Selasa, 30 September 2014

Seluas Samudra Pasifik

Wih, tumben nih siang-siang ngeblog hehe. Nggak ada yang spesial sih. Barusan ndonlot materi Tinjauan Desain Grafis trus iseng buka blog dan nggak sengaja liat artikel punya temen. Erm, bukan artikel sih. Curhat mungkin lebih tepat. Tapi aku nggak bermaksud retelling curhatan dia. Yeah, meskipun dia curhatnya di blog yang notabene bisa dilihat semua orang tapi aku tetap merasa tidak punya hak buat ikut campur.

Intinya, dari tulisan dia aku bisa menangkap satu hal; aku semakin tidak mengerti manusia. Kalian semua begitu perasa. Begitu sensitif. Begitu suka menyibukkan diri memperhatikan hal2 yang kalian sendiri tahu itu tidak baik buat kesehatan emosi kalian. Tapi kalian toh tetap melakukannya. Ya, kalian suka melakukannya. Jangan mengelak.

Oh, tidak, tunggu. Jangan menuduhku macam-macam. Aku sama sekali tidak menyalahkan sikap itu. Serius. Aku justru suka. Itu membuat kalian jadi lebih menarik. Lebih lucu.

Semalam, aku baru saja mengatakan pada temanku yang lain, saat ia mengeluhkan betapa teman-teman kami  begitu "bertopeng". Aku jawab, aku juga bertopeng. Aku jujur bagian itu. Sejauh ini belum pernah ada seorang pun yang bisa membuatku membuka topeng ini. Oke, pernah ada tapi hanya momen-momen tertentu yang sangat singkat. Dan, please, itu sama sekali bukan masalah untukku. Maksudku, aku bukan benar-benar tidak memiliki emosi. Hanya saja kupikir mungkin aku tidak sesensitif kalian? Atau, mungkin saja katakanlah aku sesensitif itu, tapi aku selalu lebih memilih untuk mengendalikannya.

Semakin ke sini aku semakin paham bagaimana para manusia bisa begitu bervariasi. Apalagi kalau bukan karena masa lalu? Dan, yang paling berperan dalam pembentukan karakternya tentu saja keluarga. Apa yang terjadi di keluarga kita, bagaimana orang tua kita memperlakukan kita, bagaimana orang tua kita menghadapi masalah, bagaimana orang tua kita memandang kehidupan, dari semua itulah karakter kita terbentuk. Makanya, aku selalu ingin tahu bagaimana dengan seorang anak yang tidak memiliki figur orang tua sejak kecil? Aku ingin tahu bagaimana mereka mengambil tokoh dan apa alasannya? Bagaimana mereka memandang kehidupan? Dan semuanya.

Aku sangat beruntung dan berterima kasih mempunyai figur orang tua yang sehebat itu. Istilahnya, bagaimana cara berpikir mereka, cara mereka menanggapi dan menyelesaikan masalah, dan sebagainya itu termasuk "langka". Tentu saja aku tidak pernah berpikir begitu sebelumnya. Aku kira ya semua orang tua begitu. Tapi setelah mendengar dan melihat cukup banyak, baru aku berpikir orang tuaku ini langka, hehe. Mereka memang tidak selamanya dewasa dalam bersikap (baca:orang tuaku) tapi justru itulah bagian asyiknya. Saat kami berkumpul tidak ada batasan. Tidak ada kastanisasi bapak-anak. Kalau kami lagi main gitu keluar, ya udah kayak hang out sama temen-temen aja. Dan kukira yang begitu itu adalah hal yang wajar yang dimiliki semua orang. Tapi ternyata tidak ya? Setiap rumah tangga mempunyai otonomi masing-masing untuk memilih kebijakan yang mereka terapkan di bawah atap berteduh mereka.

Dari situlah aku berpikir bahwa kita semua menarik. Tidak ada yang benar-benar salah dan tidak ada yang benar-benar benar. Aku nggak mau sok bijak dengan menasehati macam-macam. Aku mau menutup catatan ini dengan mengutip kalimat ibuku yang kurang lebih, "Saat hidupmu terasa sulit, nikmati aja. Enjoy aja. Karena dari situlah kita paham bahwa kita hidup. Sekarang coba pikir gampang aja, kalau kamu nggak punya uang terus kamu ngeluh sana-sini, dipikir berlebihan, apa lantas jadi tiba-tiba punya uang?"

Aku tahu masalah kalian tidak sesederhana "tidak punya uang" (seperti masalahku saat ini) hanya saja, yang ingin aku katakan adalah, kita selalu punya pilihan untuk melapangkan dada kita saat masalah menghampiri. Biarkan satu ember masalah hinggap di dirimu asalkan kau lebih memilih untuk meluaskan pemikiran dan perasaanmu seluas samudra pasifik. Ingat, keputusan untuk memilih selalu ada di tangan kita.


2 komentar:

any advice?