Tiba-tiba pengen nulis tentang komedian idola satu ini. Aku
pengen bahas dari sisi creative marketing-nya.
Kenapa dari sisi ini? Karena kupikir bagian inilah yang seringkali mis dari
pemahaman orang-orang. Kayak aku awalnya dulu. Hehe.
Pertama tau Raditya Dika adalah dari bukunya yang Kambing
Jantan. Waktu SMA dulu buku ini direkomendasiin temen pas aku kehabisan bacaan.
Aku (dulu) sering gitu, kalo udah kehabisan bacaan suka minta rekomendasi
temen, buku apa nih yang enak buat aku baca? Dulu, masih banyak temen-temen
sekelas yang juga suka baca (selain karena tuntutan resensi 3 buku per semester
di semua semester selama SMA hahaha). Sekarang, karena temen-temen yang suka
baca udah hampir punah—aku pikir-pikir malah nggak ada deh temen di dekave yang
bisa dimintain rekomen buku. Palingan si Abik, kayaknya cuma dia yang pernah
aku liat bawa novel di khalayak ramai. Tapi aku juga belum pernah baca novel
rekomen dari dia. Hehe.
Karena nggak ada yang bisa dimintain rekomen, selain dari
penulis-penulis yang emang udah aku ikutin (Kayak Johnatan Stroud, Dan Brown,
Paulo Coelho, Ayu Utami, dkk) biasanya aku ngecek di goodreads. Di goodreads
biasanya mereka ada semacam diskusi gitu kalo ada buku-buku baru. Cukup
membantu sih buat memutuskan apakah judul itu layak buat dibeli. Atau kalo
nggak gitu, langsung aja ke gramed dan pake feeling hehe. Nah, karena sekarang
ngeceknya di internet, dari sini malah jadi bisa sedikit tahu lebih banyak
tentang penulisnya. Tak terkecuali si Raditya Dika.
Untuk Raditya Dika, aku nggak punya bukunya satu pun hehe.
Bahkan dulu pas lagi ngefans-ngefansnya juga akunya nggak beli buku-bukunya.
Minjem sih seringan. Dan, di sini aku nggak berniat ngebahas ‘hanya’ dari sisi
bukunya. Yang pengen aku bahas lebih ke fenomenanya. Dan tentu saja, menurut
aku hehe.
Mungkin sama dengan kebanyakan orang, aku dulu berpikir, ini
orang mujur banget ya, nulis jurnal konyol di blog, dibukuin, difilmin, eh
sekarang malah jadi fenomenal. Dan selayaknya kebanyakan orang juga, aku ikut
menikmatinya dengan sesederhana menikmati aja. Tapi kemudian perspektif mulai
berubah ketika penulis kelahiran 28 Desember 1984 ini ada di acara Young On Top
MetroTV. Waktu itu, dia ditanyain sama Billy Boen lebih ke penggagas stand up
comedy Indonesia. Dari situ aku tahu bahwa dari tampil perdananya dia sebagai
stand up comedian tidak serta merta hanya berdiri, ngomong, kemudian lucu. Ada
rangkaian hal-hal yang udah dia lakuin hingga akhirnya bisa mencapai ke tahap
itu. Kalo nggak salah, di acara YOT itu dia cerita kalo dia belajar stand up
comedy di Australia dulu pas dia masih kuliah di sana. Setelah dia pelajari itu
kemudian dia bawa coba bawa ke Indonesia dengan segala adaptasinya.
Jadi, untuk
menghasilkan satu sesi joke di stand up comedy perjalanan yang harus dilewati
nggak sederhana. Selain belajar pertama di Australia, Raditya Dika juga perlu
melakukan semacam riset untuk tau dan mengamati fenomena-fenomena apa yang lagi
in di kalangan target audiensnya. Dia olah materi mentah itu, disusun sesuai
dengan susunan jokes ala stand up comedy (ada punchline dll itu), harus tes
materi untuk menyesuaikan waktu dll, baru kemudian di-release.
Kalo untuk bukunya, aku rasa udah ada dimana-mana ya
literasi yang bahas ini. Kalian cek Wikipedia aja juga pasti banyak karena bisa
di bilang ini jadi awal karir dia di dunia komedi negeri ini kan. Jadi aku mau
langsung skip ke creative marketingnya ya.
Creative Marketing
Creative Marketing ini istilahku sendiri sih sebenernya.
Jadi kalo tanya definisi yang bener apa, aku kurang yakin juga. Kalo definisiku
kenapa aku mengistilahkan creative
marketing ya sesederhana karena cara marketingnya kreatif, beda dari yang
lainnya.
Saat ini kita berada di sebuah era yang sangat dinamis. Kalo
Hermawan Kertajaya bilang, ini adalah era dimana Bumi berubah menjadi Venus. Kenapa
begitu? Ingat istilah John Gray, Men Are
From Mars, Women Are From Venus? Istilah ‘Bumi berubah menjadi Venus’ di
sini maksudnya adalah, saat ini kita menghadapi konsumen yang sangat emosional
layaknya ‘penduduk Venus’ a.k.a wanita. Dengan sifat yang emosional inilah tadi
aku bilang dinamis. Untuk menjual sesuatu kita nggak bisa lagi pake cara lama
seperti saat Bumi masih menyerupai Mars dengan data-data statistik dan ukuran
kuantitatif lainnya. Sekarang, kita harus benar-benar keep in touch sama konsumen. Kita coba breakdown sesuai fenomena
Raditya Dika ini ya.
Pertama dari cara dia memarketingkan bukunya. Di bulan-bulan
awal bukunya terbit, penjualan bisa dikatakan lesu. Untuk itu, Raditya Dika
ceri cara gimana meningkatkan penjualan bukunya. Dan yang dia pakai adalah, word of mouth. Dia minta pembeli bukunya
untuk berfoto bersama bukunya dan ngasih testimony. Dari sinilah awal dari apa
yang kita tahu saat ini.
Word of mouth atau
rekomendasi dari temen. Seperti yang aku bilang di awal-awal tadi. Ada juga
tipe pembaca yang sepertiku yang butuh rekomendasi dulu baru memutuskan untuk
membeli atau membaca sebuah buku. Dan rekomendasi dari temen ini biasanya jauh
lebih bisa dipercaya daripada iklan-iklan konvensional yang seringkali bikin
kita jenuh.
Selanjutnya adalah cara dia menjaga hubungan personal dengan
konsumennya. Melalui twitter, youtube, dll. Terakhir (dan juga jadi alasan aku
bikin catatan ini) adalah dia bikin PO BOX khusus untuk menampung kiriman pos
dari fans-fansnya yang pengen mengiriminya sesuatu. Di situ, Radit juga
memberikan ketentuan kalo pengen ngirimi dia, dia pengen yang nggak usah
mahal-mahal dan kalo bisa yang handmade karena sifatnya bakal lebih personal.
Ini dia kata kuncinya, ‘personal’! Radit bener-bener tahu gimana menyikapi para
fansnya. Dia merangkul mereka layaknya sahabat. Ini penting karena bakal bikin
para fansnya loyal. Dan loyalitas ini adalah harga yang sangat mahal karena
dari sanalah kemudian karya-karya Raditya Dika akan ‘diapresiasi’. Istilah
kasarnya, kalo Raditya Dika mengeluarkan produk apapun bisa dipastikan sudah
ada pasarnya, sudah ada ‘umat’ yang siap membeli. Ini keren.
Yang terakhir, pemanfaatan teknologi dan kreativitas. Kreativitas,
jelas. Kurasa nggak perlu diragukan lagi, Raditya Dika sangat aktif berkarya.
Dari sisi teknologi, dia juga memanfaatkan dengan maksimal. Nggak cuma dari
buku, tapi juga sosmed beserta segala ‘budaya’nya yang lagi hangat saat ini.
Melalui akun-akunnya ini, selain membuat Radit semakin dekat dengan
followernya, juga menjadi media yang sangat efektif untuk mem-buzz karya-karyanya. Buzz marketing, ini sangat penting, adalah semacam mengisukan
sebuah produk sebelum diluncurkan.
Contohnya, di film terbarunya yang akan tayang lebaran
nanti, Koala Kumal. Raditya Dika men-vlog-kan proses pembuatan film ini di
channel youtube-nya. Hal ini membuat para followernya merasa diikutsertakan
dalam proses pembuatan film ini dan imbasnya mereka jadi nunggu-nunggu, gimana
ya hasilnya entar? Ini semacam cara marketingnya film-film Amerika. Mari ambil
contoh yang paling terakhir, Civil War. Sebelum film ini di-release, dari
jauh-jauh hari udah diisu’in banget-banget. Mulai dari sesederhana news, teaser, trailer, sampe ke
akun Marvel yang nanyain “ada di pihak mana kalian?” ini kan udah kayak
menggelitik para calon penontonnya, “duh, bakal gimana ya ntar filmnya?” Nah,
dari Buzz Marketing inilah kemudian bikin
kita nunggu-nunggu yang bisa dipastikan juga bakal nonton. Belum selesai di
situ, setelah nonton, karena kita merasakan pengalaman emosional (ingat
penduduk Venus?) maka secara otomatis kita akan cerita ke temen-temen (word of mouth), begitu meyakinkan kita
bercerita, kemudian membuat temen kita itu akhirnya nonton juga. Begitu
seterusnya. Bisa dilihat persamaannya?
TAPI, selain strategi itu semua, tentu yang paling penting
adalah kualitas dari karya itu sendiri. Seperti yang aku bilang terakhiran,
untuk bisa bikin word of mouth ini berjalan
dengan baik maka para penikmatnya harus merasakan pengalaman emosional yang
membuat dia merasa harus bercerita ke orang lain. Di sini yang penting,
kualitas!
Mis-ekspektasi
Aku selalu mis-ekpektasi kalau nonton filmnya Raditya Dika.
Dari semua film-film dia, sesukses apapun itu, yang aku tonton di bioskop cuma
satu dan aku lupa apaan. Cinta Brontosaurus kalo nggak salah. Kenapa? Karena
(dulu) aku selalu beranggapan, “Ah, nggak selucu kalo dia stand up comedy.” Aku udah underestimate
duluan. Di sinilah salahnya aku. Ekspektasiku adalah lucu, dan kurasa wajar
mengingat brand image dia sebagai comedian.
Karena udah kecewa duluan ini aku jadi nggak bisa menangkap hal spesial lainnya
dari filmnya Raditya Dika. Sampai semalem aku
nonton Malam Minggu Miko Movie.
Aku baru sadar, oke mungkin emang nggak selucu kalo Radit Stand Up
Comedy. Tetep lucu, hanya saja ‘nggak selucu’ yang diekspektasikan. Di sinilah
jahatnya aku, aku memberikan standar kelucuan yang tinggi khususu untuk Raditya
Dika. Padahal kalau dilihat sama rata dengan film-film Indonesia lainnya,
harusnya film Radit ini termasuk lucu juga.
Nah, saat semalem akhirnya nonton tanpa ekspektasi apapun
selain ya nonton aja buat nemenin makan malam, aku menangkap hal yang berbeda.
Pembangunan ceritanya bagus banget. Pesan moralnya dapet banget. Bagus deh
pokoknya. Dan setelah kemudian diinget-inget ke film-film dia lainnya, ternyata
aku selama ini mis. Cara Raditya Dika menyusun cerita itu keren. Dengan
pembawaan yang sederhana namun twist-twist di akhir yang kemudian bikin melekat
di benak penontonnya. Istilahnya, kalo kita nonton di bioskop, ada yang dibawa
pulang. Dan itu keren. Next, mungkin mau coba nonton Koala Kumal. Kita liat aja
gimana jadinya.
Salut buat Raditya Dika.
Kalau begitu kamu harus baca Cinta Tak Pernah Tepat Waktu-nya Phutut EA, mungkin di beberapa bagian, dan aku pikir cukup di beberapa bagian saja, kamu akan tersentil mba, hahaha
BalasHapusApa jangan-jangan, kamu sudah baca ya mba....
HapusHahahaha.. husnudzon amat, Bik? Belum baca aku. Bagus, Bik? Melow banget nggak? Bukunya Phutut EA yang aku punya dan udah aku baca cuma yang kumcer yang judulnya Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali (kalo nggak salah)..
Hapus