Kamis, 07 April 2016

Resign

Akhirnya resign. Yang paling nggak enak dari resign adalah saat harus menerima pertanyaan dari orang-orang, “kenapa resign?”. Resignku yang sebelumnya (waktu di Playground) sih nggak terlalu masalah. Karena emang nggak ada alasan serius waktu itu. Toh aku juga cuma part timer. Meskipun sebenarnya, bukan pada serius tidaknya masalah tapi lebih kepada penjelasannya.

Aku orang yang teramat sangat malas menjelaskan. Toh mayoritas spesies kita cuma tertarik pada ceritanya (yang palingan diakhiri dengan, “Ooh”) nggak benar-benar peduli. Makanya, untuk kali ini aku lebih suka menjawab dengan, “Iya, sibuk TA soalnya. Hehe”. Tapi beberapa orang yang tau (termasuk bos besarku), menyayangkan keputusanku. Meskipun tetap mencoba mengerti. Dan aku berterima kasih akan itu. Orang-orang di sana lebih suka bukan aku yang keluar tapi seseorang yang lain. Tapi aku malas memperkeruh suasana. Jadi ya udah biarin aja.

Kupikir ini yang terbaik. Maksudku, dengan aku yang keluar dan dia yang bertahan semoga Bos Besar bisa mengubah attitude-nya. Setidaknya, jika nanti ada orang lain yang bekerja sama dengannya orang itu akan lebih mudah. Karena harus kuakui, aku gagal. Sebelum aku bekerja sama dengannya, aku mendapat masukan dari beberapa orang yang lebih tau. Kurasa aku akan bisa menghadapi sifatnya dan toh memang aku bisa bertahan cukup lama sebelum akhirnya masalah mulai membesar dan tidak terkendali. Tapi itu masih belum yang terburuk. Yang terburuk adalah saat dia melemparkan semua masalah itu padaku. Menuduh macam-macam, marah-marah di depan orang-orang waktu rapat, dan nggak terhitung lagi cekcok di WA karena masalah sepele. Saat itu, kurasa aku sudah cukup. Nggak ada alasan lagi untukku tetap ada di sana (selama ada dia).

Kau boleh menyebutku tukang kabur (dari masalah) tapi aku benar-benar udah lelah. Lagipula, aku harus mengejar TA yang keteteran parah gara-gara masalah nggak penting ini. Aku bukannya tidak mau berusaha memperbaiki segalanya. I tried. Serius. Tapi mungkin memang harus begini dulu baru dia mau mendengarkan. Bisa mendengar aja aku udah bersyukur kok karena itu aja teramat sulit untuknya. Lagipula, kenapa harus aku yang memperbaiki sementara dia tidak ada keinginan sama sekali untuk membuat segalanya lebih baik?

Ini yang kedua dan terparah. Sebelumnya aku pernah juga ada di posisi ini. Bedanya, sebelumnya aku punya tim. Ah, terlalu banyak yang harus dikeluhkan kalau aku memang mau. Teramat banyak. Tapi untuk apa? Toh akhirnya, entah bagaimana, aku lagi yang salah. Aku sama sekali tidak mengerti. Sama sekali. Puncak cekcoknya pas aku di Surabaya. Dia tiba-tiba ngeBBM dan nuduh macam-macam. Apasih!

Pertanyaan terbesarku adalah, “Kenapa harus selalu berakhir begini? KE-NA-PA?” Apa sebegitu susahnya untuk mengakhiri secara baik-baik? Apa sesusah itu untuk menyelesaikan dulu segalanya dan kita sudahi secara professional?


Sudahlah, aku capek. Buat sekarang aku mau kerja sendiri dulu. Meskipun entah darimana aku akan bisa menghidupi diriku tapi setidaknya nggak ‘capek’. 

2 komentar:

any advice?