Rabu, 13 Mei 2015

Kangen

Kemarin, di lampu merah, ada bus mogok. Kemacetan pun terjadi begitu saja. Panjang dan menyebalkan. Selisih beberapa mobil di depan, aku melihat sebuah ambulans dengan sirinenya mencoba mencari celah untuk meloloskan diri. Aku sempat membayangkan, seandainya aku ada di dalam sana dengan orang yang paling kusayangi mempertaruhkan hidup dan matinya pada sang waktu, sedangkan situasi sedang sekonyol ini. Terjebak kemacetan lampu merah? Apa yang akan kulakukan? Siapa yang salah di sini? Ah, kenapa juga mencari siapa yang salah. 

Kemudian aku menjadi lebih rasional. Oh, ambulans itu bukan membawa manusia antara hidup dan mati seperti yang kupikir. Hanya akan mengantarkan jenazah. Tapi, kenapa pula mengantar jenazah harus seterburu itu? Bukankah yang di dalam sana hanya seonggok daging tanpa nyawa? Tanpa laju metabolisme yang harus diperjuangkan? Apa sebenarnya yang membuat mereka begitu terburu-buru?

Tiba-tiba menjadi kembali tidak rasional.

Kalian pernah memikirkan kematian?

Pernah, mungkin terlintas, curious tentang bagaimana sih dunia setelah ini?

Tidak. Aku bukan sedang ingin bunuh diri. Sebosan apapun aku dengan dunia ini. Ini bukan tentang itu. Semoga juga tidak seserius itu. Well, aku masih selalu punya cara untuk menemukan hal-hal unik tentang dunia ini. Atau mungkin sebaliknya. Dunia ini yang selalu punya cara untuk menarik perhatianku. Tapi  semenarik apapun tidak otomatis menghilangkan keingintauanku tentang dunia setelah ini. Penting? Mungkin iya. Tapi bisa jadi juga tidak.

Kupikir, ketakutan terbesar kita sebagai manusia adalah ketidakpastian. Itulah kenapa perusahaan asuransi menjamur di dunia ini. Dan kematian, dengan beberapa pertimbangan, adalah bagian dari ketidakpastian itu. Bukan terkait kematian itu sendiri. Tentu saja itu jauh lebih pasti daripada apa yang akan terjadi satu menit kedepan. Ini lebih pada kapan? Lalu kita harus bagaimana saat akhirnya melewati gerbang dimensi itu? Apa yang akan kita temukan selanjutnya?

Janji Tuhan, adalah jauh lebih pasti dari apapun. Kalau begitu, apa yang kita cemaskan? Bekal. Setidaknya aku mencemaskan hal itu. Apakah aku masih punya muka saat nanti harus menghadapNya tanpa bekal yang cukup? Lalu apa yang harus aku lakukan saat aku benar-benar merindukanNya? Menangis saja seperti bayi cengeng?

Kenapa kita harus dibuang ke dunia ini? Tentu saja pasti mudah untukNya membuat kita tetap di Surga. Tentu pun mudah untuk Dia memaafkan kesalahan Adam kala itu. Lalu kenapa Dia begitu tega membuat kita sesusah ini di sini dengan dibekali hanya petunjuk-petunjuk samar yang seringkali menimbulkan salah tafsir. Kenapa Dia sebercanda itu dengan kita semua?

Tidak. Aku yang salah. Itu keinginanku. Bukan keinginanNya. Ini keinginanNya.

Dia ingin membuat kita tangguh. Jelas kita tidak akan menjadi tangguh dengan berada di Surga beserta segala kenikmatannya. Di sini kita bisa belajar banyak hal. Memahami manusia, mensyukuri limpahan kenikmatan dariNya, mengagumi ciptaan-ciptaanNya, dan mungkin, memahamiNya?

Bukan soal bagaimana kita menyembahNya. Bukan soal dengan cara apa. Kita yang membutuhkanNya bukan sebaliknya. Bukan soal Surga dan Neraka. Bukan soal apa yang akan kita dapat dari segala perbuatan yang kita kerjakan. (Sebenarnya) itu bukan urusanNya kupikir. Itu urusan kita. Kalau aku jadi Tuhan maka jelas aku tidak peduli. Terserah saja kalian mau bagaimana. Aku hanya akan turun tangan saat kalian benar-benar kelewatan. Itu pun bukan dengan tanganku langsung. Untuk apa? Aku punya lebih dari cukup asisten2 kompeten untuk mengerjakan pekerjaan remeh begitu. Ah, atau mungkin aku tidak akan menyusahkan diri sendiri dengan menciptakan kalian. Atau! Tetap kuciptakan untuk sedikit bermain-main. Yeah, bagaimanapun menjadi sendirian itu membosankan bukan? Bermain dengan makhluk2 lemah seperti kalian pasti lumayan untuk mengisi waktu.

Tapi tidak. Sekali lagi tidak. Aku bukan Tuhannya. Tuhanku yang aku tahu adalah Dia yang begitu peduli denganku. Tetap memaafkanku sebejat apapun aku. Sefatal apapun kesalahan yang kulakukan. Tetap mengulurkan tanganNya saat aku sedikit rapuh atau tergelincir. Tetap menyayangiku utuh meskipun apa yang kulakukan. Dia begitu Besar. Begitu hebat. Begitu baik. 

Sadarkah kita, Dia ingin. Begitu ingin, mengajari kita tentang cinta..

Cinta sejati. DariNya. Diajarkan langsung. Dengan bukti-bukti yang senyata matahari di siang bolong.

Lalu kenapa tiba-tiba aku membuat catatan ini? Ada beberapa hal tapi yang paling mendasar adalah karena...

kangen.

Aku kangen Dia. 

Entah berapa kali aku melewatkan subuhNya dengan alasan yang seharusnya tidak pantas menjadi alasan. Berapa kali aku menunda menghadapNya? Bagaimana seandainya Dia menunggu?

Lalu tentang kematian. Beberapa jam lalu tetanggaku meninggal. Bukankah kematian itu begitu dekat? Bagaimana seandainya Dia bosan mengurusku dan memutuskan untuk memanggilku lebih cepat? Tentu aku akan senang punya alasan bertemu denganNya. Tapi apa benar Dia mau menemuiku? Bagaimana jika tidak?




2 komentar:

  1. kowe gak subuh gara2 deadline, deadlinemu gak berkah lho..

    BalasHapus

any advice?