Hanya saja, untukku, tetap ada batas. Jangan manjakan klien/rekan kerja yang ngemail dengan merespon email saat itu juga. Kalau itu memang teramat urgent, silakan. Tapi kalau itu bisa ditunda besok, kerjakan besok. Meskipun kalau itu urgent aja (bukan urgent banget) dan masih negotiable, ya coba aja dinego buat dikerjain besok. You still have a life to live, though.

Dibilang workaholic? Biarin aja. Terdengar menyedihkan? Yaa udahlah yaa. Yang paling penting adalah gimana kitanya yang ngerasain. Kalo itu ngeselin, ganggu, dan bikin stress, ya jangan lakuin. Tapi kalo itu cost nothing, biasa aja, atau malah nyenengin (untuk beberapa side effectnya) ya udah lakuin aja. Jangan terlalu berpegang pada standar umum bahwa bekerja di luar jam kerja itu menyedihkan, tidak seharusnya begitu, dll. Kalo kita ngga masalah ngelakuinnya, ya lakuin aja. Orang bakal selalu berkomentar. Bukan berarti itu buruk. Mungkin mereka hanya ingin menunjukkan kepedulian mereka ke kita (positif thinking aja hehe). Atau mungkin mereka emang crigis sih. Yaudahlah, intinya biarin aja.

Lakuin apa yang nyenengin - asal ngga melanggar peraturan atau merugikan pihak lain. Jadi ya bodo amat.

Minggu, 28 Mei 2017

Buku Motivasi

Aku selalu underestimate dengan buku motivasi. Entahlah, mungkin karena mindsetku udah terlanjur tersetting bahwa buku motivasi hanya untuk mereka yang desperate atau butuh support. Sebentar, baiknya aku persempit dulu buku motivasi yang kumaksud. Dalam hal ini yang aku underestimate-in adalah buku motivasi yang dalemnya isinya kumpulan quotes (orang lain). Jadi, mari kita sepakati bahwa istilah buku motivasi yang kubicarakan di sini adalah buku kumpulan quote. Oke? Sip.

Balik lagi.

Mau secanggih apapun quote-nya, seciamiks apapun layoutnya, se-responsive apapun bukunya (emang website pake istilah responsive XD) aku terlanjur berprasangka buruk dengan buku macam itu. Bahkan pernah bicara pada diriku sendiri bahwa aku bersumpah tidak akan pernah membeli buku macam itu.

Tapi akhirnya aku beli.

Baiklah.

Mungkin tulisan ini aku buat sebagai bentuk klarifikasi terhadap diriku sendiri. Karena (hanya) dengan membeli buku motivasi itu rasanya aku sudah mengkhianati bagian dari diriku yang lain. Dan berdamai dengan diri sendiri selalu tidak mudah. Huft.

Bagi kalian (yang mungkin tersesat membaca ini) mungkin tulisan ini tidak penting. Jadi, please, skip aja. Tapi bagiku ini penting. Karena setelah kupikir-pikir, aku selalu seperti itu. Saat aku mengingkari sesuatu yang kujanjikan pada diriku sendiri, aku merasa harus memberikan penjelasan yang bisa diterima oleh diriku yang lain. Yang kumaksud "diriku yang lain" bukan berarti aku berkepribadian ganda, ya. Hanya saja, begini, kurasa setiap kita sering ada momen berbicara pada diri sendiri nggak sih? Nah, untukku momen berbicara kepada diri sendiri itu seringkali terdengar seperti sebuah percakapan dalam kepalaku. Gagasan, ide, inspirasi, bahkan skenario cerita biasanya muncul dari momen itu. Jadi, diriku yang lain yang kumaksud adalah suara lain yang ada dalam kepalaku. Atau, ah, sudahlah. Gitu pokoknya.

Tidak ada yang salah dengan buku motivasi. Kurasa penyusunannya pun juga tidak lebih mudah dari buku biasa (novel, kumcer, dsb - aku tidak menyebut buku pengetahuan/penelitian ya!). Maksudku, bukan berarti buku motivasi memiliki kasta lebih rendah dari buku yang lain hanya karena aku tidak menyukainya. Dan setiap buku memiliki penggemar dan keistimewaannya sendiri. Mungkin aku hanya bukan bagian dari penggemar buku motivasi. Kalau dalam bahasa bisnis, aku bukan target marketnya. Semoga dengan penjelasan itu kalian paham bahwa alasanku tidak suka buku motivasi adalah alasan yang sepenuhnya subjektif dan tidak ada maksud untuk mendiskreditkan penggemar, penulis, atau buku motivasi itu sendiri.

Alasan kenapa aku tidak menyukai buku motivasi adalah sesederhana aku tidak membutuhkannya. Sejauh ini aku belum menemukan alasan untuk membeli buku itu. Jadi kenapa akhirnya aku membelinya? Karena temanku yang membuatnya. (Maafkan aku Icak dan Mba Diah XD).

Aku selalu mencoba untuk mensupport karya teman. Tidak ada alasan khusus, cuma pengen aja. Seneng aja liat temen seneng (cyaelah). Kalo aku lagi ada uang longgar ya aku beli (kalo itu mereka jual), kalo lagi bokek ya bantu ngeshare. Semacam itu deh. Suatu kebahagiaan tersendiri untukku bisa mensupport mereka.

Kemudian, tibalah saat si Icak sama Mba Diah mempost di fb pilihan cover buku baru mereka, yang selanjutnya aku tahu itu adalah buku motivasi yang berupa kumpulan quote yang kubicarakan di atas. Dyarrr. Aku membatin, "Sialan. Ada jutaan jenis buku di dunia ini kenapa kalian memilih buku itu?!"

Kegalauan pun terjadi. Apakah aku akan membelinya atau kuabaikan saja. Awalnya aku berpikir, ah ya udahlah, next karya mereka aja aku belinya. Tapi kemudian terjadi percakapan ini dalam kepalaku.

"Kamu udah berkomitmen buat ngesupport temen! Apa-apaan kamu ini malah pilih-pilih!"

"Tapi aku tidak suka buku macam itu! Aku kan sudah pernah mengatakannya!"

"Tapi ini temenmu yang mbikin! Mereka bersusah payah untuk itu, mana apresiasimu?!"

"Aargh, fuck."

Dan akhirnya aku membelinya. Meskipun butuh berbulan-bulan untuk sampai di keputusan itu. Karena kemudian aku mengerucutkan perdebatanku menjadi "Teman" atau "Ego"? Lebay betul memang. Yah, sometimes shit happens, kan? Kita tidak selamanya akan menyukai hal yang sama. Tidak selamanya akan sama-sama setuju. Tapi pun ada kalanya kita mengalahkan ego untuk suatu keadaan yang mungkin lebih baik.

Tapi aku tetap tidak suka buku motivasi.

Jumat, 06 Januari 2017

Eraser #07 - Fajar

Sebelumnya : Eraser #06- Perkenalan

Sebelumnya aku sering uring-uringan dengan siklus tidurku. Entah kapan mulainya tapi yang pasti sejak menjadi mahasiswa seni rupa aku memiliki siklus tidur yang agak berbeda. Aku akan otomatis terbangun setiap 4 jam. Urusan apakah nanti bisa tidur lagi atau tidak tergantung apa yang kulakukan setelahnya. Siklus baru ini agak menyebalkan, kau tahu, karena hasrat untuk tidur molor bangun siang saat weekend hancur berantakan.

Tapi itu dulu. Sekarang rasanya aku sangat mensykuri bisa tidur selama 4 jam. Aku terbangun dengan kepala pusing karena tubuh masih menuntut untuk tidur lebih lama. Ketika kulihat jam digital di dashboard aku mendesah pasrah untuk menyuarakan keluhanku. Belum ada dua jam! Pantas saja. Aku tidak akan terima kalau setelah ini siklus tidurku berubah menjadi dua jam. Astaga, itu tidur atau kedip?

Kulirik di sebelah kananku, Adriel masih nyetir. Masih hidup. Seketika aku merasa keluhanku teramat kekanakan. Entahlah, melihat dia masih segar bugar begitu aku jadi malas untuk kembali tidur. Jadi kutegakkan dudukku sembari menghela napas panjang dan dalam. Rupanya sudah mulai pagi. Langit di luar sana beranjak cerah meskipun sekeliling masih gelap. Lampu-lampu penduduk juga belum dimatikan. Tiba-tiba aku merasa nyaman. Adriel membuka kaca jendela di sebelah kiriku membuat sepoi angin pagi yang dingin dan segar menggelitik leherku. Aku menikmatinya. Kombinasi langit dongker yang digradasi dengan hijau cerah dengan beberapa sentuhan jingga di ufuk timur sana terasa begitu menyenangkan dilihat. Sayangnya aku tidak bisa melihat langsung, hanya melalui spion.

“Kita di mana?” tanyaku.

Jelas sudah bukan di Solo. Jika kuhitung perkiraan waktu tidurku kurasa sekarang kami sudah melewati Solo. Seandainya Adriel melajukan mobilnya terus ke arah Barat mungkin saat ini kami di daerah Klaten atau perbatasan Jogja. Atau malah sudah Jogja?

Adriel tidak menjawab. Aku menemukan jawabannya sendiri. Melalui billboard terakhir di pertigaan besar setelah memasuki wilayah Jogja sebelum Adriel berbelok ke kiri. Sudah Jogja. Kami ke arah Wonosari.

Tidak tahu mau melakukan apa dan tidak yakin juga ide bagus akan datang segera, getaran ponsel di sakuku terasa menyenangkan. Kuambil gadgetku itu dan baru sadar aku tidak memeriksanya sejak kemarin. Dengan semua kegilaan itu? Yang benar saja. Lagipula aku juga tidak punya kewajiban harus setor kabar kepada siapapun (a.k.a. jomblo. Skip.).

Mataku otomatis membelalak saat melihat ada begitu banyak notifikasi. Waow, sejak kapan seramai ini? Dari pop up-nya yang paling menarikku adalah salah satu chat messanger berlogo hijau dengan gambar telepon di tengah. Sudahlah, kurasa kita sama-sama paham apa yang kumaksud.

Aku baru membaca beberapa kalimat pertama dari teman-teman kampus maupun anak-anak kos yang menanyakan keberadaanku. Widih, tumben. Tunggu dulu, kenapa mereka sepeduli ini? Apa para polisi itu kembali datang ke kosan? Atau kabar menghilangnya aku dari kantor calon tempat magang kemarin sudah, entah bagaimana, tersebar? Astaga, segala pemikiran akan kemungkinan-kemungkinan ini benar-benar mengerikan. Namun, meski demikian, aku masih penasaran dengan chat dari Atika yang kamarnya di depan kamarku dan satu-satunya orang di kosan yang paling sering kurepotkan. Pesannya paling banyak. Aku menyentuh namanya kemudian loading. Sial, sinyal di sini busuk sekali.

Loading selesai dan hendak terbuka ketika Adriel secara mengejutkan mengambil ponselku dan membuangnya keluar melalu jendela. Aku seketika terbelalak dan membuka mulut lebar-lebar demi keterkejutan yang menyeruak minta diekspresikan.

“WHAT THE F-! APA YANG KAULAKUKAN?!” teriakku setelah menemukan suaraku.

Adriel hanya mendengus lelah, atau semacam putus asa, melihat reaksiku.

“Berhenti nggak?! Berhenti aku bilang!” Aku tidak percaya, Adriel tidak meresponku. “Adriel!”

Lelaki itu menghentikan mobilnya secara tiba-tiba kemudian menatapku intens dan tajam. Aku yang sebelumnya sudah sangat percaya diri memuntahkan kekesalan tiba-tiba ragu. Bingung sendiri, bagian mana dulu yang ingin kulontarkan?

“Apa?” tagihnya dengan nada menantang.

“Ya… ya apa maksudnya tadi itu? Itu ponselku satu-satunya!” ujarku mengais sisa-sisa kepercayaan diri.

“Dan ini adalah hidupmu satu-satunya!” balasnya.

Dahiku mengerut lebih dalam dan lebih berlipat dari sebelumnya. Aku mulai ragu. Sepertinya segalanya semakin jelas, aku bukan hanya sedang terjebak bersama seorang kriminal tapi juga orang gila!

*
Akhirnya aku mengalah meskipun masih dengan bersungut-sungut. Jelas. Aku tidak menemukan pembelaan yang masuk akal setelah Adriel mengutarakan alasannya dan aku-masih-kesal! Menurutku tindakanku wajar. Bagaimanapun, itu ponselku! Yang kubeli setelah bertahun-tahun menabung. Bohong ding, setelah mengerjakan beberapa proyek terkait desain dan branding sebenarnya. Tapi tetap saja!

“Mereka akan mengetahui keberadaan kita tepat setelah kau online,” begitu katanya.

Oke, masuk akal. Mungkin. Setidaknya begitulah yang sering terjadi di film-film action akhir-akhir ini. Jadi aku mencoba untuk tidak mempertanyakan teori itu. Tapi sepertinya aku sudah cukup lama menjadi anak baik yang tidak banyak tanya sejak kegilaan ini dimulai. Mungkin ini saat yang tepat menuntut hakku untuk tahu segala yang kuperlukan, bukan begitu? Kau tentu tidak bisa terus menerus lari bersama seseorang yang baru saja kau kenal yang jelas-jelas kriminal tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, kan?

“Jangan sekarang. Aku sedang tidak ingin menjelaskan apapun,” ujar Adriel yang serta merta kusambut dengan mulut terbuka lebar dan mata membelalak maksimal?

“Aku bukan psychic, paranormal, peramal, atau apalah. Itu tergambar jelas di wajahmu. Sekarang diamlah. Sebentar lagi kita akan sampai.”

Belalakan mataku berubah menjadi kerutan berlipat di dahi. Semacam sebuah akumulasi kesal, heran, dan sebal yang bercampur menjadi satu namun tidak menemukan cara yang tepat untuk diekspresikan. Maksudku, aku bahkan tidak mengatakan apapun!

Tapi akhirnya aku menurut dengan bodoh seperti biasanya. Lagipula aku juga tidak terpikirkan hal lain. Dan Adriel menepati ucapannya. Setelah naik turun beberapa bukit berbatu dan jalan berkelok yang membuatku mengimajinasikan negeri-negeri rahasia milik para peri. Maaf, imajinasiku kadang sedikit liar memang. Tapi aku tidak bohong, ini awesome!

Aku sudah beberapa kali ke pantai-pantai Gunung Kidul (sebelah selatan Jogja, FYI) dan sebanyak itu pula aku selalu takjub dengan pemandangan di daerah sini. Bukit-bukit berbatu menjulang mengepung sepanjang jalan. Selingan pepohonan khas daerah kering dengan warna daun gradasi hijau ke kuning memberikan sentuhan magic tersendiri. Kemudian, yang membuat suasana ini sempurna adalah saat ini masih teramat pagi. Terlalu pagi bahkan hingga udara belum dibebani napas-napas para pendosa. Hehe.

Setelah beberapa tikungan, Adriel memperlambat laju mobilnya. Dari jalan utama, kami berbelok ke kiri, memasuki gang sempit dengan jalan setapak berbatu. Di kanan kiri sejauh mata memandang hanya terlihat kebun jati dengan beberapa Pohon Jamblang atau Duwet atau Syzygium cumini sebagai penyela ditambah beberapa gerombol bambu di kejauhan. Aku tidak terlalu yakin akan menemukan hunian di dekat sini tapi aku menahan komentar maupun pertanyaan.

Kemudian, setelah menaiki tanjakan sekali lalu belok kanan, terlihat sebuah rumah dengan halaman luas sekitar 100 meter di depan serong kiri kami. Rumah itu hanya satu-satunya di sini. Setidaknya di radius 100 meter atau sejauh mata memandang. Selain halamannya yang cukup luas, selebihnya rumah itu dikelilingi kebun jati dan beberapa pohon khas daerah kering lainnya.

Kami semakin mendekati rumah bergaya tradisional Jogja dengan seluruh dindingnya dari kayu. Di halaman depan ada seorang gadis sedang menyapu halaman menggunakan sapu lidi. Gadis itu lebih muda dariku sepertinya. Mungkin sekitar SMA kelas X atau XI. Begitu kami mendekat, Gadis itu menghentikan kegiatannya. Dari ekspresinya sepertinya ia begitu bersemangat melihat mobil ini. Ia meneriakkan sesuatu ke dalam yang kemudian disambut dengan keluarnya seorang wanita yang mengenakan baju tradisional jawa plus jarit sebagai bawahan. Rambutnya dicepol di belakang. Dari kerutan di wajahnya mungkin usianya sudah memasuki 60an. Entahlah, aku tidak terlalu baik dalam menebak usia orang dewasa.

Ketika akhirnya Adriel mematikan mesin, si Gadis Belia langsung berlari menghampiri di pintu sisi kanan. Gadis itu memeluk Adriel erat ketika lelaki itu keluar. Adriel reflek mengaduh. Gadis itu terlihat khawatir kemudian meraba-raba tubuh Adriel. Tapi Adriel hanya tersenyum sembari mengusap kepala si Gadis kemudian berkata, “It’s okay. Nothing serious. Di mana Eyang?”

Aku yang menyaksikan semua itu sedikit mengerutkan dahi. Apa Adriel terluka?

Si Gadis menarik Adriel, mengajaknya ke dalam. Aku jadi agak kikuk tidak tahu harus bagaimana hingga akhirnya si Wanita usia 60an berkebaya menghampiriku sembari tersenyum.

Mangga, Mbak. Mlebet,” ujar wanita itu menyapaku dengan senyum ramah. Artinya, silakan, Nak. Masuk.

Aku membalas senyum ramah wanita itu. Syukurlah, setidaknya masih ada seseorang yang ramah di sini. Tidak seperti seorang laki-laki yang meninggalkan tamunya begitu saja demi tarikan seorang gadis labil!

-___-*

Wanita berkebaya itu memperkenalkan dirinya sebagai Mbok Giyem. Beliau semacam asisten rumah tangga di sini. Dan, hei, ternyata rumah ini cukup ramai juga. Ada sekitar tiga atau empat anak-anak lain di sini. Mereka masih di bawah 10 tahun atau belasan awal. Aku tidak tahu pastinya. Menurut Mbok Giyem rumah ini adalah semacam panti asuhan mini meskipun tidak persis seperti itu. Belakangan aku tahu bahwa anak-anak yang ada di sini semuanya difabel. Bapak yang mengurusnya dengan bantuan Mbok Giyem.

Fakta ini membuatku penasaran apakah itu artinya dulunya Adriel juga tinggal di sini? Kurasa wajar jika aku mendapat kesimpulan demikian. Setidaknya begitulah yang terjadi di cerita-cerita, kan?

Tapi kata Mbok Giyem, “Bukan. Nak Adriel bukan dari sini. Beliau juga jarang berkunjung.”

Menurut Mbok Giyem ini adalah kunjungan Adriel setelah sekian tahun. Aku mengerutkan dahi. Lalu kenapa…

“Nak Keyla mandi dulu, ya. Biar tidak kelamaan menunggu. Sebentar lagi sarapan siap,” ujar Mbok Giyem.

“Eh, iya, Mbok. Terima kasih,” ucapku, enggan untuk bertanya lebih jauh.

Aku mandi cukup lama. Setidaknya begitulah menurut perkiraanku. Setelah akhirnya selesai, di tempat tidur sudah ada satu set baju bersih yang entah bagaimana terlihat bersinar menawan di mataku. Setelah semua kejadian kemarin, mandi dan baju bersih adalah keistimewaan.

Begitu aku menyelesaikan segala urusanku, aku keluar sembari memperkirakan dimana dapur berada. Hasrat terdalamku begitu ingin menagih tawaran Mbok Giyem tentang sarapan tadi. Boleh, kan?

Langkahku terhenti ketika mendengar suara Adriel di sebuah ruangan.

“Maaf, aku datang lagi,” ujar suara Adriel.

“Sudah kubilang, jangan pernah minta maaf. Rumah ini selalu terbuka untukmu, Nak,” sebuah suara, seperti suara kakek-kakek yang menjawab.

Sepertinya ini pembicaraan personal jadi aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Akhirnya! Baiklah, setelah nyasar dua kali memasuki ruangan yang salah. Aku menemukan dapur tempat dimana Mbok Giyem sedang menyiapkan sarapan dikelilingi para bocah, riuh. Mbok Giyem dengan sabar meladeni mereka. Saat kemudian ia menyadari keberadaanku, Mbok Giyem mempersilakanku duduk dan menunggu sebentar. Aku tersenyum dan mengiyakan. Kemudian duduk di sebelah si Gadis yang tengah menyiapkan sayuran.

“Hai,” sapaku. Gadis itu diam saja. Tunggu, aku tidak membuat kesalahan, kan?

“Aku Keyla. Namamu siapa?” tanyaku. Dan si Gadis tetap diam.

Kemudian, seperti sebelumnya, Mbok Giyem menyelamatkanku lagi. Wanita itu datang membawa sarapanku dan mengambil tempat duduk di sebelah kiriku.

“Namanya Arum, Mbak Keyla. Mohon dimaafkan tapi dia tunarungu dan wicara,” jelas Mbok Giyem.

“Oh… astaga, maaf, Mbok. Saya nggak tahu,” kataku tidak enak.

Pantas saja aku tidak bisa mengerti teriakannya tadi dan seharusnya aku lebih peka dengan kediamannya sejak awal.

Mbok Giyem membawakanku sekepal nasi kapok lengkap dengan tempe bacem dan teh anget. Ya Tuhan, ini benar-benar cuilan surga. Aku pernah mencicipi makanan tradisional ini waktu KKN dulu dan rasanya menyenangkan. Kombinasi teh anget dan pagi membuatnya sempurna. Aku berterima kasih kepada Mbok Giyem.

Tidak lama kemudian Adriel datang dan menyapa kami semua. Terutama Mbok Giyem. Yang paling mengejutkan adalah bagian dirinya yang bisa begitu akrab dengan anak-anak itu. Benar-benar sulit dipercaya seorang Adriel (yang sejuh ini kutahu) bisa begitu sabar dan telaten meladeni celoteh anak-anak itu. Aku reflek tersenyum melihat pemandangan menyenangkan ini.

Adriel baru pergi setelah Mbok Giyem menyuruhnya mandi dulu sebelum sarapan dan saat itu aku baru menyadari betapa kotor dan kucelnya dia. Sepertinya begitu pula wujudku ketika datang tadi. Pantas saja Mbok Giyem buru-buru menyuruh mandi. Aku diam-diam tertawa dalam hati.

“Nak Keyla,” panggil sebuah suara. Suara Kakek yang tadi kudengar sedang mengobrol dengan Adriel.

Aku menoleh. Kudapati seorang kakek pendek berkupluk putih, berbaju tradisional jawa dengan sarung sebagai bawahan. Selayaknya kakek, rambutnya sudah memutih semua dan ada kerutan-kerutan di sana-sini. Tapi raut wajahnya terlihat damai dan bijaksana. Semacam ada sesuatu dari ekspresi wajahnya yang membuat kita merasa tenang dan ingin berlama-lama di dekatnya. Lalu, seakan melengkapi semuanya, Kakek ini juga memakai tongkat kayu untuk menyangga tubuhnya.

Aku tersenyum demi membalas panggilan si Kakek.

"Boleh kakek bicara sebentar?"


Eraser #06 - end.

Sabtu, 01 Oktober 2016

Eraser #06 – Perkenalan



Aku benci momen ini. Ketika hal entah apa terjadi dan waktu seakan melambat, sangat lambat. Seakan Sang Waktu suka sekali membuatku ‘menikmati’ saat-saat aku berada di batas antara hidup dan mati. Satu tembakan lagi mendesing dan sisa pintu kaca pecah berserakan. Dia masih dalam posisinya memepetku—setengah memeluk untuk membuatku benar-benar meringkuk dalam lindungannya. Anehnya (setidaknya untukku) dia sama sekali tidak panik. Sama sekali. Bahkan napasnya pun begitu tenang. Meskipun matanya menajam dan ada sedikit kerutan di keningnya. Mungkin dia sedang menyusun rencana di dalam kepalanya. Aku? Jangan tanya. Aku bahkan tidak bisa menghentikan getaran tanganku.

“Tetap di sini,” perintahnya.

Jangankan menjawab, untuk mencerna ucapannya saja aku butuh waktu lebih lama dari seharusnya. Sementara itu, detik berikutnya dia sudah pergi masuk ke rumah diiringi dengan suara-suara tembakan saling membalas, benda-benda pecah atau jatuh. Ribut sekali. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi di dalam. Selain karena masih syok atas semua kegilaan ini, percayalah, di dalam begitu gelap.

Aku tahu dia menyuruhku untuk tidak kemana-mana, dan aku sadar dengan keadaan ini seharusnya aku menurut tanpa argumen. Hanya saja, entah bagaimana, intuisiku memohon untuk masuk. Aku tidak bisa menyangkal aku tidak mengkhawatirkannya. Sekeras apapun aku mencoba meyakinkan diriku bahwa dia adalah seorang kriminal profesional[1]  tetap saja aku khawatir. Bagaimanapun, hei, terakhir kali — erm, pertama kali juga sebetulnya— dia melakukan kejahatan[2] (yang kutahu) keadaannya berakhir mengenaskan. Berdarah-darah dan mendobrak masuk ke rumah kosku. Sial, sifat sok peduliku ini memang terkadang menyebalkan!

Aku baru melangkahkan kaki ketika menyadari sesuatu. Kaki kananku menginjak benda keras; sebuah pistol. Entah apa jenisnya, siapa peduli. Dan siapa pula yang peduli apakah aku bisa menggunakan benda ini atau tidak, aku tetap mengambilnya. Saat ini aku hanya akan memenangkan intuisiku atas segala asumsi. Apapun.

Perlahan, aku mengendap masuk. Ruangan tiba-tiba sunyi senyap ketika menurut perkiraanku aku belum masuk terlalu dalam. Aku mengutuk keputusanku karena momen ini datang lagi. Kombinasi kesunyian dan waktu yang ‘melambat’ tidak pernah membawa kabar baik. Di atas segalanya, jantungku benar-benar rusuh dan tanganku, yang memegang pistol hanya berdasar referensi film action Hollywood, seketika basah berkeringat. Dalam urusan penggabungan tegang, takut, dan gugup ini aku benar-benar payah.

Sekelebat bayangan hitam tiba-tiba melintas di depanku membuatku reflek membeku di tempat dan melupakan bernapas. Bayangan itu berhenti dua langkah di depan serong kiriku. Aku masih menganggap mematung sebagai langkah yang bijaksana. Detik berikutnya lampu ruangan menyala. Tindakanku yang tadinya terasa bijaksana mendadak terlihat bodoh. Dia berdiri di dekat sakelar dan memandangiku dengan alis terangkat sebelah.

“Kau susah mematuhi perintah, ya?” ujarnya.

Aku langsung berdiri tegak dan berlagak tanpa dosa.

“Aku cuma… hei, tunggu?!” Aku membatalkan mengajukan alasan ketika dia malah ngeloyor pergi.

“Mau kemana, sih? Tadi itu siapa? Orangnya kemana?” cecarku sembari mencoba menyamakan langkahnya.

Selesai aku menutup mulut sesuatu terjadi. Kami saat itu sedang ada di teras ketika rumah dan seisinya tiba-tiba meledak dan melemparkan kami keluar, ke halaman rumput yang basah dan menggenang air hujan. Telingaku berdenging dan pandanganku membayang. Aku belum bisa sepenuhnya menyadari apa yang terjadi ketika tanganku ditarik dan setengah terseok aku menurut saat dipapahnya untuk dimasukkan ke mobil.

Dia sepertinya tidak merasakan apa yang kurasakan akibat ledakan itu. Ataupun kalau iya, jelas ia pulih jauh lebih cepat karena dia terlihat baik-baik saja. Ketika kami sama-sama di dalam, dia memencet sesuatu yang kemudian menimbulkan munculnya suara perempuan yang mengatakan bahwa komputer sedang men-scan seisi mobil. Selanjutnya aku tidak tahu persis apa yang terjadi  karena tepat setelah itu aku kehilangan kesadaran.

*
Sepertinya aku pingsan tidak terlalu lama karena ketika terbangun di luar masih gelap. Tenggorokanku benar-benar kering dan tubuhku sakit semua. Aku beringsut untuk menegakkan dudukku. Saat itulah aku menyadari ada jaket hitam yang menyelimutiku. Reflek aku mengengok ke samping demi mendapati kursi dimana dia seharusnya berada kosong. Mesin mobil masih menyala, begitu juga dengan AC, dan semuanya. Mataku mencari ke sekitar. Kami sudah tiba di kota lagi meskipun aku tidak tahu persisnya dimana. Yang jelas, saat ini mobil ini berhenti di parkiran sebuah mini market franchise yang akhir-akhir ini menjamur di negeri ini. Dari kaca bening mini market aku melihatnya tengah membayar di kasir. Aku menghela napas panjang antara lega dan berharap mengurangi sedikit lelah. Setidaknya dia tidak meninggalkanku begitu saja.

Dua menit kemudian, dia masuk sambil membawa seplastik penuh barang. Setelah menutup pintu di samping kanannya, diambilnya sebotol air mineral kemudian diberikan padaku. Ah, akhirnya. Terima kasih semesta!

Thank’s,” ucapku serak sembari menerima botol airnya.

Dia meminum minumannya sendiri. Kemudian, sembari menstarter mobil, dia berkata, “Ada sandwich di dalam. Makanlah.”

“Kau sendiri?” tanyaku.

“Nanti.”

Aku mengangkat alis juga kedua pundakku demi membalas jawabannya. Siapa peduli deh, aku lapar. Kuambil sandwich dari dalam plastik putih yang ia letakkan di dashboard. Makanan selalu berhasil membuatku jadi pendiam, termasuk yang satu ini. Aku makan, dia nyetir. Hanya begitu selama beberapa menit ke depan. Sementara mobil semakin memasuki Solo lagi.

Reflek aku menoleh ke arahnya ketika setelah lampu merah dia lurus ke arah Solo. Seperti paham maksudku, dia bekata, “Apa?”

“Kita kembali lagi? Kukira kau akan menyembunyikanku atau semacamnya seperti yang kau bilang sebelumnya?” tanyaku. Sandwich-ku sudah habis.

Seharusnya aku menyembunyikanmu di rumah yang tadi tapi kau lihat sendiri itu tidak mungkin jadi kita ubah rencana,” ujarnya sambil memberi penekanan di kata ‘seharusnya’.

“Jadi?” tagihku.

“Kita temui seseorang dulu nanti kukasih tahu selanjutnya.”

Saat itu, aku belum mengerti orang seperti apa dirinya. Apakah dia adalah perencana yang baik? Ataukah risk taker? Jauh di atas semua itu, apakah dia ini baik atau jahat? Aku pun sama sekali belum mengerti situasi macam apa yang sedang kuhadapi dan bagaimana mungkin aku bisa terlibat. Apakah ini murni ketidak sengajaan  kesialanku saja atau memang dari awal aku memang berpotensi masuk dalam plot entah apa ini? Aku sama sekali belum paham apapun. Ada jutaan pertanyaan yang menumpuk dan berjejal di benakku. Aku tahu seharusnya aku tanyakan saja langsung saat itu juga. Menuntut penjelasan. Kurasa aku berhak akan hal itu. Tapi entahlah, selain karena kupikir belum waktunya juga sepertinya yang paling kubutuhkan saat ini adalah tidur. Aku terlalu lelah bahkan untuk mengajukan pertanyaan paling sederhana.

Melihatku beringsut menyamankan posisiku, dia menyalakan musik. Klasik. Aku tanpa sadar tersenyum tipis, geli melihatnya mencoba perhatian. Ketika mataku mulai berayun malas, dia berkata, “Adriel.”

“Namaku,” tambahnya.

Iya, tahu. Sahutku dalam hati.

“Key,” balasku. “Namaku Keyla.”

Jadi akhirnya kami resmi berkenalan. Dalam malam yang perlahan menuju pagi. Di mobil dengan alunan musik Chopin. Dan dengan cara yang, menurutku, paling aneh untuk sebuah perkenalan. Tapi aku tidak peduli. Saat itu aku hanya ingin tidur tanpa tahu bahwa perkenalan itu hanyalah sebuah awal dari suatu perjalanan panjang. Dan rumit.



[1] Entahlah atas dasar apa aku mengatakan ini.
[2] Mari kita sebut kejahatan karena kurasa sih kita sudah sama-sama setuju dia kriminal.