Sabtu, 14 Mei 2016

Jomblo

Hihi, aku kok suka ya redaksional ‘jomblo’. Itu kayak imut tapi enak gitu (tiba-tiba kebayang combro). Apasih. Skip.

Ini malam minggu dan, gilanya, malam ini aku merasa sangat jomblo. Gilak, ini jomblo akut hahaha. Kenapa? Ya karena aku bener-bener sendiriaan! Astagaa. Si Icak pulang kampung. Ini bocah meskipun dia secara teknis udah nggak jomblo lagi tapi seringkali lebih jomblo dari yang jomblo. Dan kadang kalo mau main/pergi mbolang, dia bukannya ngajak pacarnya tapi ngajak aku hahaha mayan sih aku jadi nggak nelangsa-nelangsa amat. Tapi seringkali juga aku yang ngajak duluan hehe.

Kedua, bibik lagi mbolang dari tadi pagi! Dan kosan sepi parah! Kayaknya cuma ada aku deh nih di seantero kosan. Kalo yang terakhir ini sih aku seneng-seneng aja. Nggak tau kenapa dari dulu aku suka di rumah sendirian. Itu kayak… asik aja gitu. Entah deh.

Ngomongin jomblo, dengan dukungan situasi malam ini, aku jadi kepikir deh (baru sekaraaang?? Kemana aja lo?!). Entah ya, akhir-akhir ini orang-orang tuh kayak konspirasi nanyain pasangan hidup gitu. Satu dua sih oke lah ya. Lha tapi kalo udah datengnya dari berbagai lini masa gini ya mau nggak mau kan jadi mikir, “Kenapa deh orang-orang ini?” Hahaha. Tapi berkat itu akhirnya aku jadi nyadar, “Iya ya, kok aku betah-betah aja sih ngejomblo seumur hidup gini?” XD *Butuh selama ini nih buat nyadar? Hahaha sori sori.

Hahaha, tapi seriusan. Baru ini kepikiran gitu. Aku selalu biasa aja saat semua orang mengeluhkan kejombloan mereka. Kadang aku ikut-ikutan tapi ya cuma buat asik-asikan aja gitu. Dan kadang juga karena aku suka ngeliat mereka semakin nelangsa atas status jomblo mereka hahaha. Tapi akunya sendiri nggak benar-benar mikirin itu. Aku masih biasa aja saat teori kesengsaraan jomblo meledak setelah stand up comedynya Raditya Dika. Aku masih biasa aja ketika satu atau dua orang temen nanyain kenapa aku nggak pacaran. Ya, gitu deh. Karena menurutku, itu bukan suatu hal yang harus dipikirkan gitu. Masih banyak hal-hal menarik di dunia ini tanpa harus mengikatkan diri dalam sebuah hubungan fana itu. Ya nggak sih?

Tapi rasanya agak beda gitu lho saat akhir-akhir ini orang nanyanya dengan redaksional yang agak beda. Bukan lagi, ‘kapan pacaran?’ tapi ke ‘mana nih calonmu?’ Laaaah? Aku masih muda beliaaaa giiini main ditanyain pasangan hidup aja. Hahaha. Tapi dari situ, aku berspekulasi dan aku dapet beberapa teori. Pertama, mungkin karena orientasiku nggak ke sana. Kedua, aku terlalu cuek? Ketiga, aku susah jatuh cinta. Susah pake banget. Tapi bukan berarti aku nggak bisa. Seumur hidup ini aku udah jatuh cinta dua kali. Hihi, kok aku tiba-tiba malu sendiri ya. Hehe. Yep, dua kali. Dan dua-duanya aku sangkal semua.  Sikapku ini pertama kali ketauan oleh tarot reader.  Dan aku cuma bisa cengar-cengir aja waktu itu hehe.

Selama ini aku selalu berhasil menyembunyikan banyak hal. Untuk sifatku yang satu ini pertama kali terbaca sama temen yang belajar psikologi. Waktu itu aku dijebak disuruh nggambar pohon sama dikasih tanda tangan. Dan ternyata dari itu dia ngebaca kepribadianku. Sialan nggak tuh? XD Tapi yaudah, nggak papa. Dari situ aku jadi sedikit tahu tentang diriku. Hehe. Tapi karena dia (si temenku) nggak nagih apa yang aku sembunyiin, jadi aku nggak cerita.

Sebenernya aku nggak bermaksud jadi sok misterius dengan nyembunyiin ini itu. Enggak. Serius deh. Itu karena aku pikir, yaah, nggak semua orang harus tau semua tentang kita kan? Maksudku, ada informasi-informasi yang kalo kita ceritain tuh sebenernya nggak penting-penting amat gitu lho buat orang lain. Yang ada malah ntar mengganggu dianya. Gitu. Jadi ya, aku nggak cerita karena… ya, buat apa gitu, lho. Ya nggak sih? Dan lagi, kayaknya aku tipe orang yang bego menjelaskan maksudku. Jadi yaudah deh, peduli amat dengan spekulasi orang lain. Hehe.

Balik ya ke tarot reader. Kejadiannya setaunan lalu. Waktu itu ada tarot reader gitu di Playground. Hampir semua orang nyobain. Aku ogah. Pertama, karena aku nggak terlalu suka dibaca (di tempat umum pula). Kedua, karena bayar. Ya, intinya aku males deh. Tapiii nggak tau kenapaaa, akhirnya aku kena juga. Waktu itu hari terakhir. Si Om Tarot bilang katanya dia mau nyobain teknik baru mbaca tarot dan karena semua orang udah dibaca, si Om minta aku buat jadi tumbalnya. Aku yang nggak gitu tertarik sih ya udahlah ya biarin aja. Aku iyain deh waktu itu.

Dia mengocok kartunya, menjembrengnya kemudian minta aku buat milih. Setengah sulap gitu sih sebenernya. Setelah aku milih, dia nebak kartu yang ada di tanganku. Dan benar. Aku nanya, kok bisa benar? Dia bilang karena dia ngebaca energy dari kartu itu. Kata dia setiap kartu tarot punya muatan energy yang beda-beda. Aku cuma o-o aja. Pas aku mau balikin kartunya, dia nawarin (rada maksa) buat ngasih tau arti kartu yang aku ambil. Seketika aku bilang nggak usah tapi karena semua orang di situ keponya kebangetan dan bersikeras sama si Om buat ngasih tau arti kartunya, akhirnya si Om Tarot ngasih tau deh. Sialan nggak sih, ini guee kliennyaaaa! Gueeeee! Kenapa dah dia malah ndengerin orang-orang lain. Sialan.

Jadi ya gitu deh, akhirnya dia jabarin arti kartunya. Dan yang paling ngena, dia bilang gini (kurang-lebih), “Saat ini kamu lagi punya perasaan sama seseorang. Iya, kan? (Aku cuma cengar-cengir. Udah deh, abis gue, batinku. Malu parah, gilak.) Tapi kamu  nggak mau mengakui perasaan itu. Bukan, lebih parahnya, kamu menyangkal perasaan itu. Benar? (Sialan, batinku lagi. Aku udah memohon buat berenti dan si Om tetep lanjut. Sialan emang haha) Itu yang jadi masalah kamu sekarang. Coba deh kamu biarin aja mengalir, kamu kasih tau dia tentang perasaan kamu. Toh dia juga ngasih sinyal baik kan? Jangan buang energi dengan masalah yang seharusnya bisa nggak jadi masalah.”

Sialan, kutukku. Jadi baper, kan! (Saat itu) Hahahaha…

Aku ngaku deh, waktu itu iya, aku emang lagi ada perasaan sama orang dan aku menyangkalnya. Waktu itu. Tapi toh akhirnya aku menang (dari perasaan itu). Jadi, kenapa aku menyangkalnya?

Aku selalu percaya bahwa, ya, memang kita tidak bisa memilih kita jatuh cinta pada siapa. Kita tidak pernah punya kendali atas itu. Tapi kita selalu punya pilihan cinta mana yang pantas untuk diperjuangkan.

Aku tau tidak semua orang setuju dengan kalimatku. Tidak masalah. Aku juga nggak lagi menyebarkan ideology. Setuju atau tidak itu bukan hal terpenting, yang menjadi penekanan adalah, apa kalian benar-benar mengerti maksud kalimat itu?

Aku yakin nggak semua orang bisa mengerti. Bahkan yang mengatakan mengerti pun belum tentu benar-benar mengerti. Tapi, percayalah, aku sama sekali tidak ada masalah akan hal itu, atas setuju tidaknya dan mengerti tidaknya kalian. Toh, aku sendiri juga tidak yakin bisa menjelaskan maksudnya hehe.

Yang ingin aku katakan adalah, aku ingin menjadi subyek bukan obyek. Aku ingin, aku sendiri yang menentukan dan mengizinkan cinta mana yang akan aku perjuangkan. Aku ingin, aku yang memilih ‘cinta’. Bukan ‘cinta’ yang memilih aku yang kemudian membuatku menjadi takluk pada perasaan itu. Lalu, atas dasar apa aku memilihnya? Atas dasar satu kondisi, aku sudah siap. Tau maksudnya kan? Saat aku sudah siap atas satu hubungan yang serius, apabila saat itu perasaan itu datang padaku entah kepada siapapun itu, aku akan mengiyakan. Aku akan mengizinkannya masuk. Bagaimana aku tahu? Kupikir, seharusnya sih hati kita nggak bebal-bebal amat. Seharusnya, apabila kita bisa merasakan cinta maka intuisi kita masih bisa diandalkan. Dan toh kita juga punya Dia yang memegang takdir. Jadi, aku akan bertaruh padaNya.

Jadi, selama aku belum siap. Aku masih akan menyangkal perasaan itu. Susah? Iya. Aku mengakui kok jatuh cinta tuh kayak ngerasain serpihan surga. Hahaha, lebay sih. Tapi kalian pasti setuju deh soal ini. Dan menyangkal serpihan surga itu terlihat mustahil. Karena di sana kita harus melawan hasrat, menyangkal sesuatu yang sedang membuat kita dalam fase paling bahagia. Menyangkal satu anugrah bernama cinta itu gagasan yang gila. Tapi toh aku bisa, jadi itu tidak mustahil. Berdarah-darah? Iya. Apalagi saat si dia ngasih feedback baik. Itu semacam, kok kamu nggak tau diri banget sih? Hahaha. Tapi kalau kalian mengerti apa yang kupercaya, kurasa kalian juga (harusnya) mengerti keputusanku. Aku sama sekali tidak bermaksud PHP atau apalah istilahnya. Aku juga tidak bermaksud munafik saat dia memberikan kode tapi aku menolaknya padahal di dalam aku suka hehe. Aku sama sekali tidak ada maksud ke sana. Serius. Ini hanya masalah waktu kok. Toh kalau nanti memang ditakdirkan bersama, pada akhirnya, di waktu dan kondisi yang tepat juga akan bersama. Ya, kan? Bukankah (katanya) jodoh kita bahkan sudah dituliskan bahkan sebelum kita lahir? Aku hanya bertaruh pada sang Waktu, kok. Hehe.

Udah, ah. Malah jadi kemana-mana gini. Aku harus menghentikan catatan ini sebelum aku mempermalukan diriku lebih jauh hahaha.

Terakhir, aku tidak punya kriteria lelaki itu harus A, B, C, D… nggak ada. Semua sesederhana komitmen. Dan kurasa hal itu tidak kutemukan dalam pacaran. Seserius apapun sebuah hubungan bernama pacaran bagitu tetap tidak serius. Jadi untuk apa buang-buang waktu?

Eh, tapi mungkin butuh kali ya biar nggak jomblo-jomblo amat pas malam minggu gini? Hahahaha. Bercanda.


Selamat bermalam minggu. ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

any advice?