Sekap tangan serta tekanan benda dingin (yang kuyakini sebagai pistol)
itu tiba-tiba melonggar, menyerahkan kembali kebebasanku. Tapi toh aku tetap
butuh beberapa detik untuk menyadarinya. Seperti kataku tadi, terlalu banyak
imajinasi tidak penting yang mengarah ke liar dalam situasi ini. Satu hal yang
mendorongku untuk kembali “hidup” adalah suara napas berat dan tidak teratur di
belakangku. Intuisi menyerukanku untuk menyalakan lampu.
Dia adalah seorang lelaki. Bermata abu-abu gelap dengan garis alis
tegas. Gaya rambut pendeknya semakin menegaskan garis wajahnya yang tirus.
Tinggi, lebih tinggi dariku. Berstelan hitam slim fit dengan kancing jas terbuka dan memperlihatkan… darah?
Aku lupa bernapas untuk yang kedua kalinya.
Dia bersandar di dinding, terlihat kesakitan. Ya, orang ini terluka
dan parah. Entah tepatnya di bagian mana karena kemeja putih itu sudah sewarna
darah. Mungkin dalam hal ini aku sok tahu tapi pandangan matanya mengisyaratkan
permintaan maaf atas “kekacauan” ini. Ah, aku benar-benar sok tahu. Dia susah
payah kembali berdiri dengan kakinya sendiri kemudian melangkah berat untuk keluar
tapi tangannya berhenti di handle pintu.
Aku menahannya.
*
Alasan? Aku tidak tahu. Mungkin benar, seharusnya kubiarkan saja dia
pergi dan mengusir imajinasiku akan kemungkinan dia mati tidak lebih dari
radius 200m dari kosku. Aku sungguh tidak tahu alasan apa yang pantas kupegang
atas tindakan impulsifku menolong pria itu. Dia bukan orang normal pada
umumnya, ya, aku tahu itu. Fakta dia bisa bertahan hidup dengan luka sedemikian
ini dan dalam keadaan itu juga dengan mudah membuka kunci garasiku, ditambah
strategi refleksnya yang lain saat mobil patroli sibuk mengubek-ubek kompleks
kosku memperkuat dugaan dia bukan orang “normal”. Lagipula, kurasa tidak ada
orang normal yang membawa-bawa pistol?
Tapi toh aku terlanjur menolongnya, dan masih belum mengerti sampai
sekarang. Mungkin terkadang ada hal-hal impulsif yang kita lakukan dan tidak
bisa ditemukan alasannya dengan benar. Aku tahu akan sangat besar kemungkinan
timbunan masalah yang mengikutiku setelah ini seandainya keberadaan lelaki ini
di kamarku bocor keluar. Solusi? Tidak ada. Sudah kubilang tindakanku sangat
impulsif dan tidak kumengerti, menurutmu bagaimana mungkin aku sempat
memikirkan solusi? Sudahlah, jangan membuatku tambah bingung. Setidaknya aku
hanya harus menjaga agar tidak ada orang luar yang tahu aku memasukkan seorang
(yang sejauh ini kuduga sebagai) kriminal ke kamarku. Pasti tidak terlalu sulit
bukan?
Kami tidak saling bicara. Setidaknya sejauh ini. Dia memberiku
keleluasaan untuk merawat lukanya jadi akupun tidak akan bertanya darimana dia
mendapatkan luka seperti ini. Aku tidak pernah berurusan dengan hal semacam ini
tapi aku juga tidak terlalu bodoh untuk tahu ini luka tusuk. Melihat fakta
kecil ini, otakku mulai bermain. Mereka-reka beberapa kemungkinan tapi aku
segera menepisnya. Ini bukan urusanku. Semakin sedikit aku terlibat semakin
baik.
Setelah selesai membersihkan lukanya dengan pengetahuan medis yang
hanya asal tahu, aku menggunting salah satu bajuku sebagai ganti perban. Dia
sama sekali tidak protes, bahkan saat setelah itu aku memberikannya baju ganti.
“Ini kemejaku yang paling besar. Aku tidak tahu apakah sesuai dengan
ukuranmu tapi semoga pas,” ucapku, akhirnya memutuskan bicara, beberapa menit
kemudian sembari memberikan kemeja putih kakakku yang aku pinjam untuk ospek dulu. Urusannya bisa panjang kalau
dia tahu tapi ini darurat. Aku akan paksa dia mengerti, entah bagaimana.
Sudahlah, itu bisa kupikirkan nanti.
“Aku mau keluar dulu,” kataku lagi. “Aku tidak tahu perban darurat itu
bisa bertahan berapa lama dan, dengan lukamu yang begitu, kurasa kau juga butuh
lebih dari sekedar perban darurat dan kapas yang sebenarnya untuk manual drawing. Dan aku tidak tahu apa
itu, jadi mungkin apoteker bisa sedikit membantu.”
Aku mengatakan semuanya sambil memakai jaket dan mengambil lagi tasku,
“Kau bisa tidur dulu selama aku pergi. Tapi jangan mati ya! Aku tidak tahu
apakah akan berpengaruh banyak tapi… ah, sudahlah, aku pergi dulu.”
Malam sudah berakhir. Langit fajar mulai malu-malu menampakkan pesonanya.
Aku mengeluh dalam hati karena tidak tidur lagi. Baiklah, selesaikan semua ini
dengan segera dan aku akan cari cara untuk tidur seharian.
Sesuai janjiku, aku tidak pergi terlalu lama. Setidaknya begitu
menurutku. Tapi apa yang menyambutku di kos membuatku diam di tempat
(seandainya aku tidak naik motor). Seandainya ada referensi reaksi lebih hebat
dari sekedar menelan ludah atau membasahi bibir atau lupa bernapas, aku siap
menggunakannya! Karena aku sudah melakukan semua itu dan sama sekali tidak
mengubah situasi!
Ada dua mobil polisi dengan lampu lebay-nya
yang dibiarkan menari-nari riang menghancurkan pertahananku. Dua pria berjaket
hitam dan terlihat sangar tengah melongok-longok kosku. Seorang wanita
berpotongan cepak dengan tab di
tangan kirinya sibuk memencet bel di samping pintu garasi. Nah, semua situasi
itu masih ditambah dengan para warga yang mulai berkerumun! Aku bisa gila.
“Selamat pagi?” sapa seorang pria berjaket hitam tepat saat aku
berhenti dan mematikan mesin.
Aku sedikit berlama-lama menjawab sapaan itu. Sedang berusaha mencari
kembali bagaimana caranya bersuara. Serius, kecemasanku saat ini jauh melampaui
kemungkinan kena tilang karena aku belum ganti plat nomor atau karena lampu
belakangku mati. Jauh melebihi sekedar lupa membawa SIM atau semacamnya.
Orang-orang ini jelas terlihat berbeda dengan para polisi yang sering bertugas
langsung di jalan. Aku mungkin tahu
apa yang membawa mereka ke sini, sedangkan jelas tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.
Sekali mereka masuk, dan aku yakin mereka sudah membawa izinnya, semua selesai
sudah. Nanti di koran sore, atau beberapa jam dari ini, kau akan mendengar
berita seorang mahasiswi terlibat kasus entah apa dengan menyembunyikan kriminal
pria di kamarnya! Astaga, terdengar begitu jahat dan mesum. Apa yang harus
kulakukan?!
Eraser #03 – to be continued..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
any advice?