Kamis, 30 Oktober 2014

Eraser #03 : “Alasan”



Terlalu banyak imajinasi liar berseliweran di benakku hanya demi menebak-nebak identitas penyekap sekaligus prospek masa depanku. Percayalah, aku bahkan hampir lupa bernapas saking tegangnya. Seakan tiba-tiba punya kemampuan spesial bisa mendengar suara infrasonik. Semua menjadi serba nyaring dan lambat. Menambah buruk imajinasiku saja.

Sekap tangan serta tekanan benda dingin (yang kuyakini sebagai pistol) itu tiba-tiba melonggar, menyerahkan kembali kebebasanku. Tapi toh aku tetap butuh beberapa detik untuk menyadarinya. Seperti kataku tadi, terlalu banyak imajinasi tidak penting yang mengarah ke liar dalam situasi ini. Satu hal yang mendorongku untuk kembali “hidup” adalah suara napas berat dan tidak teratur di belakangku. Intuisi menyerukanku untuk menyalakan lampu.

Dia adalah seorang lelaki. Bermata abu-abu gelap dengan garis alis tegas. Gaya rambut pendeknya semakin menegaskan garis wajahnya yang tirus. Tinggi, lebih tinggi dariku. Berstelan hitam slim fit dengan kancing jas terbuka dan memperlihatkan… darah?

Aku lupa bernapas untuk yang kedua kalinya.

Dia bersandar di dinding, terlihat kesakitan. Ya, orang ini terluka dan parah. Entah tepatnya di bagian mana karena kemeja putih itu sudah sewarna darah. Mungkin dalam hal ini aku sok tahu tapi pandangan matanya mengisyaratkan permintaan maaf atas “kekacauan” ini. Ah, aku benar-benar sok tahu. Dia susah payah kembali berdiri dengan kakinya sendiri kemudian melangkah berat untuk keluar tapi tangannya berhenti di handle pintu. Aku menahannya.

*
Alasan? Aku tidak tahu. Mungkin benar, seharusnya kubiarkan saja dia pergi dan mengusir imajinasiku akan kemungkinan dia mati tidak lebih dari radius 200m dari kosku. Aku sungguh tidak tahu alasan apa yang pantas kupegang atas tindakan impulsifku menolong pria itu. Dia bukan orang normal pada umumnya, ya, aku tahu itu. Fakta dia bisa bertahan hidup dengan luka sedemikian ini dan dalam keadaan itu juga dengan mudah membuka kunci garasiku, ditambah strategi refleksnya yang lain saat mobil patroli sibuk mengubek-ubek kompleks kosku memperkuat dugaan dia bukan orang “normal”. Lagipula, kurasa tidak ada orang normal yang membawa-bawa pistol?

Tapi toh aku terlanjur menolongnya, dan masih belum mengerti sampai sekarang. Mungkin terkadang ada hal-hal impulsif yang kita lakukan dan tidak bisa ditemukan alasannya dengan benar. Aku tahu akan sangat besar kemungkinan timbunan masalah yang mengikutiku setelah ini seandainya keberadaan lelaki ini di kamarku bocor keluar. Solusi? Tidak ada. Sudah kubilang tindakanku sangat impulsif dan tidak kumengerti, menurutmu bagaimana mungkin aku sempat memikirkan solusi? Sudahlah, jangan membuatku tambah bingung. Setidaknya aku hanya harus menjaga agar tidak ada orang luar yang tahu aku memasukkan seorang (yang sejauh ini kuduga sebagai) kriminal ke kamarku. Pasti tidak terlalu sulit bukan?

Kami tidak saling bicara. Setidaknya sejauh ini. Dia memberiku keleluasaan untuk merawat lukanya jadi akupun tidak akan bertanya darimana dia mendapatkan luka seperti ini. Aku tidak pernah berurusan dengan hal semacam ini tapi aku juga tidak terlalu bodoh untuk tahu ini luka tusuk. Melihat fakta kecil ini, otakku mulai bermain. Mereka-reka beberapa kemungkinan tapi aku segera menepisnya. Ini bukan urusanku. Semakin sedikit aku terlibat semakin baik.

Setelah selesai membersihkan lukanya dengan pengetahuan medis yang hanya asal tahu, aku menggunting salah satu bajuku sebagai ganti perban. Dia sama sekali tidak protes, bahkan saat setelah itu aku memberikannya baju ganti.

“Ini kemejaku yang paling besar. Aku tidak tahu apakah sesuai dengan ukuranmu tapi semoga pas,” ucapku, akhirnya memutuskan bicara, beberapa menit kemudian sembari memberikan kemeja putih kakakku yang aku pinjam untuk ospek dulu. Urusannya bisa panjang kalau dia tahu tapi ini darurat. Aku akan paksa dia mengerti, entah bagaimana. Sudahlah, itu bisa kupikirkan nanti.

“Aku mau keluar dulu,” kataku lagi. “Aku tidak tahu perban darurat itu bisa bertahan berapa lama dan, dengan lukamu yang begitu, kurasa kau juga butuh lebih dari sekedar perban darurat dan kapas yang sebenarnya untuk manual drawing. Dan aku tidak tahu apa itu, jadi mungkin apoteker bisa sedikit membantu.”

Aku mengatakan semuanya sambil memakai jaket dan mengambil lagi tasku, “Kau bisa tidur dulu selama aku pergi. Tapi jangan mati ya! Aku tidak tahu apakah akan berpengaruh banyak tapi… ah, sudahlah, aku pergi dulu.”

Malam sudah berakhir. Langit fajar mulai malu-malu menampakkan pesonanya. Aku mengeluh dalam hati karena tidak tidur lagi. Baiklah, selesaikan semua ini dengan segera dan aku akan cari cara untuk tidur seharian.

Sesuai janjiku, aku tidak pergi terlalu lama. Setidaknya begitu menurutku. Tapi apa yang menyambutku di kos membuatku diam di tempat (seandainya aku tidak naik motor). Seandainya ada referensi reaksi lebih hebat dari sekedar menelan ludah atau membasahi bibir atau lupa bernapas, aku siap menggunakannya! Karena aku sudah melakukan semua itu dan sama sekali tidak mengubah situasi!

Ada dua mobil polisi dengan lampu lebay-nya yang dibiarkan menari-nari riang menghancurkan pertahananku. Dua pria berjaket hitam dan terlihat sangar tengah melongok-longok kosku. Seorang wanita berpotongan cepak dengan tab di tangan kirinya sibuk memencet bel di samping pintu garasi. Nah, semua situasi itu masih ditambah dengan para warga yang mulai berkerumun! Aku bisa gila.

“Selamat pagi?” sapa seorang pria berjaket hitam tepat saat aku berhenti dan mematikan mesin.

Aku sedikit berlama-lama menjawab sapaan itu. Sedang berusaha mencari kembali bagaimana caranya bersuara. Serius, kecemasanku saat ini jauh melampaui kemungkinan kena tilang karena aku belum ganti plat nomor atau karena lampu belakangku mati. Jauh melebihi sekedar lupa membawa SIM atau semacamnya. Orang-orang ini jelas terlihat berbeda dengan para polisi yang sering bertugas langsung di jalan. Aku mungkin tahu apa yang membawa mereka ke sini, sedangkan jelas tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Sekali mereka masuk, dan aku yakin mereka sudah membawa izinnya, semua selesai sudah. Nanti di koran sore, atau beberapa jam dari ini, kau akan mendengar berita seorang mahasiswi terlibat kasus entah apa dengan menyembunyikan kriminal pria di kamarnya! Astaga, terdengar begitu jahat dan mesum. Apa yang harus kulakukan?!

Eraser #03 – to be continued..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

any advice?