Sebelumnya : Eraser #05 - Psycho Killer
Aku benci momen ini. Ketika hal entah apa terjadi dan waktu seakan
melambat, sangat lambat. Seakan Sang Waktu suka sekali membuatku ‘menikmati’
saat-saat aku berada di batas antara hidup dan mati. Satu tembakan lagi
mendesing dan sisa pintu kaca pecah berserakan. Dia masih dalam posisinya
memepetku—setengah memeluk untuk membuatku benar-benar meringkuk dalam
lindungannya. Anehnya (setidaknya untukku) dia sama sekali tidak panik. Sama
sekali. Bahkan napasnya pun begitu tenang. Meskipun matanya menajam dan ada
sedikit kerutan di keningnya. Mungkin dia sedang menyusun rencana di dalam
kepalanya. Aku? Jangan tanya. Aku bahkan tidak bisa menghentikan getaran
tanganku.
“Tetap di sini,” perintahnya.
Jangankan menjawab, untuk mencerna ucapannya saja aku butuh waktu
lebih lama dari seharusnya. Sementara itu, detik berikutnya dia sudah pergi
masuk ke rumah diiringi dengan suara-suara tembakan saling membalas,
benda-benda pecah atau jatuh. Ribut sekali. Aku benar-benar tidak tahu apa yang
terjadi di dalam. Selain karena masih syok atas semua kegilaan ini, percayalah,
di dalam begitu gelap.
Aku tahu dia menyuruhku untuk tidak kemana-mana, dan aku sadar dengan
keadaan ini seharusnya aku menurut tanpa argumen. Hanya saja, entah bagaimana,
intuisiku memohon untuk masuk. Aku tidak bisa menyangkal aku tidak
mengkhawatirkannya. Sekeras apapun aku mencoba meyakinkan diriku bahwa dia
adalah seorang kriminal profesional[1]
tetap saja aku khawatir. Bagaimanapun,
hei, terakhir kali — erm, pertama kali juga sebetulnya— dia melakukan kejahatan[2]
(yang kutahu) keadaannya berakhir mengenaskan. Berdarah-darah dan mendobrak
masuk ke rumah kosku. Sial, sifat sok peduliku ini memang terkadang
menyebalkan!
Aku baru melangkahkan kaki ketika menyadari sesuatu. Kaki kananku
menginjak benda keras; sebuah pistol. Entah apa jenisnya, siapa peduli. Dan
siapa pula yang peduli apakah aku bisa menggunakan benda ini atau tidak, aku
tetap mengambilnya. Saat ini aku hanya akan memenangkan intuisiku atas segala
asumsi. Apapun.
Perlahan, aku mengendap masuk. Ruangan tiba-tiba sunyi senyap ketika
menurut perkiraanku aku belum masuk terlalu dalam. Aku mengutuk keputusanku
karena momen ini datang lagi. Kombinasi kesunyian dan waktu yang ‘melambat’
tidak pernah membawa kabar baik. Di atas segalanya, jantungku benar-benar rusuh
dan tanganku, yang memegang pistol hanya berdasar referensi film action Hollywood,
seketika basah berkeringat. Dalam urusan penggabungan tegang, takut, dan gugup
ini aku benar-benar payah.
Sekelebat bayangan hitam tiba-tiba melintas di depanku membuatku
reflek membeku di tempat dan melupakan bernapas. Bayangan itu berhenti dua
langkah di depan serong kiriku. Aku masih menganggap mematung sebagai langkah
yang bijaksana. Detik berikutnya lampu ruangan menyala. Tindakanku yang tadinya
terasa bijaksana mendadak terlihat bodoh. Dia berdiri di dekat sakelar dan
memandangiku dengan alis terangkat sebelah.
“Kau susah mematuhi perintah, ya?” ujarnya.
Aku langsung berdiri tegak dan berlagak tanpa dosa.
“Aku cuma… hei, tunggu?!” Aku membatalkan mengajukan alasan ketika dia
malah ngeloyor pergi.
“Mau kemana, sih? Tadi itu siapa? Orangnya kemana?” cecarku sembari
mencoba menyamakan langkahnya.
Selesai aku menutup mulut sesuatu terjadi. Kami saat itu sedang ada di
teras ketika rumah dan seisinya tiba-tiba meledak dan melemparkan kami keluar,
ke halaman rumput yang basah dan menggenang air hujan. Telingaku berdenging dan
pandanganku membayang. Aku belum bisa sepenuhnya menyadari apa yang terjadi
ketika tanganku ditarik dan setengah terseok aku menurut saat dipapahnya untuk
dimasukkan ke mobil.
Dia sepertinya tidak merasakan apa yang kurasakan akibat ledakan itu.
Ataupun kalau iya, jelas ia pulih jauh lebih cepat karena dia terlihat
baik-baik saja. Ketika kami sama-sama di dalam, dia memencet sesuatu yang
kemudian menimbulkan munculnya suara perempuan yang mengatakan bahwa komputer sedang
men-scan seisi mobil. Selanjutnya aku
tidak tahu persis apa yang terjadi karena
tepat setelah itu aku kehilangan kesadaran.
*
Sepertinya aku pingsan tidak terlalu lama karena ketika terbangun di
luar masih gelap. Tenggorokanku benar-benar kering dan tubuhku sakit semua. Aku
beringsut untuk menegakkan dudukku. Saat itulah aku menyadari ada jaket hitam
yang menyelimutiku. Reflek aku mengengok ke samping demi mendapati kursi dimana
dia seharusnya berada kosong. Mesin mobil masih menyala, begitu juga dengan AC,
dan semuanya. Mataku mencari ke sekitar. Kami sudah tiba di kota lagi meskipun
aku tidak tahu persisnya dimana. Yang jelas, saat ini mobil ini berhenti di
parkiran sebuah mini market franchise yang
akhir-akhir ini menjamur di negeri ini. Dari kaca bening mini market aku
melihatnya tengah membayar di kasir. Aku menghela napas panjang antara lega dan
berharap mengurangi sedikit lelah. Setidaknya dia tidak meninggalkanku begitu
saja.
Dua menit kemudian, dia masuk sambil membawa seplastik penuh barang.
Setelah menutup pintu di samping kanannya, diambilnya sebotol air mineral
kemudian diberikan padaku. Ah, akhirnya. Terima kasih semesta!
“Thank’s,” ucapku serak
sembari menerima botol airnya.
Dia meminum
minumannya sendiri. Kemudian, sembari menstarter mobil, dia berkata, “Ada sandwich di dalam. Makanlah.”
“Kau
sendiri?” tanyaku.
“Nanti.”
Aku mengangkat alis juga kedua pundakku demi membalas jawabannya.
Siapa peduli deh, aku lapar. Kuambil sandwich
dari dalam plastik putih yang ia letakkan di dashboard. Makanan selalu berhasil membuatku jadi pendiam, termasuk
yang satu ini. Aku makan, dia nyetir. Hanya begitu selama beberapa menit ke
depan. Sementara mobil semakin memasuki Solo lagi.
Reflek aku menoleh ke arahnya ketika setelah lampu merah dia lurus ke
arah Solo. Seperti paham maksudku, dia bekata, “Apa?”
“Kita kembali lagi? Kukira kau akan menyembunyikanku atau semacamnya
seperti yang kau bilang sebelumnya?” tanyaku. Sandwich-ku sudah habis.
“Seharusnya aku
menyembunyikanmu di rumah yang tadi tapi kau lihat sendiri itu tidak mungkin
jadi kita ubah rencana,” ujarnya sambil memberi penekanan di kata ‘seharusnya’.
“Jadi?” tagihku.
“Kita temui seseorang dulu nanti kukasih tahu selanjutnya.”
Saat itu, aku belum mengerti orang seperti apa dirinya. Apakah dia adalah
perencana yang baik? Ataukah risk taker? Jauh
di atas semua itu, apakah dia ini baik atau jahat? Aku pun sama sekali belum
mengerti situasi macam apa yang sedang kuhadapi dan bagaimana mungkin aku bisa
terlibat. Apakah ini murni ketidak sengajaan kesialanku saja atau memang dari
awal aku memang berpotensi masuk dalam plot entah apa ini? Aku sama sekali
belum paham apapun. Ada jutaan pertanyaan yang menumpuk dan berjejal di benakku.
Aku tahu seharusnya aku tanyakan saja langsung saat itu juga. Menuntut
penjelasan. Kurasa aku berhak akan hal itu. Tapi entahlah, selain karena kupikir
belum waktunya juga sepertinya yang paling kubutuhkan saat ini adalah tidur.
Aku terlalu lelah bahkan untuk mengajukan pertanyaan paling sederhana.
Melihatku beringsut menyamankan posisiku, dia menyalakan musik.
Klasik. Aku tanpa sadar tersenyum tipis, geli melihatnya mencoba perhatian.
Ketika mataku mulai berayun malas, dia berkata, “Adriel.”
“Namaku,” tambahnya.
Iya, tahu. Sahutku dalam
hati.
“Key,” balasku. “Namaku Keyla.”
Jadi akhirnya kami resmi berkenalan. Dalam malam yang perlahan menuju
pagi. Di mobil dengan alunan musik Chopin. Dan dengan cara yang, menurutku,
paling aneh untuk sebuah perkenalan. Tapi aku tidak peduli. Saat itu aku hanya
ingin tidur tanpa tahu bahwa perkenalan itu hanyalah sebuah awal dari suatu perjalanan
panjang. Dan rumit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
any advice?