Selasa, 24 Mei 2016

Creative Marketing ala Raditya Dika

Tiba-tiba pengen nulis tentang komedian idola satu ini. Aku pengen bahas dari sisi creative marketing-nya. Kenapa dari sisi ini? Karena kupikir bagian inilah yang seringkali mis dari pemahaman orang-orang. Kayak aku awalnya dulu. Hehe.

Pertama tau Raditya Dika adalah dari bukunya yang Kambing Jantan. Waktu SMA dulu buku ini direkomendasiin temen pas aku kehabisan bacaan. Aku (dulu) sering gitu, kalo udah kehabisan bacaan suka minta rekomendasi temen, buku apa nih yang enak buat aku baca? Dulu, masih banyak temen-temen sekelas yang juga suka baca (selain karena tuntutan resensi 3 buku per semester di semua semester selama SMA hahaha). Sekarang, karena temen-temen yang suka baca udah hampir punah—aku pikir-pikir malah nggak ada deh temen di dekave yang bisa dimintain rekomen buku. Palingan si Abik, kayaknya cuma dia yang pernah aku liat bawa novel di khalayak ramai. Tapi aku juga belum pernah baca novel rekomen dari dia. Hehe.

Karena nggak ada yang bisa dimintain rekomen, selain dari penulis-penulis yang emang udah aku ikutin (Kayak Johnatan Stroud, Dan Brown, Paulo Coelho, Ayu Utami, dkk) biasanya aku ngecek di goodreads. Di goodreads biasanya mereka ada semacam diskusi gitu kalo ada buku-buku baru. Cukup membantu sih buat memutuskan apakah judul itu layak buat dibeli. Atau kalo nggak gitu, langsung aja ke gramed dan pake feeling hehe. Nah, karena sekarang ngeceknya di internet, dari sini malah jadi bisa sedikit tahu lebih banyak tentang penulisnya. Tak terkecuali si Raditya Dika.

Untuk Raditya Dika, aku nggak punya bukunya satu pun hehe. Bahkan dulu pas lagi ngefans-ngefansnya juga akunya nggak beli buku-bukunya. Minjem sih seringan. Dan, di sini aku nggak berniat ngebahas ‘hanya’ dari sisi bukunya. Yang pengen aku bahas lebih ke fenomenanya. Dan tentu saja, menurut aku hehe.

Mungkin sama dengan kebanyakan orang, aku dulu berpikir, ini orang mujur banget ya, nulis jurnal konyol di blog, dibukuin, difilmin, eh sekarang malah jadi fenomenal. Dan selayaknya kebanyakan orang juga, aku ikut menikmatinya dengan sesederhana menikmati aja. Tapi kemudian perspektif mulai berubah ketika penulis kelahiran 28 Desember 1984 ini ada di acara Young On Top MetroTV. Waktu itu, dia ditanyain sama Billy Boen lebih ke penggagas stand up comedy Indonesia. Dari situ aku tahu bahwa dari tampil perdananya dia sebagai stand up comedian tidak serta merta hanya berdiri, ngomong, kemudian lucu. Ada rangkaian hal-hal yang udah dia lakuin hingga akhirnya bisa mencapai ke tahap itu. Kalo nggak salah, di acara YOT itu dia cerita kalo dia belajar stand up comedy di Australia dulu pas dia masih kuliah di sana. Setelah dia pelajari itu kemudian dia bawa coba bawa ke Indonesia dengan segala adaptasinya.

 Jadi, untuk menghasilkan satu sesi joke di stand up comedy perjalanan yang harus dilewati nggak sederhana. Selain belajar pertama di Australia, Raditya Dika juga perlu melakukan semacam riset untuk tau dan mengamati fenomena-fenomena apa yang lagi in di kalangan target audiensnya. Dia olah materi mentah itu, disusun sesuai dengan susunan jokes ala stand up comedy (ada punchline dll itu), harus tes materi untuk menyesuaikan waktu dll, baru kemudian di-release.

Kalo untuk bukunya, aku rasa udah ada dimana-mana ya literasi yang bahas ini. Kalian cek Wikipedia aja juga pasti banyak karena bisa di bilang ini jadi awal karir dia di dunia komedi negeri ini kan. Jadi aku mau langsung skip ke creative marketingnya ya.

Creative Marketing

Creative Marketing ini istilahku sendiri sih sebenernya. Jadi kalo tanya definisi yang bener apa, aku kurang yakin juga. Kalo definisiku kenapa aku mengistilahkan creative marketing ya sesederhana karena cara marketingnya kreatif, beda dari yang lainnya.

Saat ini kita berada di sebuah era yang sangat dinamis. Kalo Hermawan Kertajaya bilang, ini adalah era dimana Bumi berubah menjadi Venus. Kenapa begitu? Ingat istilah John Gray, Men Are From Mars, Women Are From Venus? Istilah ‘Bumi berubah menjadi Venus’ di sini maksudnya adalah, saat ini kita menghadapi konsumen yang sangat emosional layaknya ‘penduduk Venus’ a.k.a wanita. Dengan sifat yang emosional inilah tadi aku bilang dinamis. Untuk menjual sesuatu kita nggak bisa lagi pake cara lama seperti saat Bumi masih menyerupai Mars dengan data-data statistik dan ukuran kuantitatif lainnya. Sekarang, kita harus benar-benar keep in touch sama konsumen. Kita coba breakdown sesuai fenomena Raditya Dika ini ya.

Pertama dari cara dia memarketingkan bukunya. Di bulan-bulan awal bukunya terbit, penjualan bisa dikatakan lesu. Untuk itu, Raditya Dika ceri cara gimana meningkatkan penjualan bukunya. Dan yang dia pakai adalah, word of mouth. Dia minta pembeli bukunya untuk berfoto bersama bukunya dan ngasih testimony. Dari sinilah awal dari apa yang kita tahu saat ini.

Word of mouth atau rekomendasi dari temen. Seperti yang aku bilang di awal-awal tadi. Ada juga tipe pembaca yang sepertiku yang butuh rekomendasi dulu baru memutuskan untuk membeli atau membaca sebuah buku. Dan rekomendasi dari temen ini biasanya jauh lebih bisa dipercaya daripada iklan-iklan konvensional yang seringkali bikin kita jenuh.

Selanjutnya adalah cara dia menjaga hubungan personal dengan konsumennya. Melalui twitter, youtube, dll. Terakhir (dan juga jadi alasan aku bikin catatan ini) adalah dia bikin PO BOX khusus untuk menampung kiriman pos dari fans-fansnya yang pengen mengiriminya sesuatu. Di situ, Radit juga memberikan ketentuan kalo pengen ngirimi dia, dia pengen yang nggak usah mahal-mahal dan kalo bisa yang handmade karena sifatnya bakal lebih personal. Ini dia kata kuncinya, ‘personal’! Radit bener-bener tahu gimana menyikapi para fansnya. Dia merangkul mereka layaknya sahabat. Ini penting karena bakal bikin para fansnya loyal. Dan loyalitas ini adalah harga yang sangat mahal karena dari sanalah kemudian karya-karya Raditya Dika akan ‘diapresiasi’. Istilah kasarnya, kalo Raditya Dika mengeluarkan produk apapun bisa dipastikan sudah ada pasarnya, sudah ada ‘umat’ yang siap membeli. Ini keren.

Yang terakhir, pemanfaatan teknologi dan kreativitas. Kreativitas, jelas. Kurasa nggak perlu diragukan lagi, Raditya Dika sangat aktif berkarya. Dari sisi teknologi, dia juga memanfaatkan dengan maksimal. Nggak cuma dari buku, tapi juga sosmed beserta segala ‘budaya’nya yang lagi hangat saat ini. Melalui akun-akunnya ini, selain membuat Radit semakin dekat dengan followernya, juga menjadi media yang sangat efektif untuk  mem-buzz karya-karyanya. Buzz marketing, ini sangat penting, adalah semacam mengisukan sebuah produk sebelum diluncurkan.

Contohnya, di film terbarunya yang akan tayang lebaran nanti, Koala Kumal. Raditya Dika men-vlog-kan proses pembuatan film ini di channel youtube-nya. Hal ini membuat para followernya merasa diikutsertakan dalam proses pembuatan film ini dan imbasnya mereka jadi nunggu-nunggu, gimana ya hasilnya entar? Ini semacam cara marketingnya film-film Amerika. Mari ambil contoh yang paling terakhir, Civil War. Sebelum film ini di-release, dari jauh-jauh hari udah diisu’in banget-banget. Mulai dari sesederhana news, teaser, trailer, sampe ke akun Marvel yang nanyain “ada di pihak mana kalian?” ini kan udah kayak menggelitik para calon penontonnya, “duh, bakal gimana ya ntar filmnya?” Nah, dari Buzz Marketing inilah kemudian bikin kita nunggu-nunggu yang bisa dipastikan juga bakal nonton. Belum selesai di situ, setelah nonton, karena kita merasakan pengalaman emosional (ingat penduduk Venus?) maka secara otomatis kita akan cerita ke temen-temen (word of mouth), begitu meyakinkan kita bercerita, kemudian membuat temen kita itu akhirnya nonton juga. Begitu seterusnya. Bisa dilihat persamaannya?

TAPI, selain strategi itu semua, tentu yang paling penting adalah kualitas dari karya itu sendiri. Seperti yang aku bilang terakhiran, untuk bisa bikin word of mouth ini berjalan dengan baik maka para penikmatnya harus merasakan pengalaman emosional yang membuat dia merasa harus bercerita ke orang lain. Di sini yang penting, kualitas!

Mis-ekspektasi

Aku selalu mis-ekpektasi kalau nonton filmnya Raditya Dika. Dari semua film-film dia, sesukses apapun itu, yang aku tonton di bioskop cuma satu dan aku lupa apaan. Cinta Brontosaurus kalo nggak salah. Kenapa? Karena (dulu) aku selalu beranggapan, “Ah, nggak selucu kalo dia stand up comedy.” Aku udah underestimate duluan. Di sinilah salahnya aku. Ekspektasiku adalah lucu, dan kurasa wajar mengingat brand image dia sebagai comedian. Karena udah kecewa duluan ini aku jadi nggak bisa menangkap hal spesial lainnya dari filmnya Raditya Dika. Sampai semalem aku  nonton Malam Minggu Miko Movie.  Aku baru sadar, oke mungkin emang nggak selucu kalo Radit Stand Up Comedy. Tetep lucu, hanya saja ‘nggak selucu’ yang diekspektasikan. Di sinilah jahatnya aku, aku memberikan standar kelucuan yang tinggi khususu untuk Raditya Dika. Padahal kalau dilihat sama rata dengan film-film Indonesia lainnya, harusnya film Radit ini termasuk lucu juga.

Nah, saat semalem akhirnya nonton tanpa ekspektasi apapun selain ya nonton aja buat nemenin makan malam, aku menangkap hal yang berbeda. Pembangunan ceritanya bagus banget. Pesan moralnya dapet banget. Bagus deh pokoknya. Dan setelah kemudian diinget-inget ke film-film dia lainnya, ternyata aku selama ini mis. Cara Raditya Dika menyusun cerita itu keren. Dengan pembawaan yang sederhana namun twist-twist di akhir yang kemudian bikin melekat di benak penontonnya. Istilahnya, kalo kita nonton di bioskop, ada yang dibawa pulang. Dan itu keren. Next, mungkin mau coba nonton Koala Kumal. Kita liat aja gimana jadinya.

Salut buat Raditya Dika.

3 komentar:

  1. Kalau begitu kamu harus baca Cinta Tak Pernah Tepat Waktu-nya Phutut EA, mungkin di beberapa bagian, dan aku pikir cukup di beberapa bagian saja, kamu akan tersentil mba, hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apa jangan-jangan, kamu sudah baca ya mba....

      Hapus
    2. Hahahaha.. husnudzon amat, Bik? Belum baca aku. Bagus, Bik? Melow banget nggak? Bukunya Phutut EA yang aku punya dan udah aku baca cuma yang kumcer yang judulnya Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali (kalo nggak salah)..

      Hapus

any advice?