Senin, 08 Juni 2015

Sebentar Saja



Kenapa ya, jam-jam segini rentan banget buat galau? Waktu yang sebenernya pas banget buat “curhat” sama Tuhan. Tapi sial, aku lagi mens. Yaudah deh, nyampah di sini aja. Buat kalian yang nyasar ke sini, free advice nih, mendingan buruan cabut deh. Ini agak personal dan menurutku bakal jadi nggak penting banget buat dibaca. Seperti biasa, cuma pengen nulis aja.

Jam-jam segini kalo buat aku, kalau masih melek, bakal jadi waktu yang asik banget buat membebaskan pikiran melayang kemana-mana. Imbasnya jadi banyak hal saling bertabrakan. Jangan-jangan para filsuf pada bikin teori filsafatnya jam-jam segini ya? Who knows kan? Seperti si Sigmund Freud dengan The Interpretation of Dream-nya? Jangan-jangan dia kebangun gegara kebelet pipis terus nggak bisa balik tidur lagi! Ya kayak kita-kita gitu deh. Bedanya, dia bisa melahirkan teori sedangkan aku cukup dengan nunggu beberapa menit ngelamun sampe ketiduran lagi.

Oh, aku bukan mau ngomongin filsafat sih. Nggak mungkin bisa kayaknya. Belom ding. Belom nyampe ke sanalah kalo sekarang mah. Tau deh kalo udah tuwir dan bercucu entar? Mungkin aku akan punya pandangan yang lebih asik tentang hidup ini. Tentang bagaimana segalanya berjalan? Siapa tahu.

Tentang segala hal yang bertabrakan, aku jadi ingin tahu apakah cuma aku doang atau sebenernya wajar kalau jam segini emang waktunya begini. Tau kan maksudku? Tentang memikirkan banyak hal.

Munafik.

Nggak tahu kenapa, akhir-akhir ini kata ini muncul lagi di pikiranku. Dan sedikit meminta perhatian sepertinya. Jadi mungkin catatan kali ini bakal banyak ngomongin seputar itu. Tapi sebelum kemana-mana, aku ingin menegaskan bahwa, sekali lagi, ini tentang aku. Ya, aku. Jadi jangan berekspektasi aku akan menyebut merek atau apapun yang kalian harapkan. Aku sudah bilang di awal tadi, ini catatan agak pribadi. Kalau mau cabut, kalian tau dimana “pintu keluar”-nya.

Entah kapan mulainya, aku mulai berhenti menyalahkan orang lain. Kalau ada sesuatu yang salah, koreksi dulu diri sendiri. Menyalahkan orang lain tidak akan membuat masalah bergerak kemana-mana. Jika memang mungkin orang lain sangat salah dalam definisiku, mungkin itu karena keputusan-keputusanku di masa lalu. Sikap-sikap yang kuambil dan tanpa sengaja berpengaruh pada orang lain. Ini hanya imbasnya. Hanya untuk membuatku kembali belajar untuk memahami dengan lebih serius dari sebelumnya.

Sebenernya, dengan kembali aktifnya blog ini sedikit demi sedikit hal tentangku mulai berceceran. Meskipun ada beberapa yang mungkin selamanya tidak akan aku umbar di sini. Tapi aku cukup heran juga dengan diriku yang mengizinkan keterbukaan ini. Maksudku, ah sudahlah. Kita balik lagi aja ke munafik.

Aku tidak tahu apa sebenarnya definisi munafik. Saat menuliskan itu aku tidak berdasar pada literasi. Nggak buka KBBI dulu. Jadi, maaf seandainya aku memaksanya masuk dalam definisi peribadi. Tapi kurasa itu juga bukan urusan kalian.

Mungkin, aku di masa lalu pernah menjadi orang yang bisa jadi masuk dalam definisi itu. Dulu. Kurasa. Saat kemudian kupikir aku sudah cukup lepas dari kata itu, aku bisa merasakan bagaimana jijiknya menghadapi orang munafik. Bagaimana saat temanmu minta pendapatmu dan di depanmu dia jelas-jelas setuju dan berjanji akan melakukan saranmu karena menurut pendapatnya ia sejalan dengan pemikiranmu tapi dibelakangmu dia masih saja melakukan “kesalahannya” bahkan sering disertai dengan nyengir kuda. Tapi itu seharusnya tidak akan menjadi masalah untukmu selama tidak merugikanmu. Asal, saat nanti terjadi sesuatu yang merupakan efek dari “kesalahannya”, itu dia tidak curhat padamu, bukan begitu? Bukan pada temanmu itu inti perumpamaannya tapi dari perasaanmu saat menghadapinya. Karena menurutku, temanmu itu tidak salah. Tapi bukan berarti aku menyalahkanmu. Menurutku tidak ada yang salah juga. Kita hidup mostly dengan persepsi pribadi kita, kan? Bagaimanapun, kebenaran tidak bisa menjadi tolak ukur. Karena pada nyatanya dalam kehidupan ini kebenaran hanya milik mereka yang sepaham dengan pemikiranmu yang tentu saja dalam definisimu itu adalah benar. Kau bisa menangkap maksudku? Tidak? Sudah kubilang seharusnya kau pergi saja dari sini sejak tadi.

Kau tahu, itu membuatku berpikir jangan-jangan begitulah perasaan orang lain dengan tingkah lakuku? Meskipun untuk sekarang aku gagal mengingat kapan tepatnya aku melakukan semua kemunafikan seperti itu. Tapi hei, tidak mengingat bukan berarti membenarkan segalanya kan?

Dan, kupikir munafik itu dekat sekali dengan pengecut yah? Nah, kalau yang terakhir sepertinya aku bisa masuk. Aku pengecut dalam banyak hal. Aku terlalu pengecut untuk sekedar mengingatkan teman yang menurut pendapatku tindakannya salah. Dengan definisiku akan “benar” kurasa aku terlalu banyak berpikir untuk akhirnya mengambil keputusan itu. Ah, pembenaran lagi. Bukankah itu juga masuk dalam pengecut? Tidak mau mengakui keburukan diri? Mungkin. Aku terlalu pengecut untuk bertanya kenapa dia tiba-tiba berhenti menghubungiku. Meskipun mungkin aku tahu jawabannya. Kau tidak bisa mengharapkan dia kembali padamu saat kalian berdua tahu hubungan kalian tidak akan pernah benar, bukan? Tapi itu masa lalu. Sudah tidak ada lagi yang tersisa dari itu kecuali memori. Itu juga akan menghilang dengan sendirinya. Kurasa aku cukup bisa membereskan urusan begini. Meskipun tetap saja tanya ini butuh jawab. Mungkin benar bahwa tidak segala tanya di dunia ini harus disambut jawab seketika itu juga. Di sini waktu selalu bisa mengambil alih segalanya. Dan dalam bimbingan waktu juga aku harus tahu kapan sebaiknya memutuskan untuk berhenti.

Masih banyak lagi yang lain. Daftarnya bisa sangat panjang kalau kutulis semuanya. Masih terlalu banyak hal yang harus kuperbaiki dan menjadi lebih baik. Hanya saja seringkali aku tidak tahu harus bagaimana. Sikap apa yang sebaiknya aku ambil dalam beberapa hal. Kau tahu, terkadang aku merasa begitu sendiri, dikelilingi begitu banyak orang-orang munafik berwajah palsu. Tentu saja aku tidak punya hak atas justifikasi ini. Karena bisa jadi mereka tidak sesalah itu. Mungkin mereka tidak tahu bahwa sikap mereka itu masuk dalam kategori “salah” menurut pendapatku. Kalau memang begitu, apa lantas mereka salah begitu saja? Menurutku tidak. Kita tidak bisa selalu menuntut orang untuk sepaham dengan kita kan? Mungkin menurut mereka itu adalah tindakan terbaik yang bisa mereka berikan? Aku tentu tidak bisa memberikan stempel “salah” atas hal itu. Dalam menjadi lebih bijaksana tentu saja butuh proses. Bagaimana aku bisa menghargai proses yang tengah orang lain lakukan, kurasa pun bisa menjadi proses tersendiri untukku.

Hanya saja, seringkali aku merasa jenuh dengan situasi seperti itu. Dan ini hanya salah satu pelarian atas “jenuh” itu. Sebatas itu. Karena, sekali lagi, aku tidak sedang melakukan justifikasi. Pun tidak juga mencari kambing hitam atas “jenuh” ini. Hanya saja, terlalu banyak berinteraksi dengan orang membuatku membutuhkan waktu untuk sendiri dulu sebentar. Sebentar saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

any advice?