“Negerinya aku cintai,
orang-orangnya tidak. Sebenarnya, siapapun yang berkuasa sama saja. Darmoko
atau malaikat, tidak akan sanggup mengubah negeri ini. Hanya saja, aku menganggap
ini permainan antara kita yang muda dengan nafsu serakah mereka yang tua.”
Hanya permainan Wogu, tidak ada hubungannya dengan bela negara.”
Ini… ini… WOW! Gimana ya, momennya pas aja gitu aku
baca novel yang menggungah nasionalisme begini di tengah masa-masa perayaan
kemerdekaan republik ini. Oh God, aku
heran kenapa aku butuh waktu sekian lama untuk memutuskan menyelesaikan buku
satu ini. Serius, HERAN! Tapi, yeah, begitulah biasanya nasib novel-novel hebat
di tanganku. Membuatku bertanya-tanya, apalagi setelah ini?
Rahasia Meede, novel ini pertama kali tersentuh
tanganku saat aku kelas X SMA (itu berarti berapa tahun yang lalu ya? Tunggu,
aku tidak setua itu! Jangan coba-coba berpikir macam-macam!). Aku meminjamnya
di rentalan buku langgananku. Tapi belum juga separuh aku membacanya sudah
kukembalikan karena… entahlah, waktu itu karena apa. Yang kedua adalah saat
liburan semester… ah, aku lupa semester berapa, dan belum juga sampai
setengahnya lagi-lagi aku teralihkan hal lain (yang aku lupa juga “hal lain”
ini berbentuk apa). Jadi, begitulah rentetan perjalanan panjang hingga akhirnya
aku menyelesaikan novel ini beberapa menit yang lalu. Yap, novel yang diterbitkan
tahun 2007 (yang aku baca ini cetakan tahun 2008) ini baru aku selesaikan tahun
2014! Hebat, bukan?
Ah, sudahlah. Lupakan itu. Maafkan aku.
Apa ya? Aku serius speechless kalau harus mengomentari novel ini. Mungkin karena
saking banyaknya yang ingin aku katakan tapi overall, seriously, this is the WOW-est Indonesian novel I ever read! Hanya
saja memang aku harus memaksakan diri keluar dari kepribadianku yang tidak
sabaran ini. ^^
Mudahnya begini, aku agak setuju dengan salah satu
komentar di cover belakang. Kalau Amerika punya National Treasure maka Indonesia punya Rahasia Meede. TAPI,
menurutku ini jauh lebih membekas dari National
Treasure! —If you know what I mean.
Inti ceritanya adalah tentang rahasia harta karun
VOC, seperti sub judulnya. Buat kalian pecinta sejarah, this is the must-read novel! Aku serius. Di dalemnya penuh dengan
sejarah semua. Oke, dengan sedikit taburan retorika politik dan bobroknya moral
bangsa ini sebagai pemanis. Tapi di atas semua itu, berbagai fakta sejarah
(yang mencengangkan)lah yang mendominasi kisah ini. Membuatku merasa semakin
bodoh saja.
Penulis mengambil posisi sebagai orang ketiga serba
tahu yang, ajaibnya, sama sekali tidak mengurangi kekuatan kisah di dalamnya.
Kalau bicara fokus tokohnya, aku benar-benar kesusahan—seandainya aku belum
selesai membacanya. Tapi memang ada banyak sekali tokoh di novel ini dan mereka
mempunyai porsi yang hampir sama kuatnya. Setidaknya begitulah sampai sekiranya
tiga perempat novel ini. Selanjutnya, kupikir kisah ini lebih cenderung pada si
Jenius Attar Malaka (atau Kalek, tapi entahlah aku tidak terlalu suka nama
Kalek—maaf) dan si Cerdas Batu August Mendrofa (atau Batu Noah Gultom atau
Lalat Merah atau Roni… Roni siapalah, lupa). Tentang konflik serius yang
melibatkan masalah sistematis negeri ini dan memaksa sepasang sahabat ini untuk
saling berhadapan atas nama idealisme. Itu kalau kita bicara masa sekarang.
Tapi ikatan sejarah (yang jelas tidak mungkin kita menutup mata soal ini) dalam
novel ini lebih terfokus pada tokoh Cathleen Zwinckel yang dibuka serta
diantarkan dengan elegan oleh Kalek, si Jenius.
Jalinan ceritanya benar-benar rapi dan tenang.
Dibangun dengan pondasi kisah yang luar biasa kokoh (tentang fakta sejarah akan
eksistensi sebuah kerajaan bisnis multinasional kala itu, VOC, dan perannya
dalam mempermainkan negeri ini) dengan keteguhan karakter setiap tokoh di
dalamnya. Rajutan emosinya disulam dengan sangat hati-hati dan sadis! Oh ya,
sadis! Karena aku bahkan tidak diberi waktu untuk sedikit bermelankolis. Ini si
penulis benar-benar kejam! Serius! Setidaknya beri aku waktu untuk menata
kembali emosiku setelah dengan seenaknya kaupermainkan (*membayangkan ngomong
sama penulisnya)! Ah, sudahlah. Kalau kata Ito (penulisnya):
“Nona, inilah tragedi
Indonesia. Tidak ada akhir bahagia layaknya mitos dan dongeng Eropa. Tidak ada
kastil indah untuk Pangeran dan Putri. Setiap mitos di negeri ini selalu
berakhir dengan kutukan dan kematian. Dan, bangsa ini terus mengulangi
kesalahan yang sama.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
any advice?