Kalian tahu, dari data terakhir,
saat ini harta 85 orang terkaya dunia setara dengan harta 3.5 miliar penghuni
bumi termiskin yang dikumpulkan jadi satu. Gokil, yah?
Aku bukan orang ekonomi. Dulu
waktu SMA juga ambilnya IPA, sekarang kuliah malah “nyasar” ke desain. Tapi aku
selalu suka bahasan tentang ekonomi, bisnis, politik, lingkungan, dsb, dsb.
Banyak paradoks di situ, kontradiksi, intrik, dsb, dsb. Semacam membuktikan
alangkah “lucunya” spesies kita.
Di ekonomi, ada istilah trickle-down economics. Itu, kira-kira
ngomong kalo kekayaan itu menetes ke bawah. Istilahnya, semakin orang-orang
kaya diperkaya maka semakin meningkat juga “kekayaan” orang-orang miskin. Teori
ini eksis, popular, dan jadi inspirasi para presiden, pejabat, perdana menteri
dan orang-orang pemegang kekuasaan tertinggi selama 30 tahun terakhir. Tapi ternyata sekarang teori itu ambyar.
Beberapa petinggi IMF terakhir ngasih release bilang kalo kekayaan sama sekali
nggak menetes ke bawah. Ternyata, semakin kebijakan pengurangan pajak,
mempermudah deregulasi, dll diterapkan ke orang-orang kaya ya kekayaan mampet
di mereka aja. Akhirnya yang ada justru jurang kesenjangan sosial yang semakin
lebar. Sebaliknya, saat orang-orang miskin dipermudah ekonominya (diperkaya)
maka ekonomi nasional akan semakin meningkat.
Kalo dari novel “Negeri Para
Bedebah” bilang dunia ini dikuasai oleh 0.2 persen orang-orang yang super kaya.
Yap, cuma 0.2 persen. Aku setuju. Aku sendiri punya teori, Kalo kita ingin liat
“kelucuan” manusia yang sesungguhnya, mari kita pergi ke kota-kota besar dan
buka mata kita di sana. Lihat bagaimana, kardus dan tripleks bekas bisa menjadi
sebuah hal yang disebut rumah dengan di sisi lain, sebuah ruangan luas, mewah,
dengan dinding-dinding cermin besar, ber-AC, dan wangi hanya disebut sebagai
kamar mandi. Bagi seseorang, mengeluarkan uang sepuluh atau dua puluh juta
untuk secuil tas bermerek mungkin bukan sesuatu yang heboh tapi bagi seseorang
yang lain mendapatkan uang 15 ribu buat makan 3 atau 4 perut dalam sehari itu
bisa jadi sebuah perjuangan memeras keringat yang amat sangat. Klise? Ya.
Lagi, lihat di sana,
gedung-gedung menjulang tinggi. Apartemen dan hotel-hotel dengan fasilitas WOW.
Kamar seluas lapangan basket yang cuma dihuni satu orang aja. Sedangkan di
bawahnya di bantaran sungai yang bau dan kotor ada tumpukan tripleks, seng, dan
kardus tempat entah berapa kepala bertahan hidup. Klise lagi? Jelas. Padahal
sejak Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia disahkan tahun 1948, kepemilikan
rumah yang layak diakui sebagai sebuah komponen penting dalam kehidupan
manusia. Tapi, ah, persetan dengan seperti itu. Asal hari ini masih bisa tidur
lelap dengan perut terisi beberapa suap nasi, everything’s gonna be alright.
Kurasa hal-hal semacam kesenjangan
sosial seperti ini sudah menjadi masalah klasik dunia sejak entah berapa ratus
tahun yang lalu. Yup, dunia. Bukan cuma Indonesia aja. Kalian bisa googling
untuk hal ini. Banyak artikel yang membahas beginian berserakan di sana. “Lucu”
ya spesies kita? Tapi kurasa hal seperti itu masih bisa diterima logikaku
(dengan beberapa pembenaran yang kadang cukup dipaksakan). Istilahnya gini,
kita nggak bisa kan secara otomatis menganggap si kaya salah dan si miskin
adalah korban. Nggak. Karena sering aku lihat mereka para orang-orang kaya
(yang baik) mendapatkan apa yang mereka miliki sekarang ya karena kerja keras
mereka. Begitu pun sebaliknya, mereka si Miskin mendapatkan keadaan mereka
sekarang juga karena apa yang mereka lakukan. Mudahnya begini, si Kaya kerja
hampir 24 jam sehari. Loncat sana-sini, memeras otak, kurang tidur dan lain
sebagainya, maka mereka cukup worth dong
mendapatkan hak mereka. Sama halnya dengan si Miskin yang katakanlah baru mulai
kerja udah siang, saat kerja santai-santai aja, bahkan sempet tidur siang,
kemudian pulang sore. Dan malam udah bisa nangkring di depan tv pos ronda
dengan kopi murahan dalam gelas hadiah sabun. Maka wajar dong mereka (yang
begini) mendapatkan “hak” mereka. Ya, kan? Untuk hal seperti ini, kurasa masih
bisa masuk logika. Tapi teori ini gugur dan jelas tidak berlaku bagi mereka si
Kaya yang hura-hura menikmati kekayaannya karena meraup “hak” si Miskin. Tahu
kan maksudku? Yap, koruptor. Logika apapun kurasa nggak akan masuk untuk
memahami cara berpikir spesies satu ini. Dan sayangnya, dunia ini berjejal
spesies-spesies tidak tahu diri ini. Seakan data statistik si Kaya dan si
Miskin kurang dramatis saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
any advice?