Pemuja Hujan |
Awalnya hanya berupa tetesan, sekali dua kali, yang akhirnya
berkembang biak. Menjelma menjadi jutaan jarum yang menghujam bumi. Diam-diam
aku mempererat genggaman tanganku pada secangkir kopi panas. Hujan hanya air,
pikirku lebih untuk menenangkan diriku sendiri. Air dengan sejuta makna. Satu
untuk setiap orang, atau sejuta untuk satu orang. Entahlah.
Itu aku, yang secara congkak menyebut diriku pemuja hujan. Apa hakku?
Aku tidak peduli. Hujan hanyalah hujan bagi sebagian orang. Jadi kenapa aku
begitu mempersulit diri menyukai hal yang mungkin bagi orang lain biasa? Aku
tidak tahu.
Ada beberapa hal di dunia ini yang terjadi tanpa kita bisa benar-benar
mengerti alasannya. Aku penganut paham eksistensi alasan. Keyakinanku, setiap
sesuatu mengisi jalannya waktu pasti disertai, minimal, satu alasan yang pasti.
Hanya saja terkadang pemahaman untuk keberadaan alasan itu sendiri baru bisa
ditemukan setelah sesuatu lama berlalu. Seperti aku dan hujan. Aku tidak pernah
benar-benar mencari alasan kenapa aku menyukai hujan. Maksudku, untuk apa? Aku
menyukai hujan, ya sudah. Kenapa harus direpotkan dengan “kenapa”?
Sama juga dengan pertemuan kami. Aku tidak bermaksud untuk memaksakan
diri menyamakan ini-itu tapi kupikir pasti ada alasan. Seberapa keras pun aku
menolaknya. Seberapa keras pun aku mendustai hatiku sendiri sama sekali tidak
berbuah apapun. Dari ceritaku sampai sejauh ini aku mungkin boleh berpikiran
bahwa dialah yang datang padaku. Toh memang begitulah yang terlihat. Dia yang
menerobos masuk ke kosku. Dia yang menarikku ke dalam masalah yang tidak bisa
kuceritakan kepada semua orang. Tapi, akhirnya pilihanku sendirilah untuk ikut
campur dan sesumbar ingin membantunya menyelesaikan semuanya. Keberadaannya
terlalu tabu untuk sekedar membuat orang merasa ingin tahu. Aku? Seseorang yang
boleh jadi terlalu asyik dengan duniaku sendiri, tidaklah lebih terasa nyata
dari keberadaannya. Jadi kenapa aku mulai menanyakan alasan?
Karena rindu.
Astaga, aku tidak percaya mengatakannya. Rindu, terdengar begitu
melankolis dan drama. Tapi aku sudah berjanji untuk berhenti membohongi diri.
Aku bisa belagak baik-baik saja di depan semua orang. Aku bisa, dan dengan suka
rela, mendustai mereka. Menyembunyikan dengan rapat perasaanku yang sebenarnya.
Membangun benteng pertahanan tinggi untuk menciptakan sebuah pribadi yang sama
sekali lain. Dan aku masih bisa terus begitu. Tapi dengan diriku sendiri?
Biarlah aku mencoba jujur. Juga dengan hujan, dan dia. Untuk yang terakhir,
tidak ada alasan untukku menyembunyikan apapun. Dia bisa membaca kebohongan.
“Kenapa suka hujan?”
Itu pertanyaannya di satu waktu yang secara insidental membuat kami
terpaksa menikmati hujan. Satu memori kecil yang lagi-lagi mengusikku.
Pertanyaan itu ia lontarkan ketika aku tanpa sadar tersenyum memandang gerakan
ringan pepohonan yang tertimpa hujan lebat, dan dia memperhatikan itu.
“Eh?” celetukku ketika itu.
Pertanyaan macam apa itu, pikirku.
Dia hanya mengangkat kedua alisnya. Merasa tidak perlu mengulangi
pertanyaan, dia menggantinya dengan sedikit kalimat penjelas.
“Kupikir semua orang menyukai
sesuatu pasti karena suatu alasan. Untuk hujan, satu hal yang sungguh biasa,
bahkan mungkin menyebalkan untuk sebagian orang, kukira kau akan punya alasan.”
Aku diam. Sibuk sendiri berpikir tentang alasan yang dimintanya. Dia
memilih pergi meninggalkanku tenggelam dalam pemikiran tidak pentingku sendiri.
Bodohnya, aku benar-benar memikirkan itu, sembari menatap hujan dari jendela
kaca besar di villanya. Jangan berpikir macam-macam, aku sudah bilang ini
insidental. Kau akan menemukan alasan kami di sini kalau kau membaca catatanku
ini sampai akhir nanti. Tapi terserahlah, aku juga tidak peduli apa yang
kaupikirkan.
“Kau benar-benar memikirkannya?”
tanyanya sambil tertawa ketika kembali dengan dua cangkir coklat panas di
kedua tangannya.
Aku mengerutkan dahi, malu sendiri. Dia kembali duduk di depanku
kemudian menyodorkan satu cangkir padaku. Aku meraihnya tapi hanya untuk
menikmati kehangatannya dengan kedua telapak tanganku. Dia menatap keluar
jendela sembari meminum miliknya.
“Jangan terlalu serius. Kadang
alasan datang terlambat. Mungkin suatu saat nanti kau akan mengulangi ini,
memandangi hujan sambil mengingatku?” dia tersenyum narsis sambil melirikku
saat mengatakan ini. Aku mendengus.
Dia tertawa, “Tapi serius.
Sadarkah kau hujan hampir selalu menemani kebersamaan kita? Meskipun sebenarnya
logis saja karena kita bertemu di musim hujan parah begini tapi siapa tahu?
Suatu hari nanti kau akan duduk memandangi hujan dan mengingatku? Setidak ingin
apapun dirimu. Karena kau sendiri yang mengizinkan hujan merekam memori
tentangku.”
Aku? Jadi lagi-lagi aku? Tapi aku mengaku, ya, setidak ingin apapun
aku mengingatnya hujan tetap memaksaku mengingatnya. Di manapun. Terkadang, di
tengah gaduhnya kelas aku bisa merasa hening dan rileks hanya dengan memandangi
hujan melalui jendela. Di perjalanan, saat semua orang mengumpat dan
melemparkan sumpah serapah karena hujan yang tiba-tiba menyerang, aku bisa
tersenyum sendiri menyambutnya. Hujan tidak hanya menyimpan memori tentang dia,
hujan telah membuatku merasakan kehadirannya, merasakan dekat sekaligus jauhnya
kami. Terdengar melankolis? Maaf.
Aku punya banyak cerita tentang kami. Dia, hujan, dan aku maksudku.
Kau mau mendengarnya? Baiklah, temani aku ya. Aku akan membagikan sepotong
cerita padamu. Tapi seperti biasa, kita bikin kesepakatan dulu. Aku tidak bisa
menjanjikan untuk langsung selesai. Aku sedang menunggu klienku saat ini.
Setelah teleponnya yang panik tentang kekalahannya di rapat kemarin (dan
ditutup oleh telepon darinya), dia
mengajakku bertemu untuk membicarakan beberapa hal. Aku sudah di sini selama 15
menit dari waktu yang ia janjikan. Oh ya, dia mengajakku bertemu di salah satu
hotel di Solo tapi aku menolak. Bagaimanapun tampangku mahasiswa dengan
dandanan kucel dan buluk ala anak desain komunikasi visual, sedangkan dia
politikus yang beberapa kali menampangkan diri di televisi. Dari sisi manapun
aku di rugikan, kalau kau tahu maksudku. Aku hanya tidak suka meladeni
pandangan-pandangan aneh orang-orang yang mungkin melihat kami.
Jadi akhirnya aku memintanya untuk bertemu di restoran pilihanku. Aku
sudah memperhitungkan segalanya. Restoran ini terlalu mahal untuk menjadi
tempat makan mahasiswa jadi kemungkinan untuk bertemu teman atau orang yang
kukenal di dunia permukaan akan sangat tipis. Sudahlah, intinya dia belum
datang. Dan, kalau melihat parahnya hujan di luar, sepertinya dia belum akan
datang. Jadi aku akan membunuh waktu dengan menuliskan cerita ini.
*
Sore itu lagi-lagi hujan tapi, syukurlah, aku sudah sampai di parkiran
sebuah kantor salah satu koran di Solo. Aku segera berlari ke teras gedung
kemudian merapikan baju sembari berharap bisa sedikit mengusir air hujan di
tubuhku. Aku menghela napas, lebih untuk meyakinkan diriku sendiri. Hari ini
adalah hari kedua setelah pertemuan pertamaku dengan lelaki itu. Di sini, aku
bermaksud mengajukan lamaran magang. Belum waktunya memang, aku hanya ingin
mencari kesibukan saja. Aku tidak berharap banyak mengingat aku sendiri yang
masih teramat hijau di dunia desain. Tapi, siapa tahu?
Di depan, aku disambut resepsionis cantik dan ramah. Sebagaimana
seharusnya resepsionis. Setelah bercakap sebentar demi mengingatkannya pada
teleponku kemarin, dia mempersilakanku untuk menemui sang Pemimpin Redaksi
langsung di ruangannya. Wow, celetukku dalam hati, kukira aku hanya akan
disuruh meninggalkan berkas CV di sini saja. Mungkin pertanda bagus? Hehe. Jadi
akupun melangkah riang ke kantor yang diinstruksikan mbak Resepsionis. Kesempatan, mataku jelalatan memindai suasana
yang kulewati. Hingga kemudian sampai di kantor yang dimaksud, aku kembali
merapikan segala hal yang perlu. Termasuk mengetes suara. Meskipun yang
terakhir tidak perlu.
Dari pintu kaca buram aku melihat Pemimpin Redaksi sedang ada tamu.
Aku bimbang. Masuk sekarang atau kutunggu saja? Ah, mungkin menunggu beberapa
menit lagi tak apa. Baiklah.
Aku bersandar di sebelah pintu kaca buram, menggambar-gambar lantai
dengan kaki. Awalnya hanya sebuah kurva hampir V, kutambahi beberapa garis
patah-patah di atasnya, kemudian dua lingkaran di dalamnya, dilengkapi hidung,
lalu… kuhapus. Aku tahu seharusnya aku melupakan lelaki itu, aku tahu. Hanya
saja… oke, aku akan melupakannya. Aku tidak akan membahas lagi.
Sebelum pikiranku kembali melantur, aku memeriksa keberadaan si Tamu.
Tiba-tiba pintu kaca itu bergeser dan waktu berhenti. Di depanku ada seorang
lelaki berseragam pengantar pizza, berwajah tirus, dan mata abu-abu gelap
dengan pandangan tajam fokus ke mataku. Lelaki itu, lelaki yang dua hari lalu
mengacaukan hidupku. Lelaki yang baru saja aku gambar secara abstrak sekarang
tepat ada di depanku!
Refleks, perlahan mataku beralih ke Pemimpin Redaksi. Lelaki paruh
baya dengan badan gembul yang terkulai di tempat duduknya seperti patung
terkejut jika saja tidak ada lubang di dahinya. Lelaki di depanku yang pertama
kali membaca situasi. Dia menutup pintu di belakangnya kemudian menyeretku yang
masih sepenuhnya terkejut. Dia terus menggenggam tanganku dan setengah berlari
meninggalkan kantor Pemimpin Redaksi. Aku sendiri tidak bisa sepenuhnya fokus.
Mungkin benar kakiku berlari mengikuti irama lari lelaki itu tapi aku merasa
seperti mengambang. Bahkan masih begitu ketika hujan menyerbu kepalaku dan lelaki
itu memakaikan helmnya padaku.
*
Kami berhenti di sebuah bangunan mall terbengkelai dan dipenuhi
tumbuhan liar. Hujan masih deras menghujam bumi. Sekarang ditambah dengan angin
kencang. Tubuhku yang basah kuyup mulai menggigil dengan serbuan angin yang
membawa butiran hujan. Lelaki itu turun dari motor kemudian menuju sebuah mobil
sport warna hitam yang terparkir dua meter dari tempat kami berhenti. Sejak kapan
ada mobil? Entahlah. Aku terlalu kacau untuk mengenali sekitar. Dia mengambil
jaket kemudian memakaikannya padaku. Saat itulah aku mulai mendapatkan fokusku.
Aku menolaknya. Kemudian menatap matanya lekat.
Sama seperti dua hari lalu,
kami sama-sama diam. Bedanya, saat ini dadaku penuh dengan perasaan aneh.
Antara takut, syok, sedih, dan ngeri yang bercampur menjadi satu. Kami masih
saling bertatapan dalam diam. Menurutmu, apa yang harus kukatakan?
Maksudku, aku tahu akan kemungkinan ini. Ada terlalu banyak bukti yang
menyuarakan status lelaki ini sebagai kriminal. Aku hanya… aku tidak pernah
berpikir akan bertemu dia lagi setelah dua hari lalu dia kabur saat kutinggal
membeli makan. Tanpa meninggalkan jejak apapun. Membuatku kembali ragu nyata
tidaknya peristiwa itu. Mungkin aku akan memutuskan bahwa apa yang terjadi
sebelumnya hanyalah imajinasiku semata seandainya aku tidak menyadari kemeja
putihku ikut hilang.
Lelaki itu meraih tanganku, aku menepisnya.
“Apa maumu?” tanyanya, terdengar geregetan. Sementara aku masih diam.
Dia menghela napas pelan. “Ikut aku, kau akan aman. Tunggu di sana, aku akan
menyelesaikan semuanya.”
“Aman? Memangnya aku kenapa? Aku baik-baik saja! Kau yang tidak aman!
Kau yang membunuh orang itu, bukan aku! Jadi kenapa aku harus khawatir?”
Lelaki itu berdecak, kemudian mengeluarkan ponselnya. Dia melakukan
sesuatu dengan gadgetnya itu sebelum
akhirnya menunjukkan layarnya padaku.
“Kau lihat? Kau buronan sekarang!”
Aku refleks menutup mulutku dengan kedua tanganku. Dia mengakses situs
tertentu, bukan berita online kacangan yang bisa diakses siapapun. Aku malah
menduga itu semacam database kepolisian atau semacamnya. Tapi aku juga tidak
tahu bagaimana penjelasannya. Lelaki ini jelas kriminal, mana mungkin dia punya
akses sespesial itu ke pihak yang seharusnya menjadi musuhnya. Tapi kalaupun
dia bisa meng-hack data itu, aku
tetap tidak mengerti bagaimana mekanismenya menjadi hacker melalui ponsel. Ah, sudahlah. Bukan di situ fokusku
sekarang.
“A-aku? Kenapa aku? Tidak! Ini pasti gara-gara kau! Kalau tadi kau
tidak membawaku kabur maka semua akan baik-baik saja! Ini semua salahmu!”
teriakku sembari berbalik berniat pergi tapi gagal karena tangannya lagi-lagi
menahanku.
“Kau mau kemana?” tanyanya.
“Kemana lagi? Aku akan kembali ke sana dan menjelaskan segalanya
kepada mereka!”
“Kaupikir mereka akan percaya?!”
“Aku tidak peduli, aku akan-”
Tiba-tiba dia menarikku. Kami menjadi sangat dekat sekarang. Berbalik
dari aku yang begitu gemetar, dia sangat tenang. Aku bisa merasakan dengan
jelas ketenangannya dalam jarak sedekat ini. Dan kalau aku bisa, kurasa dia
juga bisa merasakan ketakutanku. Merasakan detak jantungku yang tidak berantakan
dan napas yang juga mendukung segalanya. Dia mengunci pandanganku dengan matanya
yang tajam. Satu tatapan yang seketika itu meruntuhkan pemberontakanku.
“Dengarkan aku! Bukan aku yang mereka lihat! Aku masuk sampai ke
ruangan itu tanpa tertangkap CCTV. Tanpa saksi! Sekarang aku tanya, ada berapa
orang yang melihatmu dari kau memarkir motor hingga tiba di depan ruangan itu?
Satu? Dua? Aku yakin tidak hanya itu, bukan? Kau ada posisi yang lemah, dan
lagi mereka sudah memasukkanmu dalam daftar mereka atas tindakan heroikmu
menolongku kemarin!”
“Aku bisa menjelaskan ke mereka-”
“Bukan begitu cara kerja mereka! Kasusku sudah terlalu lama dan rumit!
Atasan mereka butuh jawaban untuk mencegah kecurigaan masyarakat! Mereka butuh
orang! Siapapun!”
Dia melepaskan genggamannya kemudian menghela napas lagi. Namun kali
ini lebih untuk meredam kemarahannya sendiri. Aku mulai surut.
“Atau, pergi saja sana. Serahkan dirimu. Mungkin itu lebih baik
daripada merepotkanku lebih jauh lagi,” ujarnya kemudian berbalik.
Terlambat, aku sudah sepenuhnya menemukan diriku kembali sekarang.
Segera aku melepas sepatu kananku dan taktis kulemparkan padanya, tepat
mengenai kepala. Seketika dia berbalik sambil memegangi kepalanya.
“Dasar lelaki tidak tahu terima kasih!” seruku. Kau terkejut? Aku
juga. Kenapa aku tiba-tiba melontarkan kalimat itu? Kalau bukan terlalu kacau,
mungkin bisa jadi terlalu putus asa?
Awalnya lelaki itu terlihat mau marah namun ekspresinya berganti
menjadi semacam bingung dengan kedua alis terangkat setelah lontaran kalimat
pertamaku. Dan masih begitu, bahkan aku bisa melihat alisnya semakin terangkat
oleh serbuan cercaanku selanjutnya.
“Aku sudah menolongmu, bahkan tanpa ucapan terima kasih kau kabur
begitu saja. Oke, fine! Dan sekarang
kau malah menyalahkanku karena itu?! Menyebutku heroik dan sebagainya? Astaga,
kita bahkan belum saling kenal! Kau yang menarikku ke masalah ini, membawaku
kabur ke sini. Lalu kau bermaksud meninggalkanku begitu saja? Kau mau lari dari
tanggung jawab?! Jangan harap!” seruku kemudian berlari masuk ke mobilnya tanpa
mempedulikan dia yang masih diam cengoh dengan
dahi mengerut.
Beberapa detik setelahnya, setelah kulihat dia mengangkat bahu
(mungkin sedang menjawab pertanyaannya sendiri), dia menyusulku, menyerahkan
sepatu kananku. “Kau butuh sepasang,” ujarnya, masih tanpa senyum. Aku diam,
masih berlagak marah. Tolong jangan tanya bagaimana ekspresi sebenarnya di
hatiku sini. Meskipun akhirnya aku kelepasan tersenyum saat ia membawa mobilnya
membelah hujan. Itu adalah hujan pertama kami.
Eraser #04 – end.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
any advice?