Seri sebelumnya : Eraser#04 - Pemuja Hujan
Kita terlahir di dunia yang terlanjur rusak. Sebuah sistem kacangan namun
serumit benang kusut membalut erat dunia ini. Seakan kita tidak lagi bisa
berbuat sesuatu untuk memberi perbedaan. Orang-orang menghujat kastanisasi tapi
secara naluri kita melakukannya. Ribut sana-sini menyuarakan toleransi dalam
perbedaan tapi dalam komunitas masing-masing saling membicarakan yang lainnya.
Paradoks. Berhenti naif, kita harus sama-sama mengakui selalu ada topeng yang
senantiasa kita pakai untuk menghadapi orang lain, menghadapi dunia sosial. Tertawa,
pura-pura menikmati sebuah acara padahal sebenarnya bosan setengah mati. Tersenyum
menyambut orang baru padahal sebenarnya menilai dari ujung ke ujung sembari
mencari celah dalam titik apa kita lebih tinggi derajatnya dibanding dia. Baiklah,
aku tidak akan serta merta menggeneralisasi. Mungkin memang masih ada
segelintir orang yang setulus nabi. Tapi itu tetap tidak sebanding.
Sama seperti kita sebagai individu, begitu pula dunia ini. Selalu ada
lapisan-lapisan. Selalu ada dualisme. Aku tidak akan menerangkan tentang
dualisme ini. Kuanggap kau mengerti. Kalau pun tidak, itu urusanmu. Seperti siang dan malam, aku mengibaratkan
dunia permukaan sebagai siang, dan dunia bawah sebagai malam. Siang, karena
kita bisa melihat secara kasat mata apa yang terjadi sebagaimana adanya. Baik
ya baik, buruk ya buruk. Bahagia ya terharu, sedih silakan menangis. Bahkan,
hei, dalam dualisme ini pun masih saja terikat dalam paradoks yang sama.
Tangis. Orang bilang air mata dari mata kanan menandakan kita tengah bahagia.
Mata kiri berarti kita sedang dalam penderitaan. Sedangkan keduanya diartikan
kita tengah jatuh dalam kefrustasian. Tapi,
apakah kita sekurang kerjaan itu mengamati dari sisi mana air mata kita jatuh
saat keadaan sudah benar-benar diluar kendali?
Aku tidak. Setidaknya tidak bisa lagi. Aku terlanjur berjanji padanya
untuk tidak lagi menangis. Walaupun dia selalu membuat segalanya sulit untuk
tetap berpegang pada janji konyol itu.
Tentang dualisme. Tentang siang dan malam. Sekarang aku berusaha
mati-matian hidup di keduanya. Aku jungkir balik mengais diriku yang lama untuk
hidup dalam dunia permukaan, dunia orang normal. Tapi di satu sisi, aku bisa
murni menjadi satu pribadi yang sama sekali lain untuk menghadapi dunia bawah
permukaan, dunia malam. Hei, berhenti berpikir menjijikkan. Aku bukan pelacur,
kalau itu yang kau maksud. Silakan ingat kembali tentang perumpamaan malam dan
siang di atas sana.
Menulis. Aku tidak ahli di sini. Basic-ku
desain meskipun akhir-akhir ini aku mengambil online degree politik. Tapi itu tidak terlalu menjelaskan apapun.
Tulisan ini—tidak,
aku lebih suka menyebutnya catatan— catatan ini ada bukan karena aku ingin.
Kalau bisa memilih, aku lebih suka tidak ada saja karena ada berarti banyak
hal. Ah, paradoks lagi.
Pernahkah
kalian merasa begitu sesak, begitu ingin berbagi sedikit saja, menceritakan
sedikit saja masalah kalian kepada siapapun yang sudi mendengar? Mungkin
sekarang aku ada di titik itu. Hanya saja, tanpa kewenangan untuk bisa
menceritakan semua ini kepada semua atau pun seseorang. Seperti yang kubilang
dulu, keberadaannya terlalu tabu untuk menggelitik keingintahuan orang. Ini
pelarianku. Mencuri akun dan password orang dan menggunakannya untuk
keegoisanku. Jadi, sejauh ini kurasa akan tetap begini. Biarkan aku sedikit
bercerita kepada kalian, siapapun. Maaf kalau harus menyamarkan semua nama.
Tapi aku tidak akan meminta maaf atas frekuensi menulisku yang seenaknya. Sudah
kukatakan, ini tidak mudah dan kehidupanku yang sekarang sudah berbeda. Aku
harus mencari celah diantaranya untuk bisa satu atau dua jam menulis di sini.
Jangan tanya kenapa aku tidak menyerah saja karena aku, kurasa, butuh sedikit
pelarian ini. Kuharap dia tidak akan tahu. Seperti dia yang tidak membiarkanku
tahu lebih banyak.
*
Aku diam selama di mobilnya. Entahlah mau dibawa kemana. Badanku mulai
menggigil karena basah tapi aku mati-matian bersikap seolah baik-baik saja.
Gila? Sebut saja begitu. Lagipula semua sudah terlanjur menjadi terlalu gila sejak aku bertemu dengannya.
Sejauh ini anak-anak kosku yang apatis itu tidak tahu perihal “jengukan” polisi
ke kos kami weekend lalu. Tapi tetap
saja belum ada yang bisa dibilang normal. Pertama, tentang dia yang tiba-tiba
bisa muncul di kosku dengan berdarah-darah, menyekapku, dan “memaksa” aku untuk
akhirnya “menolong”nya. Baru bernapas sebentar, setelah kukira semua kembali
normal lagi, aku dihadapkan pada pembunuhan mantan calon bosku di depan mataku!
Dan itu semua dilakukan oleh orang yang sama! Bodohnya, sekarang aku di sini,
di dalam mobilnya. Menurut patuh begitu saja seperti sapi yang dipacok
hidungnya. Ya Tuhan, kami bahkan belum berkenalan secara resmi! Entah dunia ini
yang gila atau aku yang terlalu bodoh.
Aku tidak punya gagasan akan bagaimana setelah ini. Dia berjanji akan
menyelesaikan semuanya, aku hanya tinggal tunggu beres. Aku belum menjawab. Tentu
saja aku belum menjawab! Untuk urusan seperti ini mana bisa kujawab seenak
jidat. Tapi seharusnya memang begitu. Maksudku, dia yang “menyeretku” ke sini,
bukan? Ah, sebenarnya ini hanya pembenaran. Dari awal hatiku cenderung memilih
untuk ikut campur. Aku tidak terbiasa menggelindingkan bolaku tanpa pengawasan.
Lagipula, siapa dia?! Aku menghela napas berat. Situasi ini terlalu rumit, aku
tidak bisa mengerti. Terlebih, aku juga sama sekali tidak bisa menemukan benang
merahnya untuk saat ini. Maksudku, kenapa aku, yang hanya seorang mahasiswa
desain biasa yang cenderung malas dan tidak punya nilai jual ini, harus
terlibat dengan seorang kriminal entah siapa!
Mobil sport hitamnya berhenti di lampu merah sebuah perempatan besar
Karanganyar. Suhu AC menggelitik leher membuatku refleks menggigil. Sepertinya
dia melihat detail kecil ini karena detik berikutnya ia menaikkan suhu ACnya,
membuatku sedikit lebih hangat. Aku bermaksud membisikkan terima kasih tapi
rupanya terlalu banyak berpikir dan akhirnya kami hanya diam lagi. Aku
mengutuki diriku sendiri. Oh, ayolah! Kemana diriku yang tidak terlalu pendiam
itu pergi?
“Malam itu,” dia, akhirnya, memecah keheningan. “Kenapa kau memutuskan
menolongku?”
Aku mengangkat bahu, “Kau sendiri, kenapa seenaknya masuk kosku?”
“Kosmu yang terdekat dengan pengamanan hampir nol. Lagipula, kukira
tidak akan ada seorang gadis yang pulang dini hari dan memergokiku,” ujarnya.
Aku merasa mukaku menghangat. Apa sebejat itu untuk seorang gadis
pulang dini hari? Sialan!
“Kolot sekali pemikiranmu! Jaman sekarang mana ada mindset seorang gadis pulang dini hari
berarti bejat!” bantahku.
“Siapa yang bilang bejat?” tanyanya.
Orang ini! Hiissh!
“Kaubilang pengamanan nol! Siapa bilang! Aku mengunci pintunya!” aku
mencoba mengendalikan arah percakapan.
“Cuma gembok aja. Maling ayam juga bisa membobol,” ujarnya, masih
datar.
“Kenapa sih kau begitu cerewet! Kenapa tidak sesimpel bilang-”
“Terima kasih,” potongnya.
“Iya,” jawabku canggung. “Sama-sama.”
“Jadi?” tagihnya. “Kenapa kau menolongku?”
“Waktu itu ada polisi yang-”
“Aku tahu,” dia memotong lagi. Baiklah, sepertinya dia kekeuh menginginkan jawaban dariku.
“Entahlah,” jawabku.
“Kenapa?”
“Aku nggak tahu! Kenapa sih ka uterus tanya kenapa?! Aku nggak tahu,
aku nggak tahu! Puas? Lagipula, kenapa sih menolong harus banget pakai alasan?
Mungkin, ya, okay, untukmu membunuh orang memang membutuhkan alasan tapi jangan
menerapkan standar ganda dong! Itu tidak berlaku untuk menolong kan?” bantahku.
Aku melihat tangannya mencengkeram stir mobil lebih erat. Dia seperti
susah payah menahan emosinya. Aku tidak tahu bagian mana dari kalimatku yang
salah. Apa salah merasa sedikit kesal atas cecaran pertanyaannya?
Dia menghentikan mobilnya. Oke, oke, aku siap diturunkan dimanapun.
“Kita sampai,” ucapnya.
eh?
Aku memandang keluar. Kami sudah berada di depan sebuah villa bergaya
modern minimalis dengan dinding yang sebagian besar tertutup kaca. Ini
rumahnya?
Hujan masih mengguyur deras, kami keluar dan buru-buru berlari ke
teras. Setelah sejenak mengusir hujan di rambut dan baju (yang sayangnya memang
sudah basah dari tadi), aku mengikutinya. Mengekor di belakangnya yang hendak
membuka pintu depan. Aku sudah melangkahkan kaki masuk saat dia menahanku.
“Ada apa?” tanyaku.
Di dalam sana gelap, hanya ada bantuan cahaya remang-remang dari luar
yang sayangnya pun sudah mulai redup tapi dia seperti bisa melihat segalanya.
Seketika dia memepetku ke tembok bersamaan dengan desing peluru yang memecahkan
kaca pintu dimana sebelumnya aku berdiri. Ada orang lain yang sudah menanti
kami!
Eraser #05 – to be continued.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
any advice?