Sabtu, 15 November 2014

Eraser #03 (Part 2)


Aku sengaja berlama-lama turun dari motor kemudian menjawab sapaan polisi itu. Entah cuma perasaanku saja atau kalau dalam situasi seperti ini semua hal terlihat dramatis tapi rasanya para polisi itu memandangku penuh curiga seakan mereka bukan ingin bertanya alamat (ya, iyalah!) atau mungkin sekedar, “Hai, kau melihat seorang pria tampan berdarah-darah yang kemungkinan lewat di sekitar sini? Iya, beberapa jam lalu!”. Tidak. Astaga, mana mungkin seperti itu. Baiklah, aku terlalu panik untuk berpikir jernih. Aku berusaha tampil setenang dan sebloon mungkin meskipun otakku berputar cepat memikirkan segala kemungkinan.

Tidak baik, jelas. Bagaimanapun mereka memutuskan memencet tombol bel di kosku, itu hanya mengindikasikan beberapa hal sempit yang cenderung terlihat jelas. Pasti ada alasan kenapa mereka berkerumun di kosku. Adakah yang melapor? Adakah saksi? Adakah alat pelacak atau semacamnya di baju atau bagian manapun di tubuh lelaki itu? Atau sebenarnya para polisi itu melihat jelas lelaki itu masuk kosku? Atau apa?

“Ada… apa ya, Pak?” tanyaku. Ingat, aku sedang belagak bloon di sini meskipun aku yakin benar inilah akhir hidupku. Oh ya, seratus persen! Mereka tidak hanya satu atau dua orang, TIGA! Dan tidak hanya satu mobil. Aku mulai berspekulasi, tiga polisi dengan dua mobil hanya berarti satu hal; mereka yakin akan menciduk lebih dari satu orang di sini! Satu, jelas lelaki itu, lalu yang kedua?

Itu baru urusan mobil. Urusan pembuktian? Begini, sederhanyanya, kalau salah satu saja dari mereka masuk kosku, mereka akan dengan sangat mudah menemukan seorang pria yang mereka cari di kasurku. Tamat. Atau, kalau dengan entah bagaimana lelaki itu berhasil sembunyi atau kabur (dan aku jelas meragukannya dengan keadaan yang setengah sekarat begitu), orang-orang ini tetap akan menemukan keterlibatanku dengan cukup menyemprotkan cairan luminal di beberapa bagian kosku yang aku yakin sudah mereka prediksikan. Tadi aku mengatakan mereka memilih memencet bel kosku bukan tanpa alasan, ingat? Itu artinya mereka sudah menemukan dugaan kuat kriminal yang mereka cari ada di kosku. Tinggal membuktikan saja. Tamat. Apapun kemungkinannya aku tamat. Tapi tidak. Tidak, tidak, tidak! Kalau hari ini adalah hari terakhirku menikmati kebebasan ini maka aku akan membuatnya tidak semudah itu. Setidaknya aku akan mengulur waktu sedikit lebih lama.

Polisi itu menjawab pertanyaanku dengan menjelaskan kedatangan mereka ke sini. Sesuai dugaanku, ada seseorang yang melihat lelaki itu masuk ke kosku. Sial, kenapa tadi aku tidak berpikir sampai sana sebelum memutuskan untuk menolong lelaki itu?

Aku mengamati sekitar. Sepertinya mereka tidak membawa tim forensik? Aku tidak tahu bagaimana prosedur penyelidikan (atau penangkapan?) mereka, hanya saja tanpa tim forensik mungkin aku boleh berharap mereka tidak membawa cairan luminol atau semacamnya? Ayolah, cepat pikirkan jalan keluar.

“Jadi, apa adik melihatnya?” tanya polisi gempal itu.

Aku terdiam sesaat. Bukan, bukan tersanjung karena dipanggil “adik” (yang membuatku merasa belia?) itu bisa kudapatkan dimana saja. Astaga, ayolah fokus!

“Apa seharusnya saya melihatnya?” tanyaku, berusaha sepolos mungkin.

Kedua polisi laki-laki yang menghadapiku saling pandang. Kemudian si polisi muda mengambil alih.

“Iya. Seharusnya iya. Bagaimanapun ada warga yang melihat kamu pulang sebelum kami lewat di sekitar sini beberapa jam lalu.”

“Erm, kenapa saya berpikir itu seharusnya tidak membuktikan apapun?” tanyaku, masih berkelit.

“Kalau begitu kenapa kau keluar lagi dan membeli obat-obatan itu?” tanya si Polisi Muda sembari mengedikkan kepalanya ke arah bungkusan obat di canthelan motorku.

Reflek, aku menelan ludah. Bodoh, kenapa tadi tidak kumasukkan saja ke kos obat-obatan sialan itu?!

“Oh, itu… saya… manajer basket, Pak. Jadi obat-obatan seperti itu wajar,” jawabku. Aku bisa ditimpuk tim manajer basket fakultas kalau sampai mereka tahu aku membawa-bawa nama mereka, meskipun ya aku salah satunya.

“Tapi tidak wajar kalau kau belinya subuh-subuh begini,” cecar si Polisi Muda lagi.

Aku mengangkat bahu, mulai rileks. Baiklah, aku hanya perlu berkelit sejauh yang kubisa.

“Pagi ini ada latihan. Saya hanya takut tidak sempat gara-gara telat bangun. Saya baru pulang dini hari, ingat?”

Polisi itu terlihat menahan kesal. Aku masih belum sepenuhnya merasa aman. Mudahnya, polisi ini hanya perlu memeriksa salah satu kontak anak basket fakultas untuk menanyakan kebenaran latihan yang kumaksud.

“Kalau begitu izinkan kami masuk ke kosmu,” ujar si Polisi Gempal.

DYAR! Sekarang aku harus apa lagi? Aku menelan ludah sepelan mungkin berharap gugupku tidak terbaca oleh mereka.

“Kenapa?” tantang si Polisi Muda, sepertinya dia ada dendam padaku!

“Takut ketahuan menyembunyikan sesuatu?” lanjutnya dengan menambahkan senyum penuh kemenangan.

Aku sedikit kesal juga diremehkan begitu. Jadi aku memutuskan nekat saja berjalan menuju pintu garasi kemudian menancapkan kunci di gemboknya. Pelan dan lagi-lagi menelan ludah. Gembok itu terbuka tapi aku belum membuka pintunya. Terpikir sedikit ide lagi untuk mengulur waktu, aku berbalik.

“Tapi aku hanya bisa membuka kamarku saja karena semua orang sedang pulang,” kataku.

Polisi Muda menghembuskan napas menahan kesal sedangkan Polisi Gempal tersenyum dan bilang tidak apa-apa.

“Oh iya, erm, kalian tahu… ini kosan perempuan. Jadi… maksudku, erm, seharusnya yang bukan perempuan tidak boleh masuk. Tapi karena… baiklah, hanya saja… seandainya nanti di kamarku ada hal-hal yang… kalian tahu, tidak seharusnya dilihat yang bukan perempuan, erm…”

Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, si Polisi Wanita menyeruak dari balik dua polisi pria kemudian tersenyum padaku. Oh, God. Aku lupa ada polisi yang se-gender denganku di sini. Sudahlah, memang seharusnya aku tamat hari ini.

*
Aku menggambar-gambar gugup lantai semen di bawahku dengan kakik kanan. Polisi Wanita itu masih di dalam. Aku heran kenapa dia membutuhkan waktu selama itu hanya untuk melongok satu benda hidup (atau sekarang sudah mati?) yang terkapar tak berdaya di kasur. Ini menambah kegelisahanku saja. Aku menghentikan kegiatanku saat menyadari si Polisi Muda mulai memperhatikan.

Tidak sampai lima menit kemudian polisi wanita itu keluar. Aku memandanginya gugup dan kali ini berlipat. Gugup karena apa? Entahlah, semuanya tercampur aduk. Tenanglah, setidaknya aku akan melihat kantor polisi? Atau ruang interogasi? Ah, menyenangkan juga. Ruang interogasi Indonesia sekeren yang suka ada di film-film itu tidak ya? Lihatlah, tidak seburuk itu. Baiklah.

“Anak ini tidak berbohong.”

Aku… apa? Apa aku salah dengar? Atau wanita itu yang salah bicara? Atau sebenarnya aku sedang berhalusinasi?

“Apa? Tapi…,” si Polisi Muda tidak percaya. Sama, aku juga.

“Lihat saja sendiri kalau kau tidak percaya,” ujar wanita itu.

“Tapi-”

“Kau selalu begitu! Terburu-buru menggerebek rumah orang hanya berdasar spekulasi tanpa bukti!” ujar si Wanita kesal.

Oh, rupanya begitu. Erm, tapi… ah, entahlah.

“Aku punya bukti!” si Polisi Muda tidak mau kalah.

“Bukti apa?!” si Wanita membalas. Aku? Hanya menatap bloon mereka.

“Sudahlah, kita kembali ke markas dulu. Warga mulai bertambah,” ujar si Polisi Gempal yang, sepertinya, cukup bijaksana.

“Pak Darmo benar. Lagipula, kenapa kau terlihat terkejut begitu? Bukan Adriel namanya kalau bisa kita tangkap semudah itu. Sudahlah, dia tidak akan kemana-mana.”

Si Polisi Muda terlihat ingin menyanggah lagi tapi memutuskan untuk masuk mobil. Aku masih diam mematung bahkan ketika mereka akhirnya sudah pergi. Pertanyaan-pertanyaan warga pun tidak banyak kutanggapi dengan alasan “butuh tidur”. Aku buru-buru masuk, mengunci pintu, dan berlari ke atas. Ini, menurutku, tidak mungkin. Bagaimana bisa lelaki itu tiba-tiba raib? Maksudku, sudahlah aku butuh melihatnya sendiri.

Aku kembali membeku di tempat, di ambang pintu kamarku sendiri. Di sana, di kasurku, masih terbaring lelaki itu. Aku mengedipkan mata beberapa kali. Memang masih ada kok. Tapi… kenapa…?

Eraser #03 - end.

2 komentar:

  1. Oh jadi namanya Adriel... errr well kmu menambahkan list cowok misterius lagi stlh yg trakir nathaniel... Smoga ini jd smakin ganteng...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha.. tunggu saja ya, dan silakan dinilai sendiri nanti ;)

      Hapus

any advice?