Minggu, 05 Oktober 2014

Eraser #01 : "Key"

Acara TV akhir-akhir ini membosankan. Baiklah, selalu. Tapi aku tetap saja menontonnya. Salah kalau kau menebak aku mengikuti tren. Salah juga kalau kaubilang ini karena tugas kuliah. Tidak, aku bukan anak Sospol--karena yang kutonton berita. Aku belajar di Fakultas Desain, jurusan Desain Komunikasi Visual lebih tepatnya. Setidaknya itulah yang kebanyakan orang tahu. Aku akan memberitahumu lebih banyak nanti. 

Omong-omong, aku sudah melupakan televisi. Beralih di depan laptop, mencoba membuka lembar pertama kisah sialan ini. Jadi, sebelum aku memulainya, dan sebelum aku membebanimu karena ikut membaca masalahku, ini waktu yang tepat untukmu meninggalkan tulisan ini. Tapi seandainya tanpa sadar kau ikut terjebak membacanya, jangan salahkan aku. Salahkan saja orang-orang (atau mungkin kau salah satunya) yang sering sok tahu alasan kenapa aku tidak melakukan aktivitas membosankan yang dilakukan semua orang seusiaku; pacaran. Kalian semua terlalu berisik. Tapi aku tidak mau berargumentasi di sini. Tidak ada gunanya juga menjelaskan sesuatu yang tidak kuminati. Meskipun kuakui dari situlah aku mendapatkan ide membuat tulisan ini. Ya, ada satu tujuan pribadi di sini tapi percayalah, kau tidak akan kubuat menjadi outsider karena membaca ini. Tentu saja dengan catatan, kau tahu bagaimana menempatkan diri. Di atas semua itu, aku siap menanggung semua resikonya.

*
Aku mematikan sambungan telepon untuk kesekian kalinya satu menit lalu. Hari ini terlalu banyak telepon sialan yang masuk. Dan hampir semuanya adalah urusan dunia permukaan. Aku tidak sembarangan menerima telepon, terutama saat sedang di kelas atau keluar bersama teman-temanku, dan  klienku tahu itu. Bahkan dia jauh lebih tahu bahwa sebaiknya menghubungiku dengan tulisan saja daripada komunikasi langsung, kecuali keadaan benar-benar mendesak. Seperti hari ini.

Jangan berpikir terlalu tinggi. Aku tidak sepenting itu. Setidaknya aku tidak pernah menganggap diriku sepenting itu. Keputusan untuk ikut campur dalam dunia sialan ini dimulai sekitar dua tahun lalu, dan aku bisa memastikan seseorang akan memarahiku atas hal ini. Tapi justru itu yang kutunggu. Kau tahu betapa bosan dan tersiksanya menunggu tanpa kepastian? Aku tidak peduli kau tahu atau tidak.

Aku baru selesai mandi saat ponselku bergetar. Seperti biasa, aku memilih tidak peduli. Aku sedang ingin menyeduh kopi untuk bekal mengerjakan tugas kuliah nanti malam. Jadi aku tetap menikmati waktuku. Baru setelah getaran itu tidak juga berhenti, yang justru membuatku menjadi badmood, aku memutuskan untuk meraihnya sembari menyeruput si kopi, dengan handuk mengalung lunglai di atas rambut basahku.

Astaga, ada apa sebenarnya? Kenapa baru ditinggal sebentar saja ponselku sudah penuh dijejali missedcall dan pesan singkat? Aku membukanya. Dari beberapa nama. Dua nama teman kuliah, mungkin mengajak rapat pameran lagi, dan selebihnya dari klienku. Aku menunggu. Tepat satu menit panggilan itu masuk lagi. Kali ini aku mengangkatnya.

"Astaga, Key, darimana saja kau?" seru klienku kesal.

Namaku bukan "Key". Itu hanya nama yang kugunakan di bawah permukaan saja, kalau kau tahu maksudku.

"Maaf," sambutku sambil tersenyum. "baru selesai mandi. Kau tahu kan, urusan mandi untuk seorang wanita tidak pernah sesederhana itu?"

"Terserah kau sajalah," jawab klienku. Sepertinya dia sedang tidak mood. Baiklah.

Sebelum aku sempat bertanya 'ada apa', klienku sudah menyerobot lagi, "Aku butuh keputusan, Key! Lebih baik kaunyalakan TVmu sekarang."

Ah, merepotkan saja orang ini. Menyalakan televisi di kos tidak semudah menekan satu tombol power di remote. Tapi toh aku tidak membantah. Jadi, kubuka laptop-ku, mengaktifkannya, dan menyambungkan ke TV tunner. Segera setelah mendapatkan akses saluran televisi aku mengerti maksud klienku. 

Aku lupa sama sekali kalau hari ini adalah sidang pengesahan RUU kontroversial itu dan berita di telivisi, yang hampir semua saluran, memberitakan hal yang sama. Walk Out-nya partai penguasa yang mengakibatkan keputusan sidang jauh dari yang diinginkan. Klienku seperti me-review lagi jalannya sidang, sibuk berceloteh cemas, dan sesekali mengutuk lawan politiknya. Aku tersenyum. Bukan karena terhibur atas kicauan klienku. Aku tersenyum karena aku tahu ini adalah cara bermainnya. Well, setidaknya dia masih hidup.

"Hei, kau masih di sana?!" seru klienku.

"Iya."

"Jangan cuma iya! Apa yang harus kita lakukan?" tanyanya dengan nada luar biasa cemas.

"Kenapa kau cemas begitu? Hei, pemimpinmu itu adalah orang yang berhasil memimpin ibukota dengan DPRD yang dipenuhi oposisi bukan? Santailah," ujarku sembari merebahkan tubuh ke kasur.

"Apa kau gila?! Ini bukan ibukota! Ini negara!" serunya lebih lantang dari sebelumnya.

Aku tertawa. Orang terkadang suka panik berlebihan.

"Kami sudah mengikuti saranmu untuk menyetujui sepuluh syarat yang diajukan mereka tapi nyatanya apa yang mereka lakukan? Aku benar-benar tidak habis pikir!"

"Kenapa kau terdengar terkejut begitu? Bukankah ini cara kerja kalian orang-orang politik? Kupikir ini bukan hal baru," ujarku. Klienku kehabisan kata-kata kecuali hanya desahan sebagai tanda mengeluh. "Dengar, yang harus kau lakukan sekarang adalah menggiring opini publik ke pihak kalian."

"Tapi bagaimana caranya?!" tanyanya. Aku membayangkan klienku masih mondar-mandir di kantornya dengan jas terbuka, dasi longgar, dan tangan kiri yang berkali-kali meremas rambutnya yang basah karena keringat dingin.

Aku mendengus lagi sebelum menjawab, "Gunakan twitter. Itu cara tercepat. Segera buat tagar yang menyudutkan lawan. Kita lihat saja bagaimana respon masyarakat. Tapi ingat, jangan menggunakan akunmu. Suruh saja orang lain. Anakmu atau teman anakmu. Kau pikirkan saja caranya. Hubungi aku lagi saat tagarmu sudah direspon semua orang. Selamat sore."

Aku menutup telepon. 

Bukan tipeku untuk berdiskusi dengan orang panik. Biarkan dulu dia bekerja, aku akan mengajak bicara lagi nanti. Sementara itu, aku akan mengerjakan tugas kuliah dulu. Jadi kumatikan TV dan beralih membuka software desain. Sambil menunggu loading, aku menyempatkan menyeruput lagi kopiku. Ponselku kembali bergetar. Aku memutar bola mataku. Yang benar saja. Kupikir ini bahkan belum sampai dua menit! Aku melirik layar ponsel; Private Number. Aku mengerutkan dahi tapi instingku merayu untuk mengangkat saja panggilan itu.

Aku menggeser tanda hijau tapi tetap diam.

"Hai," sapa sebuah suara. 

Aku mengenalnya. Sangat. Bahkan aku bisa membayangkan dia tengah tersenyum lelah sekarang dengan lengan kemeja body fit yang digulung sampai siku. Satu tangannya masuk ke saku celana sembari satunya menjaga ponsel tetap di telinga. Aku bahkan membayangkan dia tengah bersandar di jendela apartemennya, menatap matahari tenggelam di lautan gedung dan udara kotor kota metropolitan. Ya, aku bisa membayangkan semuanya. Semua detailnya. Tapi bukan itu esensinya. Bukan hanya itu yang mempermainkan emosiku saat ini.

Dia... meneleponku?

Aku merasakan sebutir air mata dengan seenaknya melintasi pipi kananku. Percayalah, ini sama sekali tidak bisa mewakili apapun!

Jadi, aku harus melakukan sejauh ini dulu untuk membuatmu kembali menghubungiku?

Eraser #01 - end.




6 komentar:

  1. kamu dapat kabar gembira duluan... aku trut bahagia... Hug meeennn

    BalasHapus
  2. Dear Arra,
    First, I found it intriguing
    Second, it's so you
    Third, it makes me wanna chat with you and discuss stuffs so badly
    Fourth, I can kinda sense the whole picture
    Fift, I guess I know where the excitement came from

    I'll look forward to the next series. Ganbatte!!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yeey! Tengkyu teman sejiwaku hahaha. Aku anggap itu pujian yah!
      Aku juga aku juga! I really really really wanna discuss soo many things with you! TT^TT
      Gimana soal deskripsi fisik tokohnya? Udah cukup ada bayangankah?
      Hahaha you know me so well, Buddy!
      Well, please wait for Eraser #02. This midnight maybe? :D

      Hapus

any advice?