Jumat, 06 Januari 2017

Eraser #07 - Fajar

Sebelumnya : Eraser #06- Perkenalan

Sebelumnya aku sering uring-uringan dengan siklus tidurku. Entah kapan mulainya tapi yang pasti sejak menjadi mahasiswa seni rupa aku memiliki siklus tidur yang agak berbeda. Aku akan otomatis terbangun setiap 4 jam. Urusan apakah nanti bisa tidur lagi atau tidak tergantung apa yang kulakukan setelahnya. Siklus baru ini agak menyebalkan, kau tahu, karena hasrat untuk tidur molor bangun siang saat weekend hancur berantakan.

Tapi itu dulu. Sekarang rasanya aku sangat mensykuri bisa tidur selama 4 jam. Aku terbangun dengan kepala pusing karena tubuh masih menuntut untuk tidur lebih lama. Ketika kulihat jam digital di dashboard aku mendesah pasrah untuk menyuarakan keluhanku. Belum ada dua jam! Pantas saja. Aku tidak akan terima kalau setelah ini siklus tidurku berubah menjadi dua jam. Astaga, itu tidur atau kedip?

Kulirik di sebelah kananku, Adriel masih nyetir. Masih hidup. Seketika aku merasa keluhanku teramat kekanakan. Entahlah, melihat dia masih segar bugar begitu aku jadi malas untuk kembali tidur. Jadi kutegakkan dudukku sembari menghela napas panjang dan dalam. Rupanya sudah mulai pagi. Langit di luar sana beranjak cerah meskipun sekeliling masih gelap. Lampu-lampu penduduk juga belum dimatikan. Tiba-tiba aku merasa nyaman. Adriel membuka kaca jendela di sebelah kiriku membuat sepoi angin pagi yang dingin dan segar menggelitik leherku. Aku menikmatinya. Kombinasi langit dongker yang digradasi dengan hijau cerah dengan beberapa sentuhan jingga di ufuk timur sana terasa begitu menyenangkan dilihat. Sayangnya aku tidak bisa melihat langsung, hanya melalui spion.

“Kita di mana?” tanyaku.

Jelas sudah bukan di Solo. Jika kuhitung perkiraan waktu tidurku kurasa sekarang kami sudah melewati Solo. Seandainya Adriel melajukan mobilnya terus ke arah Barat mungkin saat ini kami di daerah Klaten atau perbatasan Jogja. Atau malah sudah Jogja?

Adriel tidak menjawab. Aku menemukan jawabannya sendiri. Melalui billboard terakhir di pertigaan besar setelah memasuki wilayah Jogja sebelum Adriel berbelok ke kiri. Sudah Jogja. Kami ke arah Wonosari.

Tidak tahu mau melakukan apa dan tidak yakin juga ide bagus akan datang segera, getaran ponsel di sakuku terasa menyenangkan. Kuambil gadgetku itu dan baru sadar aku tidak memeriksanya sejak kemarin. Dengan semua kegilaan itu? Yang benar saja. Lagipula aku juga tidak punya kewajiban harus setor kabar kepada siapapun (a.k.a. jomblo. Skip.).

Mataku otomatis membelalak saat melihat ada begitu banyak notifikasi. Waow, sejak kapan seramai ini? Dari pop up-nya yang paling menarikku adalah salah satu chat messanger berlogo hijau dengan gambar telepon di tengah. Sudahlah, kurasa kita sama-sama paham apa yang kumaksud.

Aku baru membaca beberapa kalimat pertama dari teman-teman kampus maupun anak-anak kos yang menanyakan keberadaanku. Widih, tumben. Tunggu dulu, kenapa mereka sepeduli ini? Apa para polisi itu kembali datang ke kosan? Atau kabar menghilangnya aku dari kantor calon tempat magang kemarin sudah, entah bagaimana, tersebar? Astaga, segala pemikiran akan kemungkinan-kemungkinan ini benar-benar mengerikan. Namun, meski demikian, aku masih penasaran dengan chat dari Atika yang kamarnya di depan kamarku dan satu-satunya orang di kosan yang paling sering kurepotkan. Pesannya paling banyak. Aku menyentuh namanya kemudian loading. Sial, sinyal di sini busuk sekali.

Loading selesai dan hendak terbuka ketika Adriel secara mengejutkan mengambil ponselku dan membuangnya keluar melalu jendela. Aku seketika terbelalak dan membuka mulut lebar-lebar demi keterkejutan yang menyeruak minta diekspresikan.

“WHAT THE F-! APA YANG KAULAKUKAN?!” teriakku setelah menemukan suaraku.

Adriel hanya mendengus lelah, atau semacam putus asa, melihat reaksiku.

“Berhenti nggak?! Berhenti aku bilang!” Aku tidak percaya, Adriel tidak meresponku. “Adriel!”

Lelaki itu menghentikan mobilnya secara tiba-tiba kemudian menatapku intens dan tajam. Aku yang sebelumnya sudah sangat percaya diri memuntahkan kekesalan tiba-tiba ragu. Bingung sendiri, bagian mana dulu yang ingin kulontarkan?

“Apa?” tagihnya dengan nada menantang.

“Ya… ya apa maksudnya tadi itu? Itu ponselku satu-satunya!” ujarku mengais sisa-sisa kepercayaan diri.

“Dan ini adalah hidupmu satu-satunya!” balasnya.

Dahiku mengerut lebih dalam dan lebih berlipat dari sebelumnya. Aku mulai ragu. Sepertinya segalanya semakin jelas, aku bukan hanya sedang terjebak bersama seorang kriminal tapi juga orang gila!

*
Akhirnya aku mengalah meskipun masih dengan bersungut-sungut. Jelas. Aku tidak menemukan pembelaan yang masuk akal setelah Adriel mengutarakan alasannya dan aku-masih-kesal! Menurutku tindakanku wajar. Bagaimanapun, itu ponselku! Yang kubeli setelah bertahun-tahun menabung. Bohong ding, setelah mengerjakan beberapa proyek terkait desain dan branding sebenarnya. Tapi tetap saja!

“Mereka akan mengetahui keberadaan kita tepat setelah kau online,” begitu katanya.

Oke, masuk akal. Mungkin. Setidaknya begitulah yang sering terjadi di film-film action akhir-akhir ini. Jadi aku mencoba untuk tidak mempertanyakan teori itu. Tapi sepertinya aku sudah cukup lama menjadi anak baik yang tidak banyak tanya sejak kegilaan ini dimulai. Mungkin ini saat yang tepat menuntut hakku untuk tahu segala yang kuperlukan, bukan begitu? Kau tentu tidak bisa terus menerus lari bersama seseorang yang baru saja kau kenal yang jelas-jelas kriminal tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, kan?

“Jangan sekarang. Aku sedang tidak ingin menjelaskan apapun,” ujar Adriel yang serta merta kusambut dengan mulut terbuka lebar dan mata membelalak maksimal?

“Aku bukan psychic, paranormal, peramal, atau apalah. Itu tergambar jelas di wajahmu. Sekarang diamlah. Sebentar lagi kita akan sampai.”

Belalakan mataku berubah menjadi kerutan berlipat di dahi. Semacam sebuah akumulasi kesal, heran, dan sebal yang bercampur menjadi satu namun tidak menemukan cara yang tepat untuk diekspresikan. Maksudku, aku bahkan tidak mengatakan apapun!

Tapi akhirnya aku menurut dengan bodoh seperti biasanya. Lagipula aku juga tidak terpikirkan hal lain. Dan Adriel menepati ucapannya. Setelah naik turun beberapa bukit berbatu dan jalan berkelok yang membuatku mengimajinasikan negeri-negeri rahasia milik para peri. Maaf, imajinasiku kadang sedikit liar memang. Tapi aku tidak bohong, ini awesome!

Aku sudah beberapa kali ke pantai-pantai Gunung Kidul (sebelah selatan Jogja, FYI) dan sebanyak itu pula aku selalu takjub dengan pemandangan di daerah sini. Bukit-bukit berbatu menjulang mengepung sepanjang jalan. Selingan pepohonan khas daerah kering dengan warna daun gradasi hijau ke kuning memberikan sentuhan magic tersendiri. Kemudian, yang membuat suasana ini sempurna adalah saat ini masih teramat pagi. Terlalu pagi bahkan hingga udara belum dibebani napas-napas para pendosa. Hehe.

Setelah beberapa tikungan, Adriel memperlambat laju mobilnya. Dari jalan utama, kami berbelok ke kiri, memasuki gang sempit dengan jalan setapak berbatu. Di kanan kiri sejauh mata memandang hanya terlihat kebun jati dengan beberapa Pohon Jamblang atau Duwet atau Syzygium cumini sebagai penyela ditambah beberapa gerombol bambu di kejauhan. Aku tidak terlalu yakin akan menemukan hunian di dekat sini tapi aku menahan komentar maupun pertanyaan.

Kemudian, setelah menaiki tanjakan sekali lalu belok kanan, terlihat sebuah rumah dengan halaman luas sekitar 100 meter di depan serong kiri kami. Rumah itu hanya satu-satunya di sini. Setidaknya di radius 100 meter atau sejauh mata memandang. Selain halamannya yang cukup luas, selebihnya rumah itu dikelilingi kebun jati dan beberapa pohon khas daerah kering lainnya.

Kami semakin mendekati rumah bergaya tradisional Jogja dengan seluruh dindingnya dari kayu. Di halaman depan ada seorang gadis sedang menyapu halaman menggunakan sapu lidi. Gadis itu lebih muda dariku sepertinya. Mungkin sekitar SMA kelas X atau XI. Begitu kami mendekat, Gadis itu menghentikan kegiatannya. Dari ekspresinya sepertinya ia begitu bersemangat melihat mobil ini. Ia meneriakkan sesuatu ke dalam yang kemudian disambut dengan keluarnya seorang wanita yang mengenakan baju tradisional jawa plus jarit sebagai bawahan. Rambutnya dicepol di belakang. Dari kerutan di wajahnya mungkin usianya sudah memasuki 60an. Entahlah, aku tidak terlalu baik dalam menebak usia orang dewasa.

Ketika akhirnya Adriel mematikan mesin, si Gadis Belia langsung berlari menghampiri di pintu sisi kanan. Gadis itu memeluk Adriel erat ketika lelaki itu keluar. Adriel reflek mengaduh. Gadis itu terlihat khawatir kemudian meraba-raba tubuh Adriel. Tapi Adriel hanya tersenyum sembari mengusap kepala si Gadis kemudian berkata, “It’s okay. Nothing serious. Di mana Eyang?”

Aku yang menyaksikan semua itu sedikit mengerutkan dahi. Apa Adriel terluka?

Si Gadis menarik Adriel, mengajaknya ke dalam. Aku jadi agak kikuk tidak tahu harus bagaimana hingga akhirnya si Wanita usia 60an berkebaya menghampiriku sembari tersenyum.

Mangga, Mbak. Mlebet,” ujar wanita itu menyapaku dengan senyum ramah. Artinya, silakan, Nak. Masuk.

Aku membalas senyum ramah wanita itu. Syukurlah, setidaknya masih ada seseorang yang ramah di sini. Tidak seperti seorang laki-laki yang meninggalkan tamunya begitu saja demi tarikan seorang gadis labil!

-___-*

Wanita berkebaya itu memperkenalkan dirinya sebagai Mbok Giyem. Beliau semacam asisten rumah tangga di sini. Dan, hei, ternyata rumah ini cukup ramai juga. Ada sekitar tiga atau empat anak-anak lain di sini. Mereka masih di bawah 10 tahun atau belasan awal. Aku tidak tahu pastinya. Menurut Mbok Giyem rumah ini adalah semacam panti asuhan mini meskipun tidak persis seperti itu. Belakangan aku tahu bahwa anak-anak yang ada di sini semuanya difabel. Bapak yang mengurusnya dengan bantuan Mbok Giyem.

Fakta ini membuatku penasaran apakah itu artinya dulunya Adriel juga tinggal di sini? Kurasa wajar jika aku mendapat kesimpulan demikian. Setidaknya begitulah yang terjadi di cerita-cerita, kan?

Tapi kata Mbok Giyem, “Bukan. Nak Adriel bukan dari sini. Beliau juga jarang berkunjung.”

Menurut Mbok Giyem ini adalah kunjungan Adriel setelah sekian tahun. Aku mengerutkan dahi. Lalu kenapa…

“Nak Keyla mandi dulu, ya. Biar tidak kelamaan menunggu. Sebentar lagi sarapan siap,” ujar Mbok Giyem.

“Eh, iya, Mbok. Terima kasih,” ucapku, enggan untuk bertanya lebih jauh.

Aku mandi cukup lama. Setidaknya begitulah menurut perkiraanku. Setelah akhirnya selesai, di tempat tidur sudah ada satu set baju bersih yang entah bagaimana terlihat bersinar menawan di mataku. Setelah semua kejadian kemarin, mandi dan baju bersih adalah keistimewaan.

Begitu aku menyelesaikan segala urusanku, aku keluar sembari memperkirakan dimana dapur berada. Hasrat terdalamku begitu ingin menagih tawaran Mbok Giyem tentang sarapan tadi. Boleh, kan?

Langkahku terhenti ketika mendengar suara Adriel di sebuah ruangan.

“Maaf, aku datang lagi,” ujar suara Adriel.

“Sudah kubilang, jangan pernah minta maaf. Rumah ini selalu terbuka untukmu, Nak,” sebuah suara, seperti suara kakek-kakek yang menjawab.

Sepertinya ini pembicaraan personal jadi aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Akhirnya! Baiklah, setelah nyasar dua kali memasuki ruangan yang salah. Aku menemukan dapur tempat dimana Mbok Giyem sedang menyiapkan sarapan dikelilingi para bocah, riuh. Mbok Giyem dengan sabar meladeni mereka. Saat kemudian ia menyadari keberadaanku, Mbok Giyem mempersilakanku duduk dan menunggu sebentar. Aku tersenyum dan mengiyakan. Kemudian duduk di sebelah si Gadis yang tengah menyiapkan sayuran.

“Hai,” sapaku. Gadis itu diam saja. Tunggu, aku tidak membuat kesalahan, kan?

“Aku Keyla. Namamu siapa?” tanyaku. Dan si Gadis tetap diam.

Kemudian, seperti sebelumnya, Mbok Giyem menyelamatkanku lagi. Wanita itu datang membawa sarapanku dan mengambil tempat duduk di sebelah kiriku.

“Namanya Arum, Mbak Keyla. Mohon dimaafkan tapi dia tunarungu dan wicara,” jelas Mbok Giyem.

“Oh… astaga, maaf, Mbok. Saya nggak tahu,” kataku tidak enak.

Pantas saja aku tidak bisa mengerti teriakannya tadi dan seharusnya aku lebih peka dengan kediamannya sejak awal.

Mbok Giyem membawakanku sekepal nasi kapok lengkap dengan tempe bacem dan teh anget. Ya Tuhan, ini benar-benar cuilan surga. Aku pernah mencicipi makanan tradisional ini waktu KKN dulu dan rasanya menyenangkan. Kombinasi teh anget dan pagi membuatnya sempurna. Aku berterima kasih kepada Mbok Giyem.

Tidak lama kemudian Adriel datang dan menyapa kami semua. Terutama Mbok Giyem. Yang paling mengejutkan adalah bagian dirinya yang bisa begitu akrab dengan anak-anak itu. Benar-benar sulit dipercaya seorang Adriel (yang sejuh ini kutahu) bisa begitu sabar dan telaten meladeni celoteh anak-anak itu. Aku reflek tersenyum melihat pemandangan menyenangkan ini.

Adriel baru pergi setelah Mbok Giyem menyuruhnya mandi dulu sebelum sarapan dan saat itu aku baru menyadari betapa kotor dan kucelnya dia. Sepertinya begitu pula wujudku ketika datang tadi. Pantas saja Mbok Giyem buru-buru menyuruh mandi. Aku diam-diam tertawa dalam hati.

“Nak Keyla,” panggil sebuah suara. Suara Kakek yang tadi kudengar sedang mengobrol dengan Adriel.

Aku menoleh. Kudapati seorang kakek pendek berkupluk putih, berbaju tradisional jawa dengan sarung sebagai bawahan. Selayaknya kakek, rambutnya sudah memutih semua dan ada kerutan-kerutan di sana-sini. Tapi raut wajahnya terlihat damai dan bijaksana. Semacam ada sesuatu dari ekspresi wajahnya yang membuat kita merasa tenang dan ingin berlama-lama di dekatnya. Lalu, seakan melengkapi semuanya, Kakek ini juga memakai tongkat kayu untuk menyangga tubuhnya.

Aku tersenyum demi membalas panggilan si Kakek.

"Boleh kakek bicara sebentar?"


Eraser #06 - end.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

any advice?