Senin, 26 Oktober 2015

Alangkah Lucunya Spesies Kita




Kalian tahu, dari data terakhir, saat ini harta 85 orang terkaya dunia setara dengan harta 3.5 miliar penghuni bumi termiskin yang dikumpulkan jadi satu. Gokil, yah?

Aku bukan orang ekonomi. Dulu waktu SMA juga ambilnya IPA, sekarang kuliah malah “nyasar” ke desain. Tapi aku selalu suka bahasan tentang ekonomi, bisnis, politik, lingkungan, dsb, dsb. Banyak paradoks di situ, kontradiksi, intrik, dsb, dsb. Semacam membuktikan alangkah “lucunya” spesies kita.

Di ekonomi, ada istilah trickle-down economics. Itu, kira-kira ngomong kalo kekayaan itu menetes ke bawah. Istilahnya, semakin orang-orang kaya diperkaya maka semakin meningkat juga “kekayaan” orang-orang miskin. Teori ini eksis, popular, dan jadi inspirasi para presiden, pejabat, perdana menteri dan orang-orang pemegang kekuasaan tertinggi selama 30 tahun terakhir.  Tapi ternyata sekarang teori itu ambyar. Beberapa petinggi IMF terakhir ngasih release bilang kalo kekayaan sama sekali nggak menetes ke bawah. Ternyata, semakin kebijakan pengurangan pajak, mempermudah deregulasi, dll diterapkan ke orang-orang kaya ya kekayaan mampet di mereka aja. Akhirnya yang ada justru jurang kesenjangan sosial yang semakin lebar. Sebaliknya, saat orang-orang miskin dipermudah ekonominya (diperkaya) maka ekonomi nasional akan semakin meningkat.

Kalo dari novel “Negeri Para Bedebah” bilang dunia ini dikuasai oleh 0.2 persen orang-orang yang super kaya. Yap, cuma 0.2 persen. Aku setuju. Aku sendiri punya teori, Kalo kita ingin liat “kelucuan” manusia yang sesungguhnya, mari kita pergi ke kota-kota besar dan buka mata kita di sana. Lihat bagaimana, kardus dan tripleks bekas bisa menjadi sebuah hal yang disebut rumah dengan di sisi lain, sebuah ruangan luas, mewah, dengan dinding-dinding cermin besar, ber-AC, dan wangi hanya disebut sebagai kamar mandi. Bagi seseorang, mengeluarkan uang sepuluh atau dua puluh juta untuk secuil tas bermerek mungkin bukan sesuatu yang heboh tapi bagi seseorang yang lain mendapatkan uang 15 ribu buat makan 3 atau 4 perut dalam sehari itu bisa jadi sebuah perjuangan memeras keringat yang amat sangat. Klise? Ya.

Lagi, lihat di sana, gedung-gedung menjulang tinggi. Apartemen dan hotel-hotel dengan fasilitas WOW. Kamar seluas lapangan basket yang cuma dihuni satu orang aja. Sedangkan di bawahnya di bantaran sungai yang bau dan kotor ada tumpukan tripleks, seng, dan kardus tempat entah berapa kepala bertahan hidup. Klise lagi? Jelas. Padahal sejak Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia disahkan tahun 1948, kepemilikan rumah yang layak diakui sebagai sebuah komponen penting dalam kehidupan manusia. Tapi, ah, persetan dengan seperti itu. Asal hari ini masih bisa tidur lelap dengan perut terisi beberapa suap nasi, everything’s gonna be alright.

Kurasa hal-hal semacam kesenjangan sosial seperti ini sudah menjadi masalah klasik dunia sejak entah berapa ratus tahun yang lalu. Yup, dunia. Bukan cuma Indonesia aja. Kalian bisa googling untuk hal ini. Banyak artikel yang membahas beginian berserakan di sana. “Lucu” ya spesies kita? Tapi kurasa hal seperti itu masih bisa diterima logikaku (dengan beberapa pembenaran yang kadang cukup dipaksakan). Istilahnya gini, kita nggak bisa kan secara otomatis menganggap si kaya salah dan si miskin adalah korban. Nggak. Karena sering aku lihat mereka para orang-orang kaya (yang baik) mendapatkan apa yang mereka miliki sekarang ya karena kerja keras mereka. Begitu pun sebaliknya, mereka si Miskin mendapatkan keadaan mereka sekarang juga karena apa yang mereka lakukan. Mudahnya begini, si Kaya kerja hampir 24 jam sehari. Loncat sana-sini, memeras otak, kurang tidur dan lain sebagainya, maka mereka cukup worth dong mendapatkan hak mereka. Sama halnya dengan si Miskin yang katakanlah baru mulai kerja udah siang, saat kerja santai-santai aja, bahkan sempet tidur siang, kemudian pulang sore. Dan malam udah bisa nangkring di depan tv pos ronda dengan kopi murahan dalam gelas hadiah sabun. Maka wajar dong mereka (yang begini) mendapatkan “hak” mereka. Ya, kan? Untuk hal seperti ini, kurasa masih bisa masuk logika. Tapi teori ini gugur dan jelas tidak berlaku bagi mereka si Kaya yang hura-hura menikmati kekayaannya karena meraup “hak” si Miskin. Tahu kan maksudku? Yap, koruptor. Logika apapun kurasa nggak akan masuk untuk memahami cara berpikir spesies satu ini. Dan sayangnya, dunia ini berjejal spesies-spesies tidak tahu diri ini. Seakan data statistik si Kaya dan si Miskin kurang dramatis saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

any advice?