Sabtu, 04 Oktober 2014

Pulang #2a : Pebisnis Finansial ala Pasar


Akhirnya aku sampai di stasiun Kutoarjo. Hal pertama yang aku lakuin adalah menggelinding ria ke Customer Sevice, mau nanya kereta paling pagi ke Solo buat Senin apaan. Tapi nggak jadi. Apa-apaan, kenapa customer servicenya penuh gitu? -_- Ya udah, akhirnya celingukan nyari jadwal kereta di sekitar situ. Untungnya ada.

Oke, jam kereta buat balik ke Solo besok udah dapet. Sekarang gimana caranya pulang? Aku terpikir buat jalan aja nyampe Pasar Kutoarjo tapi urung. Pertama karena capek dari tadi udah berdiri (2 jam lebih men!) dan laper. Yang Kedua, ngeri aja bayangin ketemu sepasang sejoli mesra (baca Pulang #1) di kereta tadi. Takutnya kalau ekspektasi mereka soal Pasar Kutoarjo ini ketinggian terus malah aku, sebagai perekomendasi dan manusia di dekat mereka (kalau aku benar2 memutuskan itu), yang kena luapan kekecewaan. Tidak! Aku lemah.

Fix. Daripada melewati hal-hal mengerikan begitu, aku memilih buat langsung aja loncat ke salah satu angkot di depan stasiun. Dengan sisa-sisa kecerdasanku, aku tahu angkot itu akan membawaku ke Purworejo kota. Kalau udah di sana mah gampang, ntar tinggal ke pangkalan angkot nyari yang jurusan ke rumah. Udah deh, beres!

Ternyata nggak semulus itu. Ada juga kejutan-kejutan kecil menyertai, seperti melongonya aku ketika tahu tarif angkot sekarang 5000 rupiah! Sejak kapaaan? Perasaan pas jaman sekolah dulu masih seribu lima ratus deh! Ini mah tinggal ditambah seribu aja udah bisa nyampe Jogja! Ah, baiklah. Dunia sudah berubah.

Sesampainya di Purworejo, Pak Supirnya bilang kalau dia nggak berniat masuk ke Kongsi (sebutan untuk pangkalan angkot). Yeaabaiklaah. Aku turun di pinggir jalan aja terus jalan ke Kongsi. Setelah nyempetin beli bengkoang dulu (entahlah tetiba pengen), aku melenggang ceria memasuki Kongsi. Dan…

JENG JENG JEEENG!

Pasar!

Tunggu dulu, ini… (aku celingukan lalu menelan ludah susah payah) kayaknya aku udah bener deh jalannya. Sejak kapan tempat ini jadi padat kios begini? Setelah masuk di dalem baru inget satu teori, mungkin ini alihan para pedagang pasar Baledono yang tahun lalu kebakaran itu? Iya, pasti itu. Astaga, masalah sesimpel itu aja aku panik! Oke, aku sudah di jalan yang benar. Tinggal nemuin angkot bernomor jurusan 36.

Nggak beberapa lama setelah aku masuk dan asik mengupas bengkoang (laper bro!), ada seorang ibu-ibu masuk juga. Tipe keibuan banget. Pake rok batik panjang, baju senada yang juga lengan panjang dan jilbab langsung pakai dengan warna senada juga. Aku menyapanya. Eaa, target ngobrol berikutnya nih. Asiknya kalau sama ibu-ibu pasar tuh kita nggak perlu mincing, mereka bakal dengan suka rela ngajakin kita ngobrol. Tapi demi sopan santun karena aku udah terlanjur ngupas bengkoang, aku tawarin aja bengkoang2 itu ke ibuknya. Beliau menolak dengan alasan bukan makanan untuk orang tua. Ciaaaahahaha aku jadi ngerasa muda belia. Oke, oke. Aku minta izin padanya untuk makan bengkoang. Beliau dengan ramah ceria menyilakanku. Mungkin kasian juga kali liat muka kelaperanku.

Gigitan pertamaku dibarengi sama ibu itu mengeluarkan kuali kecil. Tertarik, aku nanya harganya. Beliau jawab, “Lima ribu ini tadi,” katanya sambil ketawa malu-malu. Aku baru mau excited teriak “Murah amaaat?!” beliau menambahkan, “Mahal sekarang Mbak ginian.”

Oh? ._.

Untung belum jadi sok tahu teriak murah! Tapi lima ribu men! Murah lah menurutku. Maksudku atas karya yang begitu lho (aku kan nggak bisa bikin gituan). Tapi ya baiklah. Aku kan gadis lugu nan polos jadi aku memutuskan untuk tersenyum dengan muka sok simpati dan sok ngerti.

Pas kita baru selesai ngomongin si kuali seksi, muncul satu ibu-ibu lagi. Kurus, terlihat lebih muda dari ibu sebelumnya (mungkin seumuran ibuku?), berpakaian baju lengan panjang putih bermotif bunga-bunga kecil, bercelana jins, dan kerudung biru. Dan cerewetnya minta ampun! Hahaha tapi aku suka. Dari beliau juga aku belajar banyak.

Beliau (si Ibu kedua) membuka percakapan dengan keluhannya atas klien beliau (nasabah sih sebenernya kalau badan keuangan ibu itu legal tapi berhubung itu independen dan bukan lembaga keuangan juga, aku mau sebut yang seharusnya nasabah dengan “klien”. Deal? Oke.) yang alot disuruh bayar utangnya. Aku tertarik banget tuh sama topik yang diangkat si Ibu. Baru pertama ini aku denger sistem kredit di bawah tangan semacam ini. Wow menurutku.

Jadi begini sistemnya. Anggaplah aku ada di posisi ibu itu ya. Aku punya bos yang katakanlah kaya raya. Nah bosku ini ngasih uang ke aku dengan jumlah tertentu terus aku disuruh muterin uang itu ke pedagang-pedagang pasar. Jadi deh aku datengin pedagang-pedagang pasar yang butuh modal buat usahanya. Mereka minjem uang ke aku. Bervariasi, ada yang ngambil 1 juta, 2 juta, 3 juta, tapi rata-rata 3 sampai 4 juta. Ntar mereka ini ngembaliinnya per bulan dengan nominal 200rb/bln, tentu saja udah plus bunganya.

Tapi yang menarik bukan itu. Yang membuatku mengeritingkan dahi adalah semua uang itu berputar tanpa ada perjanjian hitam di atas putih alias hanya sistem saling percaya! Dan, serius, itu benar-benar jalan! Pas aku nanya ke ibunya apakah pernah ada yang nggak mau bayar atau semacamnya (mungkin istilah bankingnya kredit macet ya?) ibu itu bilang nggak ada soalnya, kata ibu itu, beliau nggak sembarangan minjemin uang itu. Beliau menilai dulu calon kliennya. Kebayang nggak sih, apa yang dilakukan ibu ini semacam mempelajari Perilaku Konsumen gitu kan? Dia menilai secara psikologis calon kliennya ini bisa dipercaya nggak. Yang jelas, uang dari bosnya yang selalu ia bawa itu pasti habis diputerin! Strategi transaksi bisnis yang kece menurutku. Dalam hati aku cuma bisa bilang, “Waow… sungguh katroknya diriku.” Hahaha.

Dan, karena ini sistemnya saling percaya, ibu itu benar-benar berdedikasi. Saat klien bilang buat ketemu jam 6 pagi ya dia jabani gimana pun caranya buat dateng ke kliennya di jam itu. FYI nih, beliau ini nggak pake kendaraan pribadi (murni pake public transportation) dan kayaknya juga nggak terlalu pake hape deh. Yang terakhir sih cuma rekaanku aja sih. Secara, dia nggak ngeluarin benda semacam hape dari awal ampe akhir. Nggak nyebut-nyebut juga. Dan kalau dari ceritanya setelah topik ini mengindikasikan beliau memang tidak memaksimalkan penggunaan benda kotak yang nggak pernah bisa lepas dari tanganku itu.

Aku jadi pengen tau deh apa di kota-kota/pasar-pasar lain juga ada sistem kredit di bawah tangan semacam ini? Dan pernahkan ada masalah hukum atas transaksi ini? Kalau ada berarti nggak bisa diajukin ke pengadilan dong? kan nggak ada tanda buktinya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

any advice?