Akhirnya aku sampai di stasiun
Kutoarjo. Hal pertama yang aku lakuin adalah menggelinding ria ke Customer
Sevice, mau nanya kereta paling pagi ke Solo buat Senin apaan. Tapi nggak jadi.
Apa-apaan, kenapa customer servicenya penuh gitu? -_- Ya udah, akhirnya
celingukan nyari jadwal kereta di sekitar situ. Untungnya ada.
Oke, jam kereta buat balik ke Solo
besok udah dapet. Sekarang gimana caranya pulang? Aku terpikir buat jalan aja
nyampe Pasar Kutoarjo tapi urung. Pertama karena capek dari tadi udah berdiri
(2 jam lebih men!) dan laper. Yang Kedua, ngeri aja bayangin ketemu sepasang
sejoli mesra (baca Pulang #1) di kereta tadi. Takutnya kalau ekspektasi mereka
soal Pasar Kutoarjo ini ketinggian terus malah aku, sebagai perekomendasi dan
manusia di dekat mereka (kalau aku benar2 memutuskan itu), yang kena luapan
kekecewaan. Tidak! Aku lemah.
Fix. Daripada melewati hal-hal
mengerikan begitu, aku memilih buat langsung aja loncat ke salah satu angkot di
depan stasiun. Dengan sisa-sisa kecerdasanku, aku tahu angkot itu akan
membawaku ke Purworejo kota. Kalau udah di sana mah gampang, ntar tinggal ke
pangkalan angkot nyari yang jurusan ke rumah. Udah deh, beres!
Ternyata nggak semulus itu. Ada
juga kejutan-kejutan kecil menyertai, seperti melongonya aku ketika tahu tarif
angkot sekarang 5000 rupiah! Sejak kapaaan? Perasaan pas jaman sekolah dulu
masih seribu lima ratus deh! Ini mah tinggal ditambah seribu aja udah bisa
nyampe Jogja! Ah, baiklah. Dunia sudah berubah.
Sesampainya di Purworejo, Pak
Supirnya bilang kalau dia nggak berniat masuk ke Kongsi (sebutan untuk
pangkalan angkot). Yeaabaiklaah. Aku turun di pinggir jalan aja terus jalan ke
Kongsi. Setelah nyempetin beli bengkoang dulu (entahlah tetiba pengen), aku
melenggang ceria memasuki Kongsi. Dan…
JENG JENG JEEENG!
Pasar!
Tunggu dulu, ini… (aku celingukan
lalu menelan ludah susah payah) kayaknya aku udah bener deh jalannya. Sejak
kapan tempat ini jadi padat kios begini? Setelah masuk di dalem baru inget satu
teori, mungkin ini alihan para pedagang pasar Baledono yang tahun lalu
kebakaran itu? Iya, pasti itu. Astaga, masalah sesimpel itu aja aku panik! Oke,
aku sudah di jalan yang benar. Tinggal nemuin angkot bernomor jurusan 36.
Nggak beberapa lama setelah aku
masuk dan asik mengupas bengkoang (laper bro!), ada seorang ibu-ibu masuk juga.
Tipe keibuan banget. Pake rok batik panjang, baju senada yang juga lengan
panjang dan jilbab langsung pakai dengan warna senada juga. Aku menyapanya.
Eaa, target ngobrol berikutnya nih. Asiknya kalau sama ibu-ibu pasar tuh kita
nggak perlu mincing, mereka bakal dengan suka rela ngajakin kita ngobrol. Tapi
demi sopan santun karena aku udah terlanjur ngupas bengkoang, aku tawarin aja
bengkoang2 itu ke ibuknya. Beliau menolak dengan alasan bukan makanan untuk
orang tua. Ciaaaahahaha aku jadi ngerasa muda belia. Oke, oke. Aku minta izin
padanya untuk makan bengkoang. Beliau dengan ramah ceria menyilakanku. Mungkin
kasian juga kali liat muka kelaperanku.
Gigitan pertamaku dibarengi sama
ibu itu mengeluarkan kuali kecil. Tertarik, aku nanya harganya. Beliau jawab, “Lima
ribu ini tadi,” katanya sambil ketawa malu-malu. Aku baru mau excited teriak “Murah
amaaat?!” beliau menambahkan, “Mahal sekarang Mbak ginian.”
Oh? ._.
Untung belum jadi sok tahu teriak
murah! Tapi lima ribu men! Murah lah menurutku. Maksudku atas karya yang begitu
lho (aku kan nggak bisa bikin gituan). Tapi ya baiklah. Aku kan gadis lugu nan
polos jadi aku memutuskan untuk tersenyum dengan muka sok simpati dan sok
ngerti.
Pas kita baru selesai ngomongin si
kuali seksi, muncul satu ibu-ibu lagi. Kurus, terlihat lebih muda dari ibu
sebelumnya (mungkin seumuran ibuku?), berpakaian baju lengan panjang putih
bermotif bunga-bunga kecil, bercelana jins, dan kerudung biru. Dan cerewetnya
minta ampun! Hahaha tapi aku suka. Dari beliau juga aku belajar banyak.
Beliau (si Ibu kedua) membuka
percakapan dengan keluhannya atas klien beliau (nasabah sih sebenernya kalau
badan keuangan ibu itu legal tapi berhubung itu independen dan bukan lembaga
keuangan juga, aku mau sebut yang seharusnya nasabah dengan “klien”. Deal?
Oke.) yang alot disuruh bayar utangnya. Aku tertarik banget tuh sama topik yang
diangkat si Ibu. Baru pertama ini aku denger sistem kredit di bawah tangan
semacam ini. Wow menurutku.
Jadi begini sistemnya. Anggaplah
aku ada di posisi ibu itu ya. Aku punya bos yang katakanlah kaya raya. Nah
bosku ini ngasih uang ke aku dengan jumlah tertentu terus aku disuruh muterin
uang itu ke pedagang-pedagang pasar. Jadi deh aku datengin pedagang-pedagang
pasar yang butuh modal buat usahanya. Mereka minjem uang ke aku. Bervariasi,
ada yang ngambil 1 juta, 2 juta, 3 juta, tapi rata-rata 3 sampai 4 juta. Ntar
mereka ini ngembaliinnya per bulan dengan nominal 200rb/bln, tentu saja udah
plus bunganya.
Tapi yang menarik bukan itu. Yang
membuatku mengeritingkan dahi adalah semua uang itu berputar tanpa ada
perjanjian hitam di atas putih alias hanya sistem saling percaya! Dan, serius,
itu benar-benar jalan! Pas aku nanya ke ibunya apakah pernah ada yang nggak mau
bayar atau semacamnya (mungkin istilah bankingnya kredit macet ya?) ibu itu
bilang nggak ada soalnya, kata ibu itu, beliau nggak sembarangan minjemin uang
itu. Beliau menilai dulu calon kliennya. Kebayang nggak sih, apa yang dilakukan
ibu ini semacam mempelajari Perilaku Konsumen gitu kan? Dia menilai secara
psikologis calon kliennya ini bisa dipercaya nggak. Yang jelas, uang dari
bosnya yang selalu ia bawa itu pasti habis diputerin! Strategi transaksi bisnis
yang kece menurutku. Dalam hati aku cuma bisa bilang, “Waow… sungguh katroknya
diriku.” Hahaha.
Dan, karena ini sistemnya saling
percaya, ibu itu benar-benar berdedikasi. Saat klien bilang buat ketemu jam 6
pagi ya dia jabani gimana pun caranya buat dateng ke kliennya di jam itu. FYI
nih, beliau ini nggak pake kendaraan pribadi (murni pake public transportation)
dan kayaknya juga nggak terlalu pake hape deh. Yang terakhir sih cuma rekaanku
aja sih. Secara, dia nggak ngeluarin benda semacam hape dari awal ampe akhir.
Nggak nyebut-nyebut juga. Dan kalau dari ceritanya setelah topik ini
mengindikasikan beliau memang tidak memaksimalkan penggunaan benda kotak yang
nggak pernah bisa lepas dari tanganku itu.
Aku jadi pengen tau deh apa di
kota-kota/pasar-pasar lain juga ada sistem kredit di bawah tangan semacam ini?
Dan pernahkan ada masalah hukum atas transaksi ini? Kalau ada berarti nggak
bisa diajukin ke pengadilan dong? kan nggak ada tanda buktinya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
any advice?