Aku sebal dengan semua manusia (yang ngaku) dewasa. Oh ya, jelas,
termasuk aku. Meskipun bukan berarti aku ngaku dewasa. Cuma, aku manusia kan?
Topeng. Kayaknya kata itu bisa banget buat mendefinisikan kami.
Awalnya aku menganggap itu bukan masalah. Kupikir, saat semua orang
melakukannya bagaimana mungkin hal itu disebut masalah kan? Tapi lama-lama
memuakkan juga.
Tebak apa yang sering kami katakan saat merasa suatu sikap yang
dilakukan orang lain adalah kurang dewasa (dalam definisi kami)? Benar, kami
pasti mengatakan, “Ya harusnya dia bisa lebih dewasa lah. Jangan kekanakan
gitu! Kita udah bukan anak-anak lagi!”
Jangan menyindirku! Aku ngaku kok aku sendiri pun sering belagak
sok dewasa dan mengatakan itu untuk mengomentari teman/orang lain yang tidak
kusetujui sikapnya. Dan aku selalu benci bagian dari diriku yang itu. Aku
terlalu sok tahu dan aku benci itu.
Sebenarnya, apa sih salahnya menjadi anak2? Asal kita tahu
kapasitas dan situasi, berpikir ala anak2 dalam beberapa hal tertentu aku rasa
sah-sah aja. Ingat, cuma di beberapa hal tertentu juga dengan syarat kita sadar
kapasitas dan situasi.
Menyedihkan memang saat aku tahu aku tidak bisa selamanya menjadi
anak-anak. Aku pernah update status di fb yang kurang lebih, “Aku pengen
tinggal di Neverland”. Dan aku serius. Too many risk to be adult people.
sumber : google. Browsing sendiri kenapa aku memilih krisan putih. ;) |
Pertemanan. Bukankah berteman itu sederhana? Setidaknya begitulah pertemananku saat masih anak-anak dulu. Aku sekolah bersama mereka. Kita menikmati belajar di kelas, menerima ilmu-ilmu baru. Saat waktu hampir menuju jam istirahat, aku berpikir “ntar mau jajan apa ya?” saat waktu mendekati jam pulang, aku berpikir “Ntar mau main apa ya?”
Kami main ya tinggal main. Otak dan tubuh kami kompak di situ.
Kalau seneng kami ketawa bareng. Kalau nggak suka ya tinggal bilang nggak suka.
Palingan marahan bentar terus udah. Baikan terus main lagi deh. Sering, kami
hanya menjelajah kebun/sawah orang. Kalau tanpa sengaja menemukan hal menarik
ya ambil aja bawa pulang. Dari jambu air, jeruk, dan buah-buahan lain yang
menggiurkan. Hahaha, yah, nyolong sih istilahnya. Sampai suatu saat aku
menemukan bunga cantik di atas pohon dan tanpa pikir panjang aku panjat pohon
itu untuk mengambil si Anggrek Putih. Aku bawa pulang dengan ceria lalu aku
pamerin ke ibuku. Dan, jeng jeeeng, ternyata ibuku baru beli anggrek yang sama
persis!! Haha, dari hari itu pun ditutup dengan penyesalan luar biasa dari
ibuku karena telah mengeluarkan uang untuk benda cantik yang seharusnya bisa ia
dapatkan gratis!
Asyik? Menurutku iya. Kami benar-benar menikmati setiap sepoi
angin yang menyisir rambut kami. Setiap jengkal hangatnya terpaan matahari di
kulit kami. Sering, karena tidak ada ide asik mau main apa, kami hanya tiduran
di bawah pohon, menatap langit dan menebak-nebak bentuk awan. Atau, saat sudah
bosan bermain, kami hanya duduk di rerumputan dan menatap sang surya tenggelam
di ufuk barat sana. Peraturannya sederhana, kami hanya mengikuti naluri
anak-anak kami, menikmati dimanapun kami berada dan apapun yang kami lakukan.
Jujur mengutarakan apa yang ada di pikiran maupun perasaan kami. Sesederhana
itu.
Mungkin kalian juga pernah mengalaminya, dengan versi yang berbeda?
Tapi apa poinnya?
“Menikmati dimana dan apa yang kita lakukan.”
Kita sering melupakan yang satu itu kan?
Baiklah, aku tidak akan menggunakan kata “kita”, anggap saja aku
sendiri yang sering melupakan bagian itu. Kita, eh aku, terlalu sibuk tidak
sabaran buat cepet-cepet tahu setelah ini apa. Saat SMP pengen cepet2 SMA. Udah
SMA pengen kuliah. Udah kuliah pengen cepet kerja terus punya uang sendiri dan
beberapa orang malah pengen langsung nikah aja. Well, life is choice. Isn’t it?
Tapi dari itulah kita, eh aku, jadi kehilangan esensi hidup.
Target itu perlu tapi menikmati proses pencapaian target itu yang
penting. Menurutku sama aja kayak kita, eh aku, yang belagak sok dewasa. Buat
apa? “Dewasa” akan hadir dengan sendirinya. Jangan rusak skenarioNya. Nikmati
momennya, kita hidup. Sesederhana itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
any advice?