Dulu pas mau berangkat magang,
Mastil pernah bilang kalo di sini tuh mataharinya ada delapan. Waktu itu kirain
yang dimaksud Matahari Dept Store. Ternyata dia bicara dalam konteks yang lebih
filosofis. -_- kayaknya di sini peranakannya neraka deh. Atau, mock upnya
neraka ya mungkin? Hahaha.
Aku mau nulis apa ya? Oh iya.
Ini hari ke 24 aku magang.
Sebenernya, teknisnya sih ini lagi libur tapi.. halah, pokoknya gitu aja biar
gampang. Dan, terhitung hari ke 28 aku di Surabaya. Jyaelah, aku itungan banget
yak? Yang begini ini biasanya terjadi kalo aku homesick, aku bosan, atau tidak
betah, atau… semacam itu. Lalu, apakah aku sedang dalam kondisi semua itu?
Tunggu, jangan berspekulasi dulu. Biarkan aku bahas satu per satu.
Ehem.
Apa aku homesick?
Ya. Sempet homesick emang
beberapa waktu lalu. Di postingan sebelum ini deh kayaknya aku cerita. sama
beberapa hari setelah postingan itu. Jadi ceritanya waktu itu pulang kantor pas
nyampe kosan nggak tau kenapa hapeku ngeblank. Bener-bener ngeblank nggak ada
sinyal apapun. Aku restart sejuta kali sama aja. Otomatis aku frustasi dong.
Aku yang biasanya nampe kosan langsung online sambil klengsotan (ya, ini ritual
rutin setelah balik kantor sebelum mandi—atau tidak mandi sama sekali hahaha.),
ini dipaksa melongo nggak tau musti ngapain. Saat itu aku belum membeli
beberapa buku buat cadangan kalo bosen, dan bodohnya aku juga nggak bawa dari
rumah. Frustasi. Di kosan rata-rata penghuninya udah pada kerja dan aku nggak
pernah benar-benar bertemu mereka. Jadi aku nggak punya temen ngobrol buat
mengalihkan perhatian. Frustasi. Di sini panas gila, dan kerjaan di kantor
banyak, bos lagi senewen. Kenapa ini dibawa-bawa? Entah deh. Pokoknya malam itu
puncak frustasi deh. Ujung-ujungnya homesick deh. Yah, apalagi gunanya rumah
selain untuk “pulang” kan? Pulang dari segala lelah. Pulang dari kelana rindu.
Pulang dari segala bosan. Pulang dari segalanya. Karena hanya “rumah” yang
mampu memenuhi segala rupa, kan? Rumah selalu menjadi tempat lapang dan hangat
saat dunia tidak terlalu ramah. Rumah selalu bisa merengkuh saat hati penuh
dengan peluh. Dan pulang adalah caranya. Pulang untuk menikmati setiap detik
yang bermakna (meskipun setiap detiknya cuma nongkrong di depan tv sampai
ketiduran tapi percayalah, hal-hal begitu bisa sangat ngangenin kalo lagi homesick).
Dan, yang terpenting… bisa ketemu Ciky. Memperbudak makhluk bulat berbulu itu
untuk memuaskan hasrat ngunyel-unyel. Meskipun kenyataannya justru sebaliknya.
-_- aku yang diperbudak disuruh mbikinin makan, bikinin susu tiap pagi,
dimarahin kalo ngeganggu tidur dia yang lelap, disuruh bersihin bulunya. Dasar,
makhluk durhaka!
Next,
Apa aku bosan?
Tidak. Astaga, aku bahkan lupa
untuk merasakan yang satu itu. Kurasa, kalian tidak akan sempat terlintas ingin
bosan saat setiap harinya (kecuali minggu dan sabtu karena sabtu hanya sampe
jam set2) harus kerja dari melek sampe maghrib dan dilanjutkan tidur, bukan
begitu? Tidak, aku tidak bosan. Aku bahkan tidak bosan saat mengetahui
kenyataan aku tidak bisa bebas kemana-mana karena nggak punya motor dan di sini
nggak ada kendaraan umum, plus ponselku tidak bisa menginstal aplikasi gojek.
Sedih kan? Jadi, tidak, aku tidak bosan. Mungkin memang tidak bisa dikatakan seasik
ekspektasiku dulu. Tapi juga tidak bisa disebut bosan. Entah.
Lalu, apa aku tidak betah?
Dalam hal apa dulu nih. Kos?
Jelas aku betah. Yah, mungkin emag nggak seadem dan seluas kosan yang di Solo
sih. Dan lagi juga nggak punya kamar mandi sendiri. Tapi overall, asik-asik aja
kok. Ibu kosnya baik sering ngasih makanan, dan sebagainya, dan sebagainya.
Pokoknya urusan kos asik deh. Lalu, kerjaan? Oke, aku ngaku. Minggu pertama aku
magang emang cukup bikin frustasi. Ada sejuta hal yang nggak sesuai ekspektasi.
Oke, kerjaan yang kukerjakan sih sesuai ekspektasi. Gimanapun aku emang suka all about branding. Dan lagi, asik juga
saat aku bisa belajar macem-macem, dari nyusun strategi brand, konsep visual
sampe bikin visualnya sekalian, juga belajar gimana semua komponen sebuah brand
consultant bekerja. Kliennya juga oke-oke. Jadi apa dong yang bikin frustasi?
Hal-hal kecil diluar itu.
Aku tahu, tidak seharusnya semua
hal berjalan sesuai ekspektasi. Kadang bisa kurang, sangat kurang, atau lebih.
Memangnya apa ekspektasiku? Erm… entah juga ya. Sebenernya, ini lebih ke
hal-hal sepele dan cenderung tidak penting sih. Kayak misal tentang kantornya
yang cuma rumah biasa. Bener-bener (dari luar) rumah biasa, meskipun dalemnya
tetap disetting sebagaimana kantor. Tim yang super kecil. Ah, ini juga sepele.
Bukan masalah berarti bukan kalau suatu tim cuma tim kecil? Hanya saja, ada
satu sisi dalam diriku ingin mengenal banyak orang. Bertemu banyak orang.
Sebenernya, serius, sama sekali
tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan tim kecil. Aku pernah hanya
bertiga, aku, ichak, sama mastil. Dan all is very well. Tapi aku mulai melihat
perbedaannya saat aku menyandingkan mereka (timku dengan mastil v.s. tempat
magang, maksudku). Meskipun kami cuma bertiga, yang kerjanya juga cuma di teras
rumah Mastil yang disetting jadi studio dadakan (dan nyaman hahaha) tapi kami
asik banget kerjanya. Nggak ada gap antara aku-ichak sama Mastil. Padahal,
Mastil tentu punya sejuta alasan untuk menempatkan dirinya di posisi bos dan
sekalian aja bossy. Tapi nggak. Kami benar-benar menikmati semuanya. Selain
itu, Mastil juga sering (banget) ngajakin pergi. Kalo liat kami bosen dikit dia
langsung ngajakin cabut. Sering makan di luar. Dan ketemu banyak orang juga.
Jadi kami kerja tapi nggak melulu di belakang meja.
Dan yang terjadi di sini adalah
sebaliknya. Bosku orangnya kaku dan super perfeksionis. Pembawaan dia yang
begitu tentu nular juga ke kantor yang jadi suram. Jadi, pagi aku masuk jam
set9 terus udah. Kerjaaa sampe jam 18.00. Dengan interior kantor yang juga
kaku. Beda jauh bagai neraka-surga deh kalo sama kreatifnya Plaground dulu
dimana aku bisa ngapain aja. Tapi ya mungkin setiap tempat kerja kan pnya
budayanya masing-masing ya?
Jadi, setelah semuanya, apa aku
kecewa?
*cough*
Tidak sepeneuhnya iya.
Bagaimanapun esensi (ilmu) yang kuharapkan akan kudapatkan aku mendapatkannya
kok di sini. Aku juga dilibatkan dalam proyek-proyek yang jalan di sini juga.
Sudah kubilang, untuk urusan itu semua baik-baik saja. Serius deh. Tapi? Nggak
ada tapi. Aku nggak kecewa magang di sini. Sungguh. Ritme kerja di sini cukup
disiplin, sesuai ekpektasi. Kliennya serius, sesuai ekspektasi. Apa yang
kuharapkan kudapatkan, bisa kudapatkan. Jadi tidak ada masalah.
Kalau begitu, bagian mananya yang
bikin kecewa?
Karena aku belum terlalu
berusaha. Saat aku memasukkan apply ke sini ya karena emang baru di sini dan
langsung diterima. Tahu kan maksudku, kayak… ayolah, aku belum merasakan
ngelamar sana-sini dan sebagainya. Kan otomatis jadi terlintas pikiran, “Jangan-jangan
sebenernya aku bisa di tempat yang di atas ini?” Ah, dasar manusia, nggak
pernah puas. Tapi pikiran begitu, harus kuakui, ada. Karena aku tahu aku belum
maksimal. Aku sepenuhnya tahu itu. Aku tipe orang yang akan uring-uringan saat
aku belum melakukan sesuatu dengan maksimal tapi aku dengan bodohnya melepaskan
“sesuatu” itu. Ya seperti kasus magang ini. Aku belum berusaha maksimal tapi
aku main ambil aja yang di sini. Apa aku terlalu terburu-buru? Bisa jadi.
Dulu sempat berpikir,
jangan-jangan ini perusahaan ecek-ecek yang asal nerima orang? Tapi setelah aku
dateng ternyata nggak juga. Untuk magang di sini ternyata aku juga mengalahkan
pelamar-pelamar lain. Entah mengalahkan atau hanya beruntung. Tapi setidaknya
itu sedikit menghibur deh. Kita lihat aja nanti bakal gimana ke depan. Masih
ada dua bulan. Segalanya bisa terjadi kan?
Atau, jangan-jangan aku iri
dengan dengan temen-temen yang bisa magang di tempat kece, di Jakarta, di
Bandung, atau manalah itu?
Iri? Tidak juga. Aku yakin kok
setiap kita punya jatah jalan masing-masing, nggak ada yang perlu dibahas soal
itu. Dan aku sama sekali tidak terpikirkan untuk iri dengan temen-temen. Ya,
mereka di sana karena mereka berusaha, karena mereka datang dengan kompetensi
mereka. Tentu sudah seharusnya demikian. Lagian kita datang dengan keputusan
kita masing-masing, kan? Aku sendiri, dengan kesadaran penuh, yang memutuskan
memilih tempat ini. Jadi aku tidak kecewa maupun iri, atau apapun itu.
Kalaupun ada yang harus
dikecewakan adalah diriku sendiri yang terlalu terburu-buru mengambil
keputusan. Tapi itu pun cuma sekilas aja. Aku sudah mengatasinya. Aku sudah
punya banyak rencana setelah ini. Tinggal jalan aja. Ah, lagipula.. kayaknya
kata “kecewa” terlalu berlebihan ya? Kedengeran kayak aku frustasi banget gitu,
ya? Hahaha. Biar deh. Terserah kalian mau berpikir apa.
Ngomong-ngomong, Selamat Idul
Adha, yah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
any advice?