Sabtu, 01 Oktober 2016

Eraser #06 – Perkenalan



Aku benci momen ini. Ketika hal entah apa terjadi dan waktu seakan melambat, sangat lambat. Seakan Sang Waktu suka sekali membuatku ‘menikmati’ saat-saat aku berada di batas antara hidup dan mati. Satu tembakan lagi mendesing dan sisa pintu kaca pecah berserakan. Dia masih dalam posisinya memepetku—setengah memeluk untuk membuatku benar-benar meringkuk dalam lindungannya. Anehnya (setidaknya untukku) dia sama sekali tidak panik. Sama sekali. Bahkan napasnya pun begitu tenang. Meskipun matanya menajam dan ada sedikit kerutan di keningnya. Mungkin dia sedang menyusun rencana di dalam kepalanya. Aku? Jangan tanya. Aku bahkan tidak bisa menghentikan getaran tanganku.

“Tetap di sini,” perintahnya.

Jangankan menjawab, untuk mencerna ucapannya saja aku butuh waktu lebih lama dari seharusnya. Sementara itu, detik berikutnya dia sudah pergi masuk ke rumah diiringi dengan suara-suara tembakan saling membalas, benda-benda pecah atau jatuh. Ribut sekali. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi di dalam. Selain karena masih syok atas semua kegilaan ini, percayalah, di dalam begitu gelap.

Aku tahu dia menyuruhku untuk tidak kemana-mana, dan aku sadar dengan keadaan ini seharusnya aku menurut tanpa argumen. Hanya saja, entah bagaimana, intuisiku memohon untuk masuk. Aku tidak bisa menyangkal aku tidak mengkhawatirkannya. Sekeras apapun aku mencoba meyakinkan diriku bahwa dia adalah seorang kriminal profesional[1]  tetap saja aku khawatir. Bagaimanapun, hei, terakhir kali — erm, pertama kali juga sebetulnya— dia melakukan kejahatan[2] (yang kutahu) keadaannya berakhir mengenaskan. Berdarah-darah dan mendobrak masuk ke rumah kosku. Sial, sifat sok peduliku ini memang terkadang menyebalkan!

Aku baru melangkahkan kaki ketika menyadari sesuatu. Kaki kananku menginjak benda keras; sebuah pistol. Entah apa jenisnya, siapa peduli. Dan siapa pula yang peduli apakah aku bisa menggunakan benda ini atau tidak, aku tetap mengambilnya. Saat ini aku hanya akan memenangkan intuisiku atas segala asumsi. Apapun.

Perlahan, aku mengendap masuk. Ruangan tiba-tiba sunyi senyap ketika menurut perkiraanku aku belum masuk terlalu dalam. Aku mengutuk keputusanku karena momen ini datang lagi. Kombinasi kesunyian dan waktu yang ‘melambat’ tidak pernah membawa kabar baik. Di atas segalanya, jantungku benar-benar rusuh dan tanganku, yang memegang pistol hanya berdasar referensi film action Hollywood, seketika basah berkeringat. Dalam urusan penggabungan tegang, takut, dan gugup ini aku benar-benar payah.

Sekelebat bayangan hitam tiba-tiba melintas di depanku membuatku reflek membeku di tempat dan melupakan bernapas. Bayangan itu berhenti dua langkah di depan serong kiriku. Aku masih menganggap mematung sebagai langkah yang bijaksana. Detik berikutnya lampu ruangan menyala. Tindakanku yang tadinya terasa bijaksana mendadak terlihat bodoh. Dia berdiri di dekat sakelar dan memandangiku dengan alis terangkat sebelah.

“Kau susah mematuhi perintah, ya?” ujarnya.

Aku langsung berdiri tegak dan berlagak tanpa dosa.

“Aku cuma… hei, tunggu?!” Aku membatalkan mengajukan alasan ketika dia malah ngeloyor pergi.

“Mau kemana, sih? Tadi itu siapa? Orangnya kemana?” cecarku sembari mencoba menyamakan langkahnya.

Selesai aku menutup mulut sesuatu terjadi. Kami saat itu sedang ada di teras ketika rumah dan seisinya tiba-tiba meledak dan melemparkan kami keluar, ke halaman rumput yang basah dan menggenang air hujan. Telingaku berdenging dan pandanganku membayang. Aku belum bisa sepenuhnya menyadari apa yang terjadi ketika tanganku ditarik dan setengah terseok aku menurut saat dipapahnya untuk dimasukkan ke mobil.

Dia sepertinya tidak merasakan apa yang kurasakan akibat ledakan itu. Ataupun kalau iya, jelas ia pulih jauh lebih cepat karena dia terlihat baik-baik saja. Ketika kami sama-sama di dalam, dia memencet sesuatu yang kemudian menimbulkan munculnya suara perempuan yang mengatakan bahwa komputer sedang men-scan seisi mobil. Selanjutnya aku tidak tahu persis apa yang terjadi  karena tepat setelah itu aku kehilangan kesadaran.

*
Sepertinya aku pingsan tidak terlalu lama karena ketika terbangun di luar masih gelap. Tenggorokanku benar-benar kering dan tubuhku sakit semua. Aku beringsut untuk menegakkan dudukku. Saat itulah aku menyadari ada jaket hitam yang menyelimutiku. Reflek aku mengengok ke samping demi mendapati kursi dimana dia seharusnya berada kosong. Mesin mobil masih menyala, begitu juga dengan AC, dan semuanya. Mataku mencari ke sekitar. Kami sudah tiba di kota lagi meskipun aku tidak tahu persisnya dimana. Yang jelas, saat ini mobil ini berhenti di parkiran sebuah mini market franchise yang akhir-akhir ini menjamur di negeri ini. Dari kaca bening mini market aku melihatnya tengah membayar di kasir. Aku menghela napas panjang antara lega dan berharap mengurangi sedikit lelah. Setidaknya dia tidak meninggalkanku begitu saja.

Dua menit kemudian, dia masuk sambil membawa seplastik penuh barang. Setelah menutup pintu di samping kanannya, diambilnya sebotol air mineral kemudian diberikan padaku. Ah, akhirnya. Terima kasih semesta!

Thank’s,” ucapku serak sembari menerima botol airnya.

Dia meminum minumannya sendiri. Kemudian, sembari menstarter mobil, dia berkata, “Ada sandwich di dalam. Makanlah.”

“Kau sendiri?” tanyaku.

“Nanti.”

Aku mengangkat alis juga kedua pundakku demi membalas jawabannya. Siapa peduli deh, aku lapar. Kuambil sandwich dari dalam plastik putih yang ia letakkan di dashboard. Makanan selalu berhasil membuatku jadi pendiam, termasuk yang satu ini. Aku makan, dia nyetir. Hanya begitu selama beberapa menit ke depan. Sementara mobil semakin memasuki Solo lagi.

Reflek aku menoleh ke arahnya ketika setelah lampu merah dia lurus ke arah Solo. Seperti paham maksudku, dia bekata, “Apa?”

“Kita kembali lagi? Kukira kau akan menyembunyikanku atau semacamnya seperti yang kau bilang sebelumnya?” tanyaku. Sandwich-ku sudah habis.

Seharusnya aku menyembunyikanmu di rumah yang tadi tapi kau lihat sendiri itu tidak mungkin jadi kita ubah rencana,” ujarnya sambil memberi penekanan di kata ‘seharusnya’.

“Jadi?” tagihku.

“Kita temui seseorang dulu nanti kukasih tahu selanjutnya.”

Saat itu, aku belum mengerti orang seperti apa dirinya. Apakah dia adalah perencana yang baik? Ataukah risk taker? Jauh di atas semua itu, apakah dia ini baik atau jahat? Aku pun sama sekali belum mengerti situasi macam apa yang sedang kuhadapi dan bagaimana mungkin aku bisa terlibat. Apakah ini murni ketidak sengajaan  kesialanku saja atau memang dari awal aku memang berpotensi masuk dalam plot entah apa ini? Aku sama sekali belum paham apapun. Ada jutaan pertanyaan yang menumpuk dan berjejal di benakku. Aku tahu seharusnya aku tanyakan saja langsung saat itu juga. Menuntut penjelasan. Kurasa aku berhak akan hal itu. Tapi entahlah, selain karena kupikir belum waktunya juga sepertinya yang paling kubutuhkan saat ini adalah tidur. Aku terlalu lelah bahkan untuk mengajukan pertanyaan paling sederhana.

Melihatku beringsut menyamankan posisiku, dia menyalakan musik. Klasik. Aku tanpa sadar tersenyum tipis, geli melihatnya mencoba perhatian. Ketika mataku mulai berayun malas, dia berkata, “Adriel.”

“Namaku,” tambahnya.

Iya, tahu. Sahutku dalam hati.

“Key,” balasku. “Namaku Keyla.”

Jadi akhirnya kami resmi berkenalan. Dalam malam yang perlahan menuju pagi. Di mobil dengan alunan musik Chopin. Dan dengan cara yang, menurutku, paling aneh untuk sebuah perkenalan. Tapi aku tidak peduli. Saat itu aku hanya ingin tidur tanpa tahu bahwa perkenalan itu hanyalah sebuah awal dari suatu perjalanan panjang. Dan rumit.



[1] Entahlah atas dasar apa aku mengatakan ini.
[2] Mari kita sebut kejahatan karena kurasa sih kita sudah sama-sama setuju dia kriminal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

any advice?