Aku selalu suka suasana lewat tengah malam. Saat semua orang asyik
dengan mimpi mereka masing-masing. Meninggalkan dunia dalam dingin dan sunyi.
Tapi yang paling kusuka adalah jalanan kota yang lengang. Membuatmu sangat
mungkin untuk memacu kecepatan motor di atas 100 km/jam. Tidak ada seruan
klakson atau teriakan marah orang-orang lelet selayaknya siang hari yang
membosankan. Malam memberikan pesona tersendiri untukku. Seperti malam itu.
Saat untuk pertama kalinya aku bertemu dengannya.
*
Waktu menunjukkan lewat jam satu pagi dan aku masih di café. Salah
satu café 24 jam di jalan Slamet Riyadi, Solo. Tidak ada hal penting. Hanya bosan akan kosongnya kos yang berujung
pada sebal sendiri karena tidak juga menemukan satu konsep desain yang asyik
untuk tugas kuliah senin depan. Ini weekend,
dan sepanjang sejarah aku menuntut ilmu sangat jarang memanfaatkan weekend untuk berkutat dengan tugas.
Tapi untukku kuliah di jurusan desain sejauh ini, tugas tidak seperti tugas.
Hanya satu cara “bermain” yang waktu dan aturannya ditentukan oleh dosen.
Maksudku, kau tidak harus benar-benar memeras otakmu untuk berjibaku pada
teori-teori entah apa.
Jadi, aku pun berakhir di sini. Mungkin terdengar keren kalau aku
menggunakan alasan mengerjakan tugas untuk nongkrong di café karena sebenarnya
tugasku sudah kelar sejak dua jam yang lalu. Tapi biar deh. Sesekali terdengar
keren boleh juga. ;)
Aku tengah terpaku pada beberapa situs berita online tentang beberapa penembakan di Solo yang terjadi akhir-akhir
ini. Aku tipe orang yang sok tahu. Maksudku, aku suka membuat skenario
abal-abal untuk beberapa berita beruntun yang sedang in. Nah, saat ini aku tertarik pada kasus penembakan ini. Entah
bagaimana, menurut skenario ngasalku,
kasus-kasus penembakan polisi di Solo ini terkait dengan hengkangnya walikota
Solo yang saat ini sedang mengikuti Pilgub ibukota putaran kedua. Sekali lagi,
ini hanya skenario isengku. Jangan repotkan dirimu mencari relevansinya. Karena
aku sendiri juga tidak menemukannya.
Benar, terlalu sulit menemukan relevansinya tanpa memberikan tuduhan
tak berdasar pihak lawan politik sang mantan Walikota. Lagipula aku bukan orang
yang ngerti politik. Jadi, kebodohanku mengacaukan segalanya. Mungkin aku harus
menunggu satu berita lagi? Baiklah, karena sepertinya sudah terlalu pagi untuk
seorang gadis berada di luar —aku tidak suka terikat norma semacam
ini tapi berhubung semua orang memakai pemahaman norma yang selaras, ditambah
lagi beberapa pelayan café yang berkali-kali menatapku dengan kerutan dahi, aku
pun menyerah. Pukul 01.17 aku beranjak pulang.
Seperti selayaknya lewat tengah malam, aku bisa bebas memacu motor
sesukaku. Sama sekali tidak memperhatikan laju speedometer. Kali ini bukan karena aku ingin sok keren tapi lebih
karena speedometer-ku mati dan aku
malas ke bengkel. Lagipula tidak telalu vital. Buat apa?
Dingin. Aku pernah berpikir Solo adalah kota penganut iklim gurun. Kau
akan merasakan udara panas yang luar biasa di siang hari tapi sebaliknya, kau
akan mendapati udara begitu dingin di jam-jam ini. Tapi entahlah, bukan
urusanku juga. Meskipun jujur, udara ini menggelitik imajinasiku membayangkan
kenikmatan mie instan rebus pake telur. Hmm. Seingatku aku masih punya dua
butir telur di dapur. Semoga belum “hilang”.
*
Ada yang aneh saat aku sampai di kos. Bukan, bukan tentang suara
sirine polisi yang terdengar agak keras dan semakin keras. Dengan adanya
beberapa kasus penembakan akhir-akhir ini sepertinya aku mulai terbiasa
mendengarnya. Hanya tinggal menunggu update
berita di twitter saja, maka aku akan tahu apa yang terjadi. Oh, bukan
karena itu aku merasa aneh. Ini lebih pada pintu garasi yang tidak terkunci.
Aku otomatis mengerutkan dahi. Apa aku lupa mengunci saat pergi tadi? Ini weekend dan kosku hanya tersisa aku
seorang hari ini sampai besok. Atau ada yang sudah kembali ke kos tanpa
memberitahuku? Atau… ah, jangan berpikiran negatif. Tidak mungkin ada maling
yang sudi menyantroni kosku kan?
Baiklah, mungkin ini hanya bentuk lain kebodohanku hari ini; lupa
mengunci pintu garasi. Aku menggeser pintu besinya untuk mempersilakan motorku
menempati kediamannya. Setelah motor terparkir cantik, tiba-tiba keheranan
kedua menyeruak. Aku baru menyadari seluruh lantai bawah gelap. Untuk yang satu
ini sepertinya bukan karena kebodohanku deh.
Aku yakin benar sebelum berangkat ke café tadi sudah menyalakan semua lampu.
Ludah pun otomatis tertelan dengan susah payah. Hiburan-hiburan untuk diri
sendiri kuserukan kuat-kuat dalam hati. Ingat, jangan berpikir aneh-aneh.
Sembari menggigit bibir bawah, tanganku meraba dinding mencari sakelar.
Tetap mati. Ah, sial, ini sih dimatikan dari sakelar pusatnya. Paham kan, itu lho yang biasanya tergabung dalam meteran listrik. Oke, aku bisa
mengatasinya.
Melangkah lebih masuk lagi, aku meraba sakelar pusat yang kumaksud.
Seketika itu juga sesuatu, bukan, seseorang
menarikku. Aku mendengar rintihan lirih saat punggungku menabrak semacam badan
di belakangku. Aku tidak sempat memberikan reaksi apapun bahkan ketika tangan
kanan tamu tak diundang ini mendekap mulutku dan sesuatu yang dingin menempel
di pelipisku.
“Diam!” bisiknya berat.
Rasanya tidak perlu disuruh pun aku tidak akan berani bertindak bodoh.
Tapi bukan itu yang ada di otakku sekarang. Bukan menyusun rencana pelarian
melainkan lebih mendasar daripada itu; kenapa ada orang semacam ini di kosku.
Oke, mungkin terdengar dangkal tapi kurasa itu adalah kalimat tanya pertama paling
logis yang muncul saat kau berada di posisiku.
Pertanyaanku langsung terjawab dengan raung mobil patroli polisi yang
melintas di depan rumah kosku. Aku melirik penyekapku dan susah payah menelan
ludah saat dia dengan tajam mengawasi berlalunya mobil patroli itu. Jantungku
berdebar keterlaluan cepat tapi aku masih mengais-ngais penghiburan diri. Saat
itulah maraku perlahan melirik ke kiri, ke arah sesuatu yang dingin yang
menempel di pelipisku. Aku tidak bisa total melihat tapi siapapun yang berhasil
melihat dalam pandanganku sekarang pasti sepakat kalau benda ini adalah sebuah
pistol! Hei, ada sebenarnya?! Seketika aku panik dalam diam. Siapa orang ini?
Buronan? Kriminal?
Eraser #02 - end.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
any advice?