Kamis, 13 November 2014

Tomket Kampret



 Penuh emosi banget nih nulis judulnya. Tapi serius, spesies kingdom animalia yang kecil nan alay itu benar-benar telah menorehkan tinta becek di sejarah kehidupanku yang (seharusnya) mulia ini. Dulu pernah booming soal ini —tomketnya maksudku, bukan aku—tapi ya selayaknya kebiasaan media di negeri ini kalau udah booming ya udah ganti lainnya. Kayak contohnya mungkin yang paling deket adalah si Kakek Petelur itu. Palingan bentar juga surut. Udah kebiasaannya gitu.

Tunggu dulu, aku bukan aktivis pejuang eksistensi tomket di dunia media Indonesia! Dan, bukan urusanku juga booming enggaknya spesies sialan itu (terus kenapa tadi bahas?). Buat kalian yang belum sevisi denganku atas tomket ini, coba deh gugling ketik “tomket”—jangan “tomcat” seperti yang kutahu di masa lalu yang kelam, karena “tomcat” akan menghasilkan gugel imej berupa pesawat tempur canggih dan kece sedangkan tomket sama sekali nggak ada keren2nya. Itu hanya spesies kecil yang suka cari sensasi! Percayalah.

Beberapa (karena makhluk ini emang suka bikin sensasi) menganggap pemilik nama sok keren Paederus littoralis ini lebih berbahaya dari ular kobra! (What?!) Tapi seriously, ada. Baiklah, bisa juga sih tuh Kampret lebih berbahaya dari ular kobra KALAU kalian disiram peke cairan tubuhnya seember! Ntar jadi sensasi baru Tomket’s liquid Bucket Challenge! Ya bayangin aja, kalian disiram pake cairan hemolimf (disebut “aederin” yang kata orang pinter punya rumus kimia C24H43O9N) gimana jadinya? Atau kalau susah, bayangin aja kalian disiram pake  cairan asam kuat! Gimana tuh melepuhnya! Ya gitulah. Jadi bener juga sih kalo 12 kali lebih mematikan dari ular kobra, dalam artian kalo kalian sama-sama nelen tuh cairannya. Tapi kayaknya nggak ada yang sebodoh itu? Eh, tapi recommended juga sih buat kalian yang pengen bunuh diri pake cara yang antimainstream! Tinggal tenggak aja cairan tomket, nggak usah banyak2, segelas dua gelas kayaknya cukup mematikan. Kalo nggak mati ya palingan nggak bisa ngomong lagi selamanya. Cuma ya susahnya gimana caranya ngumpulin cairan tomket sampe bisa segelas? Diperes? Palingan satu ekornya cuma bisa dapet seper-entah tetes. Keburu tua buat dapet segelas. Keburu mati alami. Jadi mending bunuh diri yang mainstream aja. Toh yang penting ujung2nya mati kan? -> free advice.
               
Kampretnya (menurutku semua tentang si Tengik ini kampret), tomket ini nggak sembarang punya teritori beranak pinak. Wih, terdengar keren ya? Aku nggak ngerti ya kenapa populasi mereka nggak tersebar merata di seluruh permukaan bumi ini kayak spesies kita. Coba deh, kurang keren apa spesies kita! Dari tempat dengan suhu dan iklim normal sampe yang ekstrim kayak di kutub, gurun, bahkan di satu daerah di Jepang (aku lupa namanya, tapi kayaknya nggak jauh2 amat sama Tokyo. Yeah, gimanapun Jepang cuma itu2 aja sih) ada tempat yang punya paparan polusi tinggi sampe kalo keluar musti pake masker aja ada yang nempatin lho! Kenapa si Tomket ini menthel sekali cuma mau di beberapa tempat aja?! Ini menyusahkan. Gini deh, aku ambil studi kasus yang paling fresh dengan korban si penulis blog ini. (Jangan ketawa deh! Plis. Aku udah cukup teraniaya dengan si Tomket dan semua orang yang ketawa mendengar alasan sakitku tanpa harus kalian tambahi!).

Alkisah, satu atau dua minggu lalu seorang mahasiswa tengah serius mengerjakan tugas mulianya sebagai penyandang status mahasiswa *karena ini setengah dongeng jadi harus dramatis*. Sebagaimana pendalaman karakternya, ia  tidak memperhatikan ada si Tengil nan Kampret berekspedisi menyusuri lubang pendengarannya *musik thriller dengan tempo mulai naik*. Merasa terusik, mahasiswa ini pun menginstruksikan tangan kirinya memeriksa keadaan. Saat itulah laporan mengerikan itu terdengar. Sebuah bencana strategis dengan tingkat kerusakan dan kerugian yang tidak terkalkulasi lagi *jangan bayangin Godzilla, itu terlalu keren*. Baiklah, karena sepertinya kalian mulai mual, aku kena cairan tomket, atau hemolimf atau aederin, ini di TELINGA! What the f-! Bayangkan kengeriannya! Asam kuat di telinga! Ah, sudahlah, kalian tidak akan mengerti :’( sampai kalian merasakannya sendiri.

Seminggu pertama rasanya cenat-cenut aneh plus sakit sialan gitu. Aku anggap wajar, ya gimana-gimana telingaku luka kan dan di bagian dalem jadi kalau efeknya gitu menurutku masih logis. Nah, yang bikin konyol tuh pas minggu kedua! Bayangkan kalian bangun tidur dan tidak ada benda yang diam! Semuanya bergerak ekstrim! Ya, peristiwa ini telah dinamai di dunia ini dengan vertigo! Gila! Apa banget gitu! Keren sih… vertigo, terdengar mistis dan spesial (rujukannya kata indigo hahaha padahal nggak berhubungan sama sekali) tapi dengan latar belakang masalahnya berupa “gara2 tomket” itu yang bikin nggak keren! Aish, coba deh, kalian ditanyai temen kalian, “Lo sakit apa?”| “Vertigo, Coy.”| “Wih, kok bisa?”| “Iya nih, gegara tomket.” | *cengoh* “Seriusan?” sebelum akhirnya tertawa terpingkal2. Ah, baiklah..

Pertama, semua orang nggak percaya aku bisa sakit. Entahlah, mungkin mereka masih berpikir aku malaikat. Susah juga sih, aku udah ngasih pengertian kalau di bumi ini aku berperan jadi manusia. Tapi ya gimana, mereka sudah terdoktrin! *apasih*. Kedua, hubungan. Orang-orang masih sulit percaya kalau kena tomket di telinga bisa bikin vertigo. Hhh, oke. Aku akan mengajukan pembelaan biar nggak hina2 amat.

Mudah sebenarnya penjelasan ini tapi.. ah baiklah, kita mulai dari vertigo aja. Inti dari vertigo kan sensasi gerakan lebay benda-benda yang kita lihat, kan. Nah, itu berhubungan intim dan erat sama yang namanya keseimbangan. Ada beberapa macam vertigo. Kalian bisa cari sendiri di google, mungkin ada. Pasti ada! Salah satunya Vertigo vestibular (kayaknya hahaha). Kalo nggak salah vestibular tuh dari tonus vestibular, semacam saluran di telinga dalam yang kerjaannya ngasih info ke otak tentang keseimbangan. Semacam: “Woy, Ot! (panggilan sayang buat si Otak) ni orang posisinya lagi gini nih! Udah sih, ngasih tau aja.” begitulah.

Ambil kata kuncinya; TELINGA DALAM. Mengerti kan benang merahnya di mana? Astaga, bukan di toko benaaang! Maksudku “benang merah” di sini menunjukkan suatu… sudahlah. Si Tomket Kampret itu dengan sadis dan kejam melukai telinga bagian dalamku :’( Nah, kejahatan itu menyerang bagian penginfo keseimbangan sistem tubuh fana ini. Itu yang bikin vertigo! Sial nggak sih. Aku kira bakalan cuma beberapa jam aja (aku pernah vertigo sebelum kasus menyebalkan ini dan itu cuma beberapa menit) dan ternyata seminggu! Ulangi, SEMINGGU! Gokil! Sial, serius.

Dan yang terakhir (aku tadi nyebut poin2, ingat?) adalah soal teritori populasi tomket sialan ini. Sepanjang hidup, aku cuma nemu spesies ini di Solo aja. Iya, di rumahku yang damai nan indah permai sana kagak  ada yang beginian. Jadi waktu emakku nelpon dan nanya sakitku gara-gara apa, pas aku bilang gegara tomket dia bilang: “Serius? Kata kamu tomket cuma kayak semut?” Haduh, Mak! Iya, secara fisiologis mereka memang kayak semut (yang agak maksa) tapi kan bukan berarti mereka sodaraan! Plis, jangan2 kalo aku bilang tomket ini lebih bahaya dari ular kobra, emakku bakal bilang, “Serius? Jangan-jangan mereka kakak-adek?”

Sudahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

any advice?