Jumat, 05 Desember 2014

Eraser #04 – “Pemuja Hujan”





Pemuja Hujan


Awalnya hanya berupa tetesan, sekali dua kali, yang akhirnya berkembang biak. Menjelma menjadi jutaan jarum yang menghujam bumi. Diam-diam aku mempererat genggaman tanganku pada secangkir kopi panas. Hujan hanya air, pikirku lebih untuk menenangkan diriku sendiri. Air dengan sejuta makna. Satu untuk setiap orang, atau sejuta untuk satu orang. Entahlah.

Itu aku, yang secara congkak menyebut diriku pemuja hujan. Apa hakku? Aku tidak peduli. Hujan hanyalah hujan bagi sebagian orang. Jadi kenapa aku begitu mempersulit diri menyukai hal yang mungkin bagi orang lain biasa? Aku tidak tahu.

Ada beberapa hal di dunia ini yang terjadi tanpa kita bisa benar-benar mengerti alasannya. Aku penganut paham eksistensi alasan. Keyakinanku, setiap sesuatu mengisi jalannya waktu pasti disertai, minimal, satu alasan yang pasti. Hanya saja terkadang pemahaman untuk keberadaan alasan itu sendiri baru bisa ditemukan setelah sesuatu lama berlalu. Seperti aku dan hujan. Aku tidak pernah benar-benar mencari alasan kenapa aku menyukai hujan. Maksudku, untuk apa? Aku menyukai hujan, ya sudah. Kenapa harus direpotkan dengan “kenapa”?

Sama juga dengan pertemuan kami. Aku tidak bermaksud untuk memaksakan diri menyamakan ini-itu tapi kupikir pasti ada alasan. Seberapa keras pun aku menolaknya. Seberapa keras pun aku mendustai hatiku sendiri sama sekali tidak berbuah apapun. Dari ceritaku sampai sejauh ini aku mungkin boleh berpikiran bahwa dialah yang datang padaku. Toh memang begitulah yang terlihat. Dia yang menerobos masuk ke kosku. Dia yang menarikku ke dalam masalah yang tidak bisa kuceritakan kepada semua orang. Tapi, akhirnya pilihanku sendirilah untuk ikut campur dan sesumbar ingin membantunya menyelesaikan semuanya. Keberadaannya terlalu tabu untuk sekedar membuat orang merasa ingin tahu. Aku? Seseorang yang boleh jadi terlalu asyik dengan duniaku sendiri, tidaklah lebih terasa nyata dari keberadaannya. Jadi kenapa aku mulai menanyakan alasan?

Karena rindu.

Astaga, aku tidak percaya mengatakannya. Rindu, terdengar begitu melankolis dan drama. Tapi aku sudah berjanji untuk berhenti membohongi diri. Aku bisa belagak baik-baik saja di depan semua orang. Aku bisa, dan dengan suka rela, mendustai mereka. Menyembunyikan dengan rapat perasaanku yang sebenarnya. Membangun benteng pertahanan tinggi untuk menciptakan sebuah pribadi yang sama sekali lain. Dan aku masih bisa terus begitu. Tapi dengan diriku sendiri? Biarlah aku mencoba jujur. Juga dengan hujan, dan dia. Untuk yang terakhir, tidak ada alasan untukku menyembunyikan apapun. Dia bisa membaca kebohongan.

“Kenapa suka hujan?

Itu pertanyaannya di satu waktu yang secara insidental membuat kami terpaksa menikmati hujan. Satu memori kecil yang lagi-lagi mengusikku. Pertanyaan itu ia lontarkan ketika aku tanpa sadar tersenyum memandang gerakan ringan pepohonan yang tertimpa hujan lebat, dan dia memperhatikan itu.

“Eh?” celetukku ketika itu. Pertanyaan macam apa itu, pikirku.

Dia hanya mengangkat kedua alisnya. Merasa tidak perlu mengulangi pertanyaan, dia menggantinya dengan sedikit kalimat penjelas.

“Kupikir semua orang menyukai sesuatu pasti karena suatu alasan. Untuk hujan, satu hal yang sungguh biasa, bahkan mungkin menyebalkan untuk sebagian orang, kukira kau akan punya alasan.”

Aku diam. Sibuk sendiri berpikir tentang alasan yang dimintanya. Dia memilih pergi meninggalkanku tenggelam dalam pemikiran tidak pentingku sendiri. Bodohnya, aku benar-benar memikirkan itu, sembari menatap hujan dari jendela kaca besar di villanya. Jangan berpikir macam-macam, aku sudah bilang ini insidental. Kau akan menemukan alasan kami di sini kalau kau membaca catatanku ini sampai akhir nanti. Tapi terserahlah, aku juga tidak peduli apa yang kaupikirkan.

“Kau benar-benar memikirkannya?” tanyanya sambil tertawa ketika kembali dengan dua cangkir coklat panas di kedua tangannya.

Aku mengerutkan dahi, malu sendiri. Dia kembali duduk di depanku kemudian menyodorkan satu cangkir padaku. Aku meraihnya tapi hanya untuk menikmati kehangatannya dengan kedua telapak tanganku. Dia menatap keluar jendela sembari meminum miliknya.

“Jangan terlalu serius. Kadang alasan datang terlambat. Mungkin suatu saat nanti kau akan mengulangi ini, memandangi hujan sambil mengingatku?” dia tersenyum narsis sambil melirikku saat mengatakan ini. Aku mendengus.

Dia tertawa, “Tapi serius. Sadarkah kau hujan hampir selalu menemani kebersamaan kita? Meskipun sebenarnya logis saja karena kita bertemu di musim hujan parah begini tapi siapa tahu? Suatu hari nanti kau akan duduk memandangi hujan dan mengingatku? Setidak ingin apapun dirimu. Karena kau sendiri yang mengizinkan hujan merekam memori tentangku.”

Aku? Jadi lagi-lagi aku? Tapi aku mengaku, ya, setidak ingin apapun aku mengingatnya hujan tetap memaksaku mengingatnya. Di manapun. Terkadang, di tengah gaduhnya kelas aku bisa merasa hening dan rileks hanya dengan memandangi hujan melalui jendela. Di perjalanan, saat semua orang mengumpat dan melemparkan sumpah serapah karena hujan yang tiba-tiba menyerang, aku bisa tersenyum sendiri menyambutnya. Hujan tidak hanya menyimpan memori tentang dia, hujan telah membuatku merasakan kehadirannya, merasakan dekat sekaligus jauhnya kami. Terdengar melankolis? Maaf.

Aku punya banyak cerita tentang kami. Dia, hujan, dan aku maksudku. Kau mau mendengarnya? Baiklah, temani aku ya. Aku akan membagikan sepotong cerita padamu. Tapi seperti biasa, kita bikin kesepakatan dulu. Aku tidak bisa menjanjikan untuk langsung selesai. Aku sedang menunggu klienku saat ini. Setelah teleponnya yang panik tentang kekalahannya di rapat kemarin (dan ditutup oleh telepon darinya), dia mengajakku bertemu untuk membicarakan beberapa hal. Aku sudah di sini selama 15 menit dari waktu yang ia janjikan. Oh ya, dia mengajakku bertemu di salah satu hotel di Solo tapi aku menolak. Bagaimanapun tampangku mahasiswa dengan dandanan kucel dan buluk ala anak desain komunikasi visual, sedangkan dia politikus yang beberapa kali menampangkan diri di televisi. Dari sisi manapun aku di rugikan, kalau kau tahu maksudku. Aku hanya tidak suka meladeni pandangan-pandangan aneh orang-orang yang mungkin melihat kami.

Jadi akhirnya aku memintanya untuk bertemu di restoran pilihanku. Aku sudah memperhitungkan segalanya. Restoran ini terlalu mahal untuk menjadi tempat makan mahasiswa jadi kemungkinan untuk bertemu teman atau orang yang kukenal di dunia permukaan akan sangat tipis. Sudahlah, intinya dia belum datang. Dan, kalau melihat parahnya hujan di luar, sepertinya dia belum akan datang. Jadi aku akan membunuh waktu dengan menuliskan cerita ini.

*
Sore itu lagi-lagi hujan tapi, syukurlah, aku sudah sampai di parkiran sebuah kantor salah satu koran di Solo. Aku segera berlari ke teras gedung kemudian merapikan baju sembari berharap bisa sedikit mengusir air hujan di tubuhku. Aku menghela napas, lebih untuk meyakinkan diriku sendiri. Hari ini adalah hari kedua setelah pertemuan pertamaku dengan lelaki itu. Di sini, aku bermaksud mengajukan lamaran magang. Belum waktunya memang, aku hanya ingin mencari kesibukan saja. Aku tidak berharap banyak mengingat aku sendiri yang masih teramat hijau di dunia desain. Tapi, siapa tahu?

Di depan, aku disambut resepsionis cantik dan ramah. Sebagaimana seharusnya resepsionis. Setelah bercakap sebentar demi mengingatkannya pada teleponku kemarin, dia mempersilakanku untuk menemui sang Pemimpin Redaksi langsung di ruangannya. Wow, celetukku dalam hati, kukira aku hanya akan disuruh meninggalkan berkas CV di sini saja. Mungkin pertanda bagus? Hehe. Jadi akupun melangkah riang ke kantor yang diinstruksikan mbak Resepsionis. Kesempatan, mataku jelalatan memindai suasana yang kulewati. Hingga kemudian sampai di kantor yang dimaksud, aku kembali merapikan segala hal yang perlu. Termasuk mengetes suara. Meskipun yang terakhir tidak perlu.

Dari pintu kaca buram aku melihat Pemimpin Redaksi sedang ada tamu. Aku bimbang. Masuk sekarang atau kutunggu saja? Ah, mungkin menunggu beberapa menit lagi tak apa. Baiklah.

Aku bersandar di sebelah pintu kaca buram, menggambar-gambar lantai dengan kaki. Awalnya hanya sebuah kurva hampir V, kutambahi beberapa garis patah-patah di atasnya, kemudian dua lingkaran di dalamnya, dilengkapi hidung, lalu… kuhapus. Aku tahu seharusnya aku melupakan lelaki itu, aku tahu. Hanya saja… oke, aku akan melupakannya. Aku tidak akan membahas lagi.

Sebelum pikiranku kembali melantur, aku memeriksa keberadaan si Tamu. Tiba-tiba pintu kaca itu bergeser dan waktu berhenti. Di depanku ada seorang lelaki berseragam pengantar pizza, berwajah tirus, dan mata abu-abu gelap dengan pandangan tajam fokus ke mataku. Lelaki itu, lelaki yang dua hari lalu mengacaukan hidupku. Lelaki yang baru saja aku gambar secara abstrak sekarang tepat ada di depanku!

Refleks, perlahan mataku beralih ke Pemimpin Redaksi. Lelaki paruh baya dengan badan gembul yang terkulai di tempat duduknya seperti patung terkejut jika saja tidak ada lubang di dahinya. Lelaki di depanku yang pertama kali membaca situasi. Dia menutup pintu di belakangnya kemudian menyeretku yang masih sepenuhnya terkejut. Dia terus menggenggam tanganku dan setengah berlari meninggalkan kantor Pemimpin Redaksi. Aku sendiri tidak bisa sepenuhnya fokus. Mungkin benar kakiku berlari mengikuti irama lari lelaki itu tapi aku merasa seperti mengambang. Bahkan masih begitu ketika hujan menyerbu kepalaku dan lelaki itu memakaikan helmnya padaku.

*
Kami berhenti di sebuah bangunan mall terbengkelai dan dipenuhi tumbuhan liar. Hujan masih deras menghujam bumi. Sekarang ditambah dengan angin kencang. Tubuhku yang basah kuyup mulai menggigil dengan serbuan angin yang membawa butiran hujan. Lelaki itu turun dari motor kemudian menuju sebuah mobil sport warna hitam yang terparkir dua meter dari tempat kami berhenti. Sejak kapan ada mobil? Entahlah. Aku terlalu kacau untuk mengenali sekitar. Dia mengambil jaket kemudian memakaikannya padaku. Saat itulah aku mulai mendapatkan fokusku. Aku menolaknya. Kemudian menatap matanya lekat.

Sama seperti  dua hari lalu, kami sama-sama diam. Bedanya, saat ini dadaku penuh dengan perasaan aneh. Antara takut, syok, sedih, dan ngeri yang bercampur menjadi satu. Kami masih saling bertatapan dalam diam. Menurutmu, apa yang harus kukatakan?

Maksudku, aku tahu akan kemungkinan ini. Ada terlalu banyak bukti yang menyuarakan status lelaki ini sebagai kriminal. Aku hanya… aku tidak pernah berpikir akan bertemu dia lagi setelah dua hari lalu dia kabur saat kutinggal membeli makan. Tanpa meninggalkan jejak apapun. Membuatku kembali ragu nyata tidaknya peristiwa itu. Mungkin aku akan memutuskan bahwa apa yang terjadi sebelumnya hanyalah imajinasiku semata seandainya aku tidak menyadari kemeja putihku ikut hilang.

Lelaki itu meraih tanganku, aku menepisnya.

“Apa maumu?” tanyanya, terdengar geregetan. Sementara aku masih diam. Dia menghela napas pelan. “Ikut aku, kau akan aman. Tunggu di sana, aku akan menyelesaikan semuanya.”

“Aman? Memangnya aku kenapa? Aku baik-baik saja! Kau yang tidak aman! Kau yang membunuh orang itu, bukan aku! Jadi kenapa aku harus khawatir?”

Lelaki itu berdecak, kemudian mengeluarkan ponselnya. Dia melakukan sesuatu dengan gadgetnya itu sebelum akhirnya menunjukkan layarnya padaku.

“Kau lihat? Kau buronan sekarang!”

Aku refleks menutup mulutku dengan kedua tanganku. Dia mengakses situs tertentu, bukan berita online kacangan yang bisa diakses siapapun. Aku malah menduga itu semacam database kepolisian atau semacamnya. Tapi aku juga tidak tahu bagaimana penjelasannya. Lelaki ini jelas kriminal, mana mungkin dia punya akses sespesial itu ke pihak yang seharusnya menjadi musuhnya. Tapi kalaupun dia bisa meng-hack data itu, aku tetap tidak mengerti bagaimana mekanismenya menjadi hacker melalui ponsel. Ah, sudahlah. Bukan di situ fokusku sekarang.

“A-aku? Kenapa aku? Tidak! Ini pasti gara-gara kau! Kalau tadi kau tidak membawaku kabur maka semua akan baik-baik saja! Ini semua salahmu!” teriakku sembari berbalik berniat pergi tapi gagal karena tangannya lagi-lagi menahanku.

“Kau mau kemana?” tanyanya.

“Kemana lagi? Aku akan kembali ke sana dan menjelaskan segalanya kepada mereka!”

“Kaupikir mereka akan percaya?!”

“Aku tidak peduli, aku akan-”

Tiba-tiba dia menarikku. Kami menjadi sangat dekat sekarang. Berbalik dari aku yang begitu gemetar, dia sangat tenang. Aku bisa merasakan dengan jelas ketenangannya dalam jarak sedekat ini. Dan kalau aku bisa, kurasa dia juga bisa merasakan ketakutanku. Merasakan detak jantungku yang tidak berantakan dan napas yang juga mendukung segalanya. Dia mengunci pandanganku dengan matanya yang tajam. Satu tatapan yang seketika itu meruntuhkan pemberontakanku.

“Dengarkan aku! Bukan aku yang mereka lihat! Aku masuk sampai ke ruangan itu tanpa tertangkap CCTV. Tanpa saksi! Sekarang aku tanya, ada berapa orang yang melihatmu dari kau memarkir motor hingga tiba di depan ruangan itu? Satu? Dua? Aku yakin tidak hanya itu, bukan? Kau ada posisi yang lemah, dan lagi mereka sudah memasukkanmu dalam daftar mereka atas tindakan heroikmu menolongku kemarin!”

“Aku bisa menjelaskan ke mereka-”

“Bukan begitu cara kerja mereka! Kasusku sudah terlalu lama dan rumit! Atasan mereka butuh jawaban untuk mencegah kecurigaan masyarakat! Mereka butuh orang! Siapapun!”

Dia melepaskan genggamannya kemudian menghela napas lagi. Namun kali ini lebih untuk meredam kemarahannya sendiri. Aku mulai surut.

“Atau, pergi saja sana. Serahkan dirimu. Mungkin itu lebih baik daripada merepotkanku lebih jauh lagi,” ujarnya kemudian berbalik.

Terlambat, aku sudah sepenuhnya menemukan diriku kembali sekarang. Segera aku melepas sepatu kananku dan taktis kulemparkan padanya, tepat mengenai kepala. Seketika dia berbalik sambil memegangi kepalanya.

“Dasar lelaki tidak tahu terima kasih!” seruku. Kau terkejut? Aku juga. Kenapa aku tiba-tiba melontarkan kalimat itu? Kalau bukan terlalu kacau, mungkin bisa jadi terlalu putus asa?

Awalnya lelaki itu terlihat mau marah namun ekspresinya berganti menjadi semacam bingung dengan kedua alis terangkat setelah lontaran kalimat pertamaku. Dan masih begitu, bahkan aku bisa melihat alisnya semakin terangkat oleh serbuan cercaanku selanjutnya.

“Aku sudah menolongmu, bahkan tanpa ucapan terima kasih kau kabur begitu saja. Oke, fine! Dan sekarang kau malah menyalahkanku karena itu?! Menyebutku heroik dan sebagainya? Astaga, kita bahkan belum saling kenal! Kau yang menarikku ke masalah ini, membawaku kabur ke sini. Lalu kau bermaksud meninggalkanku begitu saja? Kau mau lari dari tanggung jawab?! Jangan harap!” seruku kemudian berlari masuk ke mobilnya tanpa mempedulikan dia yang masih diam cengoh dengan dahi mengerut.

Beberapa detik setelahnya, setelah kulihat dia mengangkat bahu (mungkin sedang menjawab pertanyaannya sendiri), dia menyusulku, menyerahkan sepatu kananku. “Kau butuh sepasang,” ujarnya, masih tanpa senyum. Aku diam, masih berlagak marah. Tolong jangan tanya bagaimana ekspresi sebenarnya di hatiku sini. Meskipun akhirnya aku kelepasan tersenyum saat ia membawa mobilnya membelah hujan. Itu adalah hujan pertama kami.

Eraser #04 – end.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

any advice?