Kamis, 25 Agustus 2016

Be a Good Girl

Be a good girl, you said.











See? I made it. As promised. On time. Even with a little plus; this ridiculous blue scarf. So, why don't you just congratulate me? 











Hari ke 18 dan aku masih belum benar-benar bisa merangkai kalimat perpisahan, obituary, atau apalah namanya. Sama sekali nggak bisa. Ada teramat sangat banyak hal yang harus kita bicarakan. Ada teramat sangat banyak hal yang harus kita selesaikan. Tapi kau malah main pergi begitu saja. Lalu aku harus bagaimana? 

Tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana kita. Sekarang aku paham kenapa kau tidak mau dipanggil bos. Karena memang bukan. Kau lebih seperti ayah sekaligus teman sekaligus kakak. We were a good team, right? Segala kepercayaan yang kau berikan padaku, keleluasaan lenganmu dalam merengkuhku dan memberikan kebebasan yang sesungguhnya. Kebebebasan untukku bercerita apapun, mengeluhkan apapun, bertanya apapun, dan bahkan mengomentari apapun. Selalu terasa aman dan nyaman bercerita padamu. Mengingatkanku untuk menjadi diriku sendiri. Segalanya benar-benar menyenangkan sebelum perselisihan kita yang terakhir. Dan benar-benar menjadi yang terakhir ya ternyata. Satu hal yang masih sangat kusesali sampai detik ini. Hanya karena kebodohanmu dan kutanggapi dengan sikap kekanakanku membuat kita tidak lagi saling bicara. Lama sekali, kau tahu. Terakhir kita saling bicara adalah saat pamerannya anak-anak Surakarya. Itu juga cuma saling sapa dan basa-basi dikit. Aku juga tidak mengerti kenapa bisa tahan tidak bicara denganmu sampai selama itu. Padahal kau sudah mencoba untuk mengembalikan situasi tapi mungkin memang aku yang terlalu kekanakan. Bahkan aku tidak maaf-maafan denganmu saat idul fitri kemarin.

Hingga beberapa waktu lalu aku, entah bagaimana, kangen kamu dengan teramat sangat. Tapi lagi-lagi, entah karena gengsi atau malah memang bodoh, aku berkata pada diriku, "Ah, ntar aja sekalian pas di Solo. Ntar pas belcor (belmen corner) juga ketemu." Dan kemudian aku sadar itu adalah keputusan paling bodoh sepanjang masa. Karena malam berikutnya, tengah malam, telepon yang masuk ke ponselku membawa berita yang benar-benar menyebalkan. Malam itu juga kau, tanpa pamit, menghubungiku, atau apapun, tau-tau menghadapNya. Kenapa begitu egois? Lalu aku harus bagaimana? Aku harus apa saat aku kangen kamu begini? 


Menyakitkan tahu saat aku harus dipaksa menyadari bahwa kau tidak lagi bisa membalas pesanku. Bahwa kita tidak akan lagi bisa bertemu dan bercanda semeja seperti biasanya. Bahwa saat aku benar-benar merindukanmu seperti saat ini aku tidak tahu harus bagaimana.

Aku tidak pernah bisa bercerita pada siapapun sebebas padamu jadi seharusnya kau tahu sekarang betapa aku benar-benar frustasi menghadapi ini. Dan Solo, setiap sudutnya, orang-orangnya, dan segalanya bisa begitu tega selalu menghadirkanmu tanpa pernah mempehatikan bagaimana susah payahnya aku tampil baik-baik saja di depan semua orang.

Dulu, saat kau harus pergi ke luar kota untuk pekerjaan, aku selalu rewel, "Berapa lama? Sampai kapan? Kapan baliknya." dan biasanya kamu jawab, "Nggak lama, kok. Jangan kangen gitu dong, belum juga berangkat." Nah, jadi sekarang aku harus gimana kalau kangen?

Hari pemakamanmu, apa aku menangis? Tidak. Sama sekali. Aku bahkan memilih tidak ikut ke makammu. Aku masih bisa makan karena memang saat itu aku lapar. Hari kedua, memang sedikit aneh tapi biasa saja. Setelah itu, aku juga masih melakukan segala hal dengan biasa saja. Hingga kemudian di hari ke 5, saat openingnya Muara Market-nya Mas Tatuk, semua orang ada di sana, kau tahu. Semua teman-temanmu. Semua orang yang kau kenalkan padaku dulu. Semua ada di sana. Kami saling sapa, bercanda seperti biasa, dan kemudian tanpa sadar aku mencarimu. Saat itulah aku akhirnya dipaksa paham bahwa kau tidak akan pernah ada lagi di antara mereka. Aku tidak akan bisa lagi menemukanmu bercanda dengan mereka seperti dulu. Dan itu, entah bagaimana, sangat menyakitkan. 

Menurutku kematian tidak begitu menyedihkan, yang menyakitkan dalam penerimaan atas kematian seseorang adalah kerapuhan kita menghadapi rindu. Dan aku sama sekali tidak pernah menyangka kepergianmu bisa menumpuk kerinduan sampai sedemikian ini. Yang harus kuterima adalah bahwa tumpukan ini akan tetap ada dan mungkin bertambah menyedihkan. Tak apa toh semua orang mengalami perpisahan. Tidak ada yang spesial. Nanti juga lama-lama beres sendiri.

Fine, aku tahu kau tidak pernah suka aku mengatakan hal semacam, "nanti juga beres sendiri." aku paham kau melatihku untuk menyelesaikan masalahku sendiri. Tapi untuk ini? Untuk satu hal yang menyebalkan ini, aku harus apa? Harus gimana? Aku benar-benar tidak tahu! Jadi diamlah dan, sekali ini saja, biarkan aku menyerahkan ini kepada waktu. Ya, aku menyerah. Kenapa? Tidak apa kan? Bukankah begitu kata mereka? Nanti waktu akan punya jawabannya? Atau kalau memang jawaban itu tidak pernah muncul, mungkin kita bisa bicarakan baik-baik saat aku sudah menyusulmu ke sana nanti. Itu juga kalau kita tidak disibukkan dengan urusan kita masing-masing.

Dan untukku sendiri, nanti kalau rindu seseorang sebaiknya bilang karena hal remeh begitu bisa benar-benar menyebalkan saat sang takdir ikut campur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

any advice?