Selasa, 19 Agustus 2014

Rahasia Meede; Membantu Manusia Bodoh Ini “Mengenal” Negerinya




“Negerinya aku cintai, orang-orangnya tidak. Sebenarnya, siapapun yang berkuasa sama saja. Darmoko atau malaikat, tidak akan sanggup mengubah negeri ini. Hanya saja, aku menganggap ini permainan antara kita yang muda dengan nafsu serakah mereka yang tua.” Hanya permainan Wogu, tidak ada hubungannya dengan bela negara.”

Ini… ini… WOW! Gimana ya, momennya pas aja gitu aku baca novel yang menggungah nasionalisme begini di tengah masa-masa perayaan kemerdekaan republik ini. Oh God, aku heran kenapa aku butuh waktu sekian lama untuk memutuskan menyelesaikan buku satu ini. Serius, HERAN! Tapi, yeah, begitulah biasanya nasib novel-novel hebat di tanganku. Membuatku bertanya-tanya, apalagi setelah ini?
Rahasia Meede, novel ini pertama kali tersentuh tanganku saat aku kelas X SMA (itu berarti berapa tahun yang lalu ya? Tunggu, aku tidak setua itu! Jangan coba-coba berpikir macam-macam!). Aku meminjamnya di rentalan buku langgananku. Tapi belum juga separuh aku membacanya sudah kukembalikan karena… entahlah, waktu itu karena apa. Yang kedua adalah saat liburan semester… ah, aku lupa semester berapa, dan belum juga sampai setengahnya lagi-lagi aku teralihkan hal lain (yang aku lupa juga “hal lain” ini berbentuk apa). Jadi, begitulah rentetan perjalanan panjang hingga akhirnya aku menyelesaikan novel ini beberapa menit yang lalu. Yap, novel yang diterbitkan tahun 2007 (yang aku baca ini cetakan tahun 2008) ini baru aku selesaikan tahun 2014! Hebat, bukan?
Ah, sudahlah. Lupakan itu. Maafkan aku.
Apa ya? Aku serius speechless kalau harus mengomentari novel ini. Mungkin karena saking banyaknya yang ingin aku katakan tapi overall, seriously, this is the WOW-est Indonesian novel I ever read! Hanya saja memang aku harus memaksakan diri keluar dari kepribadianku yang tidak sabaran ini. ^^
Mudahnya begini, aku agak setuju dengan salah satu komentar di cover belakang. Kalau Amerika punya National Treasure maka Indonesia punya Rahasia Meede. TAPI, menurutku ini jauh lebih membekas dari National Treasure! —If you know what I mean.
Inti ceritanya adalah tentang rahasia harta karun VOC, seperti sub judulnya. Buat kalian pecinta sejarah, this is the must-read novel! Aku serius. Di dalemnya penuh dengan sejarah semua. Oke, dengan sedikit taburan retorika politik dan bobroknya moral bangsa ini sebagai pemanis. Tapi di atas semua itu, berbagai fakta sejarah (yang mencengangkan)lah yang mendominasi kisah ini. Membuatku merasa semakin bodoh saja.
Penulis mengambil posisi sebagai orang ketiga serba tahu yang, ajaibnya, sama sekali tidak mengurangi kekuatan kisah di dalamnya. Kalau bicara fokus tokohnya, aku benar-benar kesusahan—seandainya aku belum selesai membacanya. Tapi memang ada banyak sekali tokoh di novel ini dan mereka mempunyai porsi yang hampir sama kuatnya. Setidaknya begitulah sampai sekiranya tiga perempat novel ini. Selanjutnya, kupikir kisah ini lebih cenderung pada si Jenius Attar Malaka (atau Kalek, tapi entahlah aku tidak terlalu suka nama Kalek—maaf) dan si Cerdas Batu August Mendrofa (atau Batu Noah Gultom atau Lalat Merah atau Roni… Roni siapalah, lupa). Tentang konflik serius yang melibatkan masalah sistematis negeri ini dan memaksa sepasang sahabat ini untuk saling berhadapan atas nama idealisme. Itu kalau kita bicara masa sekarang. Tapi ikatan sejarah (yang jelas tidak mungkin kita menutup mata soal ini) dalam novel ini lebih terfokus pada tokoh Cathleen Zwinckel yang dibuka serta diantarkan dengan elegan oleh Kalek, si Jenius.
Jalinan ceritanya benar-benar rapi dan tenang. Dibangun dengan pondasi kisah yang luar biasa kokoh (tentang fakta sejarah akan eksistensi sebuah kerajaan bisnis multinasional kala itu, VOC, dan perannya dalam mempermainkan negeri ini) dengan keteguhan karakter setiap tokoh di dalamnya. Rajutan emosinya disulam dengan sangat hati-hati dan sadis! Oh ya, sadis! Karena aku bahkan tidak diberi waktu untuk sedikit bermelankolis. Ini si penulis benar-benar kejam! Serius! Setidaknya beri aku waktu untuk menata kembali emosiku setelah dengan seenaknya kaupermainkan (*membayangkan ngomong sama penulisnya)! Ah, sudahlah. Kalau kata Ito (penulisnya):
“Nona, inilah tragedi Indonesia. Tidak ada akhir bahagia layaknya mitos dan dongeng Eropa. Tidak ada kastil indah untuk Pangeran dan Putri. Setiap mitos di negeri ini selalu berakhir dengan kutukan dan kematian. Dan, bangsa ini terus mengulangi kesalahan yang sama.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

any advice?