Itu ilusi. Setidaknya untuk saya.
Awal memutuskan bekerja jadi
karyawan dulu, aku berkomitmen untuk apapun yang ada di kantor tetap di kantor.
Jangan mensinkronisasi email kantor ke hape. Kenapa? Karena di MoU aku dibayar
untuk bekerja 8 jam sehari. I was just
trying to be fair kan. Kemudian akhirnya? Jangankan mensinkronisasi email
ke hape, lagi cuti liburan aja ditelepon urusan kerjaan, ku angkat. :”
Sejujurnya, pemikiranku waktu itu
adalah karena aku cukup miris melihat betapa sekarang urusan pekerjaan untuk
kebanyakan orang seperti sudah melanggar batas. Mereka (atau kita) bekerja
seperti tidak lagi mengenal jam kerja. Setelah pulang kantor, sembari di jalan,
ada email masuk, cek dulu, balas. Malem, di rumah yang seharusnya menjadi jatah
keluarga, ada email, cek lagi, bales lagi. Mikir lagi. Atau mungkin malah
telepon. Urgent katanya. Ngga bisa nunggu besok. Keburu keduluan kompetitor.
Atau, keburu dunia kiamat. Entahlah.
Nanti pagi, bangun tidur, ada
segunung email masuk untuk hari itu, cek lagi. Di jalan ke kantor udah sibuk
dengan mobile gadget menangani kerjaan ini-itu. Bahkan, denger dari beberapa
teman mereka ada grup WA kantor yang isinya bahas kerjaan!
Kurasa memang benar teknologi
mempermudah (hampir) segalanya tapi di sisi lain, kita yang semakin menyambut
uluran ‘tangannya’ ini membuat beberapa hal lain menjadi kelewat tidak tahu
diri.
Sialnya (kalau ini mungkin hanya di
kantorku sih), HR hanya menghitung jam kerjaku ketika aku sign in di sistem kantor yang itu hanya bisa dilakukan setelah udah
nyampe kantor. Kan… rada ngeselin. :’D
Jadi sebenarnya sehat ngga sih
membiarkan ini berlarut?
Tergantung. Ada di posisi mana kita
berada.
Satu ruangan di lantai 2 kantorku,
dimana setiap harinya aku teronggok di situ dari pagi sampe malem (lebay sih),
aku termasuk salah satu tim pulang-terakhiran. Lainnya adalah 2 Project Manager,
Service Delivery Manager (SDM), salah satu Developer (kalo ini sih emang dia
berangkatnya siang), sama palingan beberapa Lead Dev. Dan, orang-orang ini juga
yang masuk kategori “diganggu email diluar jam kerja”.
Awalnya aku sempat khawatir, apa
aku terlalu berdedikasi ya? (cyailah ahaha).
Suatu sore, tinggal berdua. Aku dan
si SDM. Hari itu bener-bener yang ngos-ngosan sangat. Meeting bertubi-tubi,
task membumbung macam wedus gembel Gunung Merapi, dan detlen semua task minta
hari itu juga. Kan kurang ajar.
Kemudian, sembari nungguin si SDM report (kami ada daily report yang harus dikirim ke atasan tiap hari), curhatlah
daku.
“Kok kerja gini-gini amat ya, Mas?
Lelah lho aku tu. Pengen nikah aja deh.” Yang terakhir 100% bercanda. Serius.
Si SDM ngakak ngga abis-abis. Dia,
yang sudah menikah dan berhasil bikin anak 1, bilang, “Itu ngga nyelesein
masalah, Neeeng!”
Terus akhirnya kita sama-sama
ngakak secara menyedihkan.
Tapi kemudian, dari sore itu kita
ngobrol, ternyata bukan hanya aku yang tergelitik untuk ngecek email di luar
jam kerja. Mereka malah lebih parah. Kalau aku hanya harus report ke atasan (Indonesia), mereka harus report ke atasan (Indonesia), atasan (Aussie), dan para klien yang
sedang mereka ternak. Dan itu sering kali mereka lakukan di rumah. Malem.
Dari situ akhirnya aku punya
pemikiran baru.
Mungkin memang terdengar
menyedihkan. Mungkiin memang bagi sebagian orang melakukannya akan teramat
menyedihkan dan stressful tapi untuk
kami yang enjoy dengan apa yang kami
kerjakan (atau setidaknya saya sih) itu biasa aja.
Untuk saya sendiri, ngecek (dan
kadang juga bales) email di luar jam kerja udah kayak ngecek notifikasi sosmed
aja. Ya udah. Sometime you have to deal
with it but most of the time you can just ignore it. Just, be wise. Toh, ngga
semua email harus direspon saat itu juga.
Karena sejujurnya, itu hanyalah salah satu usaha untuk menjaga kedamaian
jiwa. Untuk beberapa orang yang memiliki tanggung jawab lebih, memastikan kapal
tetap di jalur dan (seburuk-buruknya) mempertahankannya untuk tidak tenggelam
jauh lebih menenangkan daripada berusaha mengabaikan detail kecil (semacam
ngecek email) tapi kemudian ketika besoknya kembali online, kapal sudah porak poranda. Karena memperbaiki keadaan
ketika segalanya sudah mawut jauh lebih stressful
daripada melakukan tindakan preventif.
Hanya saja, untukku, tetap ada
batas. Jangan manjakan klien/rekan kerja yang ngemail dengan merespon email
saat itu juga. Kalau itu memang teramat urgent,
silakan. Tapi kalau itu bisa ditunda besok, kerjakan besok. Meskipun kalau itu urgent aja (bukan urgent banget) dan masih negotiable,
ya coba aja dinego buat dikerjain besok. You
still have a life to live, though.
Dibilang workaholic? Biarin aja. Terdengar menyedihkan? Yaa udahlah yaa.
Yang paling penting adalah gimana kitanya yang ngerasain. Kalo itu ngeselin,
ganggu, dan bikin stress, ya jangan lakuin. Tapi kalo itu cost nothing, biasa aja, atau
malah nyenengin (untuk beberapa side
effectnya) ya udah lakuin aja. Jangan terlalu berpegang pada standar umum
bahwa bekerja di luar jam kerja itu menyedihkan, tidak seharusnya begitu, dll.
Kalo kita ngga masalah ngelakuinnya, ya lakuin aja. Orang bakal selalu
berkomentar. Bukan berarti itu buruk. Mungkin mereka hanya ingin menunjukkan
kepedulian mereka ke kita (positif thinking aja hehe). Atau mungkin mereka
emang crigis sih. Yaudahlah, intinya biarin aja.
Lakuin apa yang nyenengin - asal
ngga melanggar peraturan atau merugikan pihak lain. Jadi ya bodo amat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
any advice?