Kenapa ya, jam-jam segini rentan
banget buat galau? Waktu yang sebenernya pas banget buat “curhat” sama Tuhan.
Tapi sial, aku lagi mens. Yaudah deh, nyampah di sini aja. Buat kalian yang
nyasar ke sini, free advice nih,
mendingan buruan cabut deh. Ini agak personal dan menurutku bakal jadi nggak
penting banget buat dibaca. Seperti biasa, cuma pengen nulis aja.
Jam-jam segini kalo buat aku,
kalau masih melek, bakal jadi waktu yang asik banget buat membebaskan pikiran
melayang kemana-mana. Imbasnya jadi banyak hal saling bertabrakan.
Jangan-jangan para filsuf pada bikin teori filsafatnya jam-jam segini ya? Who knows kan? Seperti si Sigmund Freud
dengan The Interpretation of Dream-nya?
Jangan-jangan dia kebangun gegara kebelet pipis terus nggak bisa balik tidur
lagi! Ya kayak kita-kita gitu deh. Bedanya, dia bisa melahirkan teori sedangkan
aku cukup dengan nunggu beberapa menit ngelamun sampe ketiduran lagi.
Oh, aku bukan mau ngomongin
filsafat sih. Nggak mungkin bisa kayaknya. Belom ding. Belom nyampe ke sanalah
kalo sekarang mah. Tau deh kalo udah tuwir dan bercucu entar? Mungkin aku akan
punya pandangan yang lebih asik tentang hidup ini. Tentang bagaimana segalanya
berjalan? Siapa tahu.
Tentang segala hal yang
bertabrakan, aku jadi ingin tahu apakah cuma aku doang atau sebenernya wajar
kalau jam segini emang waktunya begini. Tau kan maksudku? Tentang memikirkan
banyak hal.
Munafik.
Nggak tahu kenapa, akhir-akhir ini
kata ini muncul lagi di pikiranku. Dan sedikit meminta perhatian sepertinya.
Jadi mungkin catatan kali ini bakal banyak ngomongin seputar itu. Tapi sebelum
kemana-mana, aku ingin menegaskan bahwa, sekali lagi, ini tentang aku. Ya, aku.
Jadi jangan berekspektasi aku akan menyebut merek atau apapun yang kalian
harapkan. Aku sudah bilang di awal tadi, ini catatan agak pribadi. Kalau mau cabut,
kalian tau dimana “pintu keluar”-nya.
Entah kapan mulainya, aku mulai
berhenti menyalahkan orang lain. Kalau ada sesuatu yang salah, koreksi dulu
diri sendiri. Menyalahkan orang lain tidak akan membuat masalah bergerak
kemana-mana. Jika memang mungkin orang lain sangat salah dalam definisiku,
mungkin itu karena keputusan-keputusanku di masa lalu. Sikap-sikap yang kuambil
dan tanpa sengaja berpengaruh pada orang lain. Ini hanya imbasnya. Hanya untuk
membuatku kembali belajar untuk memahami dengan lebih serius dari sebelumnya.
Sebenernya, dengan kembali
aktifnya blog ini sedikit demi sedikit hal tentangku mulai berceceran. Meskipun
ada beberapa yang mungkin selamanya tidak akan aku umbar di sini. Tapi aku
cukup heran juga dengan diriku yang mengizinkan keterbukaan ini. Maksudku, ah
sudahlah. Kita balik lagi aja ke munafik.
Aku tidak tahu apa sebenarnya
definisi munafik. Saat menuliskan itu aku tidak berdasar pada literasi. Nggak
buka KBBI dulu. Jadi, maaf seandainya aku memaksanya masuk dalam definisi
peribadi. Tapi kurasa itu juga bukan urusan kalian.
Mungkin, aku di masa lalu pernah
menjadi orang yang bisa jadi masuk dalam definisi itu. Dulu. Kurasa. Saat kemudian
kupikir aku sudah cukup lepas dari kata itu, aku bisa merasakan bagaimana
jijiknya menghadapi orang munafik. Bagaimana saat temanmu minta pendapatmu dan
di depanmu dia jelas-jelas setuju dan berjanji akan melakukan saranmu karena
menurut pendapatnya ia sejalan dengan pemikiranmu tapi dibelakangmu dia masih
saja melakukan “kesalahannya” bahkan sering disertai dengan nyengir kuda. Tapi
itu seharusnya tidak akan menjadi masalah untukmu selama tidak merugikanmu.
Asal, saat nanti terjadi sesuatu yang merupakan efek dari “kesalahannya”, itu dia
tidak curhat padamu, bukan begitu? Bukan pada temanmu itu inti perumpamaannya
tapi dari perasaanmu saat menghadapinya. Karena menurutku, temanmu itu tidak
salah. Tapi bukan berarti aku menyalahkanmu. Menurutku tidak ada yang salah
juga. Kita hidup mostly dengan
persepsi pribadi kita, kan? Bagaimanapun, kebenaran tidak bisa menjadi tolak
ukur. Karena pada nyatanya dalam kehidupan ini kebenaran hanya milik mereka
yang sepaham dengan pemikiranmu yang tentu saja dalam definisimu itu adalah
benar. Kau bisa menangkap maksudku? Tidak? Sudah kubilang seharusnya kau pergi
saja dari sini sejak tadi.
Kau tahu, itu membuatku berpikir
jangan-jangan begitulah perasaan orang lain dengan tingkah lakuku? Meskipun
untuk sekarang aku gagal mengingat kapan tepatnya aku melakukan semua
kemunafikan seperti itu. Tapi hei, tidak mengingat bukan berarti membenarkan
segalanya kan?
Dan, kupikir munafik itu dekat
sekali dengan pengecut yah? Nah, kalau yang terakhir sepertinya aku bisa masuk.
Aku pengecut dalam banyak hal. Aku terlalu pengecut untuk sekedar mengingatkan
teman yang menurut pendapatku tindakannya salah. Dengan definisiku akan “benar”
kurasa aku terlalu banyak berpikir untuk akhirnya mengambil keputusan itu. Ah,
pembenaran lagi. Bukankah itu juga masuk dalam pengecut? Tidak mau mengakui
keburukan diri? Mungkin. Aku terlalu pengecut untuk bertanya kenapa dia tiba-tiba
berhenti menghubungiku. Meskipun mungkin aku tahu jawabannya. Kau tidak bisa
mengharapkan dia kembali padamu saat kalian berdua tahu hubungan kalian tidak
akan pernah benar, bukan? Tapi itu masa lalu. Sudah tidak ada lagi yang tersisa
dari itu kecuali memori. Itu juga akan menghilang dengan sendirinya. Kurasa aku
cukup bisa membereskan urusan begini. Meskipun tetap saja tanya ini butuh jawab.
Mungkin benar bahwa tidak segala tanya di dunia ini harus disambut jawab
seketika itu juga. Di sini waktu selalu bisa mengambil alih segalanya. Dan
dalam bimbingan waktu juga aku harus tahu kapan sebaiknya memutuskan untuk
berhenti.
Masih banyak lagi yang lain.
Daftarnya bisa sangat panjang kalau kutulis semuanya. Masih terlalu banyak hal
yang harus kuperbaiki dan menjadi lebih baik. Hanya saja seringkali aku tidak
tahu harus bagaimana. Sikap apa yang sebaiknya aku ambil dalam beberapa hal.
Kau tahu, terkadang aku merasa begitu sendiri, dikelilingi begitu banyak
orang-orang munafik berwajah palsu. Tentu saja aku tidak punya hak atas
justifikasi ini. Karena bisa jadi mereka tidak sesalah itu. Mungkin mereka
tidak tahu bahwa sikap mereka itu masuk dalam kategori “salah” menurut
pendapatku. Kalau memang begitu, apa lantas mereka salah begitu saja? Menurutku
tidak. Kita tidak bisa selalu menuntut orang untuk sepaham dengan kita kan?
Mungkin menurut mereka itu adalah
tindakan terbaik yang bisa mereka berikan? Aku tentu tidak bisa memberikan
stempel “salah” atas hal itu. Dalam menjadi lebih bijaksana tentu saja butuh
proses. Bagaimana aku bisa menghargai proses yang tengah orang lain lakukan,
kurasa pun bisa menjadi proses tersendiri untukku.
Hanya saja, seringkali aku merasa
jenuh dengan situasi seperti itu. Dan ini
hanya salah satu pelarian atas “jenuh” itu. Sebatas itu. Karena, sekali lagi,
aku tidak sedang melakukan justifikasi. Pun tidak juga mencari kambing hitam
atas “jenuh” ini. Hanya saja, terlalu banyak berinteraksi dengan orang
membuatku membutuhkan waktu untuk sendiri dulu sebentar. Sebentar saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
any advice?