Sebelumnya aku sering uring-uringan dengan siklus tidurku. Entah kapan
mulainya tapi yang pasti sejak menjadi mahasiswa seni rupa aku memiliki siklus
tidur yang agak berbeda. Aku akan otomatis terbangun setiap 4 jam. Urusan
apakah nanti bisa tidur lagi atau tidak tergantung apa yang kulakukan
setelahnya. Siklus baru ini agak menyebalkan, kau tahu, karena hasrat untuk
tidur molor bangun siang saat weekend hancur
berantakan.
Tapi itu dulu. Sekarang rasanya aku sangat mensykuri bisa tidur selama
4 jam. Aku terbangun dengan kepala pusing karena tubuh masih menuntut untuk
tidur lebih lama. Ketika kulihat jam digital di dashboard aku mendesah pasrah untuk menyuarakan keluhanku. Belum
ada dua jam! Pantas saja. Aku tidak akan terima kalau setelah ini siklus
tidurku berubah menjadi dua jam. Astaga, itu tidur atau kedip?
Kulirik di sebelah kananku, Adriel masih nyetir. Masih hidup. Seketika
aku merasa keluhanku teramat kekanakan. Entahlah, melihat dia masih segar bugar
begitu aku jadi malas untuk kembali tidur. Jadi kutegakkan dudukku sembari
menghela napas panjang dan dalam. Rupanya sudah mulai pagi. Langit di luar sana
beranjak cerah meskipun sekeliling masih gelap. Lampu-lampu penduduk juga belum
dimatikan. Tiba-tiba aku merasa nyaman. Adriel membuka kaca jendela di sebelah
kiriku membuat sepoi angin pagi yang dingin dan segar menggelitik leherku. Aku
menikmatinya. Kombinasi langit dongker yang digradasi dengan hijau cerah dengan
beberapa sentuhan jingga di ufuk timur sana terasa begitu menyenangkan dilihat.
Sayangnya aku tidak bisa melihat langsung, hanya melalui spion.
“Kita di mana?” tanyaku.
Jelas sudah bukan di Solo. Jika kuhitung perkiraan waktu tidurku
kurasa sekarang kami sudah melewati Solo. Seandainya Adriel melajukan mobilnya
terus ke arah Barat mungkin saat ini kami di daerah Klaten atau perbatasan
Jogja. Atau malah sudah Jogja?
Adriel tidak menjawab. Aku menemukan jawabannya sendiri. Melalui billboard terakhir di pertigaan besar
setelah memasuki wilayah Jogja sebelum Adriel berbelok ke kiri. Sudah Jogja.
Kami ke arah Wonosari.
Tidak tahu mau melakukan apa dan tidak yakin juga ide bagus akan
datang segera, getaran ponsel di sakuku terasa menyenangkan. Kuambil gadgetku
itu dan baru sadar aku tidak memeriksanya sejak kemarin. Dengan semua kegilaan
itu? Yang benar saja. Lagipula aku juga tidak punya kewajiban harus setor kabar
kepada siapapun (a.k.a. jomblo. Skip.).
Mataku otomatis membelalak saat melihat ada begitu banyak notifikasi.
Waow, sejak kapan seramai ini? Dari pop up-nya yang paling menarikku adalah
salah satu chat messanger berlogo hijau dengan gambar telepon di tengah.
Sudahlah, kurasa kita sama-sama paham apa yang kumaksud.
Aku baru membaca beberapa kalimat pertama dari teman-teman kampus
maupun anak-anak kos yang menanyakan keberadaanku. Widih, tumben. Tunggu dulu,
kenapa mereka sepeduli ini? Apa para polisi itu kembali datang ke kosan? Atau
kabar menghilangnya aku dari kantor calon tempat magang kemarin sudah, entah
bagaimana, tersebar? Astaga, segala pemikiran akan kemungkinan-kemungkinan ini
benar-benar mengerikan. Namun, meski demikian, aku masih penasaran dengan chat
dari Atika yang kamarnya di depan kamarku dan satu-satunya orang di kosan yang
paling sering kurepotkan. Pesannya paling banyak. Aku menyentuh namanya
kemudian loading. Sial, sinyal di
sini busuk sekali.
Loading selesai dan hendak terbuka ketika Adriel secara mengejutkan
mengambil ponselku dan membuangnya keluar melalu jendela. Aku seketika
terbelalak dan membuka mulut lebar-lebar demi keterkejutan yang menyeruak minta
diekspresikan.
“WHAT THE F-! APA YANG KAULAKUKAN?!” teriakku setelah menemukan
suaraku.
Adriel hanya mendengus lelah, atau semacam putus asa, melihat
reaksiku.
“Berhenti nggak?! Berhenti aku bilang!” Aku tidak percaya, Adriel
tidak meresponku. “Adriel!”
Lelaki itu menghentikan mobilnya secara tiba-tiba kemudian menatapku
intens dan tajam. Aku yang sebelumnya sudah sangat percaya diri memuntahkan
kekesalan tiba-tiba ragu. Bingung sendiri, bagian mana dulu yang ingin
kulontarkan?
“Apa?” tagihnya dengan nada menantang.
“Ya… ya apa maksudnya tadi itu? Itu ponselku satu-satunya!” ujarku
mengais sisa-sisa kepercayaan diri.
“Dan ini adalah hidupmu satu-satunya!” balasnya.
Dahiku mengerut lebih dalam dan lebih berlipat dari sebelumnya. Aku
mulai ragu. Sepertinya segalanya semakin jelas, aku bukan hanya sedang terjebak
bersama seorang kriminal tapi juga orang gila!
*
Akhirnya aku mengalah meskipun masih dengan bersungut-sungut. Jelas.
Aku tidak menemukan pembelaan yang masuk akal setelah Adriel mengutarakan
alasannya dan aku-masih-kesal! Menurutku tindakanku wajar. Bagaimanapun, itu
ponselku! Yang kubeli setelah bertahun-tahun menabung. Bohong ding, setelah
mengerjakan beberapa proyek terkait desain dan branding sebenarnya. Tapi tetap
saja!
“Mereka akan mengetahui keberadaan kita tepat setelah kau online,”
begitu katanya.
Oke, masuk akal. Mungkin. Setidaknya begitulah yang sering terjadi di
film-film action akhir-akhir ini.
Jadi aku mencoba untuk tidak mempertanyakan teori itu. Tapi sepertinya aku
sudah cukup lama menjadi anak baik yang tidak banyak tanya sejak kegilaan ini
dimulai. Mungkin ini saat yang tepat menuntut hakku untuk tahu segala yang
kuperlukan, bukan begitu? Kau tentu tidak bisa terus menerus lari bersama seseorang
yang baru saja kau kenal yang jelas-jelas kriminal tanpa tahu apa yang
sebenarnya sedang terjadi, kan?
“Jangan sekarang. Aku sedang tidak ingin menjelaskan apapun,” ujar
Adriel yang serta merta kusambut dengan mulut terbuka lebar dan mata membelalak
maksimal?
“Aku bukan psychic, paranormal, peramal, atau apalah. Itu tergambar
jelas di wajahmu. Sekarang diamlah. Sebentar lagi kita akan sampai.”
Belalakan mataku berubah menjadi kerutan berlipat di dahi. Semacam
sebuah akumulasi kesal, heran, dan sebal yang bercampur menjadi satu namun
tidak menemukan cara yang tepat untuk diekspresikan. Maksudku, aku bahkan tidak
mengatakan apapun!
Tapi akhirnya aku menurut dengan bodoh seperti biasanya. Lagipula aku
juga tidak terpikirkan hal lain. Dan Adriel menepati ucapannya. Setelah naik
turun beberapa bukit berbatu dan jalan berkelok yang membuatku mengimajinasikan
negeri-negeri rahasia milik para peri. Maaf, imajinasiku kadang sedikit liar
memang. Tapi aku tidak bohong, ini awesome!
Aku sudah beberapa kali ke pantai-pantai Gunung Kidul (sebelah selatan
Jogja, FYI) dan sebanyak itu pula aku
selalu takjub dengan pemandangan di daerah sini. Bukit-bukit berbatu menjulang
mengepung sepanjang jalan. Selingan pepohonan khas daerah kering dengan warna
daun gradasi hijau ke kuning memberikan sentuhan magic tersendiri. Kemudian, yang membuat suasana ini sempurna
adalah saat ini masih teramat pagi. Terlalu pagi bahkan hingga udara belum
dibebani napas-napas para pendosa. Hehe.
Setelah beberapa tikungan, Adriel memperlambat laju mobilnya. Dari
jalan utama, kami berbelok ke kiri, memasuki gang sempit dengan jalan setapak
berbatu. Di kanan kiri sejauh mata memandang hanya terlihat kebun jati dengan
beberapa Pohon Jamblang atau Duwet atau Syzygium cumini sebagai penyela ditambah beberapa gerombol bambu di kejauhan.
Aku tidak terlalu yakin akan menemukan hunian di dekat sini tapi aku menahan
komentar maupun pertanyaan.
Kemudian, setelah menaiki tanjakan sekali lalu belok kanan, terlihat
sebuah rumah dengan halaman luas sekitar 100 meter di depan serong kiri kami.
Rumah itu hanya satu-satunya di sini. Setidaknya di radius 100 meter atau
sejauh mata memandang. Selain halamannya yang cukup luas, selebihnya rumah itu
dikelilingi kebun jati dan beberapa pohon khas daerah kering lainnya.
Kami semakin mendekati rumah bergaya tradisional Jogja dengan seluruh
dindingnya dari kayu. Di halaman depan ada seorang gadis sedang menyapu halaman
menggunakan sapu lidi. Gadis itu lebih muda dariku sepertinya. Mungkin sekitar
SMA kelas X atau XI. Begitu kami mendekat, Gadis itu menghentikan kegiatannya.
Dari ekspresinya sepertinya ia begitu bersemangat melihat mobil ini. Ia
meneriakkan sesuatu ke dalam yang kemudian disambut dengan keluarnya seorang
wanita yang mengenakan baju tradisional jawa plus jarit sebagai bawahan.
Rambutnya dicepol di belakang. Dari kerutan di wajahnya mungkin usianya sudah
memasuki 60an. Entahlah, aku tidak terlalu baik dalam menebak usia orang
dewasa.
Ketika akhirnya Adriel mematikan mesin, si Gadis Belia langsung
berlari menghampiri di pintu sisi kanan. Gadis itu memeluk Adriel erat ketika
lelaki itu keluar. Adriel reflek mengaduh. Gadis itu terlihat khawatir kemudian
meraba-raba tubuh Adriel. Tapi Adriel hanya tersenyum sembari mengusap kepala
si Gadis kemudian berkata, “It’s okay.
Nothing serious. Di mana Eyang?”
Aku yang menyaksikan semua itu sedikit mengerutkan dahi. Apa Adriel
terluka?
Si Gadis menarik Adriel, mengajaknya ke dalam. Aku jadi agak kikuk
tidak tahu harus bagaimana hingga akhirnya si Wanita usia 60an berkebaya
menghampiriku sembari tersenyum.
“Mangga, Mbak. Mlebet,” ujar wanita itu menyapaku
dengan senyum ramah. Artinya, silakan, Nak. Masuk.
Aku membalas senyum ramah wanita itu. Syukurlah, setidaknya masih ada
seseorang yang ramah di sini. Tidak seperti seorang laki-laki yang meninggalkan
tamunya begitu saja demi tarikan seorang gadis labil!
-___-*
Wanita berkebaya itu memperkenalkan dirinya sebagai Mbok Giyem. Beliau
semacam asisten rumah tangga di sini. Dan, hei, ternyata rumah ini cukup ramai
juga. Ada sekitar tiga atau empat anak-anak lain di sini. Mereka masih di bawah
10 tahun atau belasan awal. Aku tidak tahu pastinya. Menurut Mbok Giyem rumah
ini adalah semacam panti asuhan mini meskipun tidak persis seperti itu. Belakangan
aku tahu bahwa anak-anak yang ada di sini semuanya difabel. Bapak yang
mengurusnya dengan bantuan Mbok Giyem.
Fakta ini membuatku penasaran apakah itu artinya dulunya Adriel juga
tinggal di sini? Kurasa wajar jika aku mendapat kesimpulan demikian. Setidaknya
begitulah yang terjadi di cerita-cerita, kan?
Tapi kata Mbok Giyem, “Bukan. Nak Adriel bukan dari sini. Beliau juga
jarang berkunjung.”
Menurut Mbok Giyem ini adalah kunjungan Adriel setelah sekian tahun.
Aku mengerutkan dahi. Lalu kenapa…
“Nak Keyla mandi dulu, ya. Biar tidak kelamaan menunggu. Sebentar lagi
sarapan siap,” ujar Mbok Giyem.
“Eh, iya, Mbok. Terima kasih,” ucapku, enggan untuk bertanya lebih
jauh.
Aku mandi cukup lama. Setidaknya begitulah menurut perkiraanku.
Setelah akhirnya selesai, di tempat tidur sudah ada satu set baju bersih yang
entah bagaimana terlihat bersinar menawan di mataku. Setelah semua kejadian
kemarin, mandi dan baju bersih adalah keistimewaan.
Begitu aku menyelesaikan segala urusanku, aku keluar sembari memperkirakan
dimana dapur berada. Hasrat terdalamku begitu ingin menagih tawaran Mbok Giyem
tentang sarapan tadi. Boleh, kan?
Langkahku terhenti ketika mendengar suara Adriel di sebuah ruangan.
“Maaf, aku datang lagi,” ujar suara Adriel.
“Sudah kubilang, jangan pernah minta maaf. Rumah ini selalu terbuka
untukmu, Nak,” sebuah suara, seperti suara kakek-kakek yang menjawab.
Sepertinya ini pembicaraan personal jadi aku memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan.
Akhirnya! Baiklah, setelah nyasar dua kali memasuki ruangan yang
salah. Aku menemukan dapur tempat dimana Mbok Giyem sedang menyiapkan sarapan
dikelilingi para bocah, riuh. Mbok Giyem dengan sabar meladeni mereka. Saat
kemudian ia menyadari keberadaanku, Mbok Giyem mempersilakanku duduk dan
menunggu sebentar. Aku tersenyum dan mengiyakan. Kemudian duduk di sebelah si
Gadis yang tengah menyiapkan sayuran.
“Hai,” sapaku. Gadis itu diam saja. Tunggu, aku tidak membuat
kesalahan, kan?
“Aku Keyla. Namamu siapa?” tanyaku. Dan si Gadis tetap diam.
Kemudian, seperti sebelumnya, Mbok Giyem menyelamatkanku lagi. Wanita
itu datang membawa sarapanku dan mengambil tempat duduk di sebelah kiriku.
“Namanya Arum, Mbak Keyla.
Mohon dimaafkan tapi dia tunarungu dan wicara,” jelas Mbok Giyem.
“Oh… astaga, maaf, Mbok. Saya nggak tahu,” kataku tidak enak.
Pantas saja aku tidak bisa mengerti teriakannya tadi dan seharusnya
aku lebih peka dengan kediamannya sejak awal.
Mbok Giyem membawakanku sekepal nasi kapok lengkap dengan tempe bacem
dan teh anget. Ya Tuhan, ini benar-benar cuilan surga. Aku pernah mencicipi
makanan tradisional ini waktu KKN dulu dan rasanya menyenangkan. Kombinasi teh
anget dan pagi membuatnya sempurna. Aku berterima kasih kepada Mbok Giyem.
Tidak lama kemudian Adriel datang dan menyapa kami semua. Terutama
Mbok Giyem. Yang paling mengejutkan adalah bagian dirinya yang bisa begitu
akrab dengan anak-anak itu. Benar-benar sulit dipercaya seorang Adriel (yang
sejuh ini kutahu) bisa begitu sabar dan telaten meladeni celoteh anak-anak itu.
Aku reflek tersenyum melihat pemandangan menyenangkan ini.
Adriel baru pergi setelah Mbok Giyem menyuruhnya mandi dulu sebelum
sarapan dan saat itu aku baru menyadari betapa kotor dan kucelnya dia.
Sepertinya begitu pula wujudku ketika datang tadi. Pantas saja Mbok Giyem
buru-buru menyuruh mandi. Aku diam-diam tertawa dalam hati.
“Nak Keyla,” panggil sebuah suara. Suara Kakek yang tadi kudengar sedang
mengobrol dengan Adriel.
Aku menoleh. Kudapati seorang kakek pendek berkupluk putih, berbaju
tradisional jawa dengan sarung sebagai bawahan. Selayaknya kakek, rambutnya
sudah memutih semua dan ada kerutan-kerutan di sana-sini. Tapi raut wajahnya
terlihat damai dan bijaksana. Semacam ada sesuatu dari ekspresi wajahnya yang
membuat kita merasa tenang dan ingin berlama-lama di dekatnya. Lalu, seakan
melengkapi semuanya, Kakek ini juga memakai tongkat kayu untuk menyangga
tubuhnya.
Aku tersenyum demi membalas panggilan si Kakek.
"Boleh kakek bicara sebentar?"
Eraser #06 - end.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
any advice?