Selasa, 23 Juni 2015

Eraser #05 (Part 1) – Psycho Killer



Seri sebelumnya :  Eraser#04 - Pemuja Hujan

Kita terlahir di dunia yang terlanjur rusak. Sebuah sistem kacangan namun serumit benang kusut membalut erat dunia ini. Seakan kita tidak lagi bisa berbuat sesuatu untuk memberi perbedaan. Orang-orang menghujat kastanisasi tapi secara naluri kita melakukannya. Ribut sana-sini menyuarakan toleransi dalam perbedaan tapi dalam komunitas masing-masing saling membicarakan yang lainnya. Paradoks. Berhenti naif, kita harus sama-sama mengakui selalu ada topeng yang senantiasa kita pakai untuk menghadapi orang lain, menghadapi dunia sosial. Tertawa, pura-pura menikmati sebuah acara padahal sebenarnya bosan setengah mati. Tersenyum menyambut orang baru padahal sebenarnya menilai dari ujung ke ujung sembari mencari celah dalam titik apa kita lebih tinggi derajatnya dibanding dia. Baiklah, aku tidak akan serta merta menggeneralisasi. Mungkin memang masih ada segelintir orang yang setulus nabi. Tapi itu tetap tidak sebanding.

Sama seperti kita sebagai individu, begitu pula dunia ini. Selalu ada lapisan-lapisan. Selalu ada dualisme. Aku tidak akan menerangkan tentang dualisme ini. Kuanggap kau mengerti. Kalau pun tidak, itu urusanmu.  Seperti siang dan malam, aku mengibaratkan dunia permukaan sebagai siang, dan dunia bawah sebagai malam. Siang, karena kita bisa melihat secara kasat mata apa yang terjadi sebagaimana adanya. Baik ya baik, buruk ya buruk. Bahagia ya terharu, sedih silakan menangis. Bahkan, hei, dalam dualisme ini pun masih saja terikat dalam paradoks yang sama. Tangis. Orang bilang air mata dari mata kanan menandakan kita tengah bahagia. Mata kiri berarti kita sedang dalam penderitaan. Sedangkan keduanya diartikan kita tengah jatuh dalam kefrustasian.  Tapi, apakah kita sekurang kerjaan itu mengamati dari sisi mana air mata kita jatuh saat keadaan sudah benar-benar diluar kendali?

Aku tidak. Setidaknya tidak bisa lagi. Aku terlanjur berjanji padanya untuk tidak lagi menangis. Walaupun dia selalu membuat segalanya sulit untuk tetap berpegang pada janji konyol itu.

Tentang dualisme. Tentang siang dan malam. Sekarang aku berusaha mati-matian hidup di keduanya. Aku jungkir balik mengais diriku yang lama untuk hidup dalam dunia permukaan, dunia orang normal. Tapi di satu sisi, aku bisa murni menjadi satu pribadi yang sama sekali lain untuk menghadapi dunia bawah permukaan, dunia malam. Hei, berhenti berpikir menjijikkan. Aku bukan pelacur, kalau itu yang kau maksud. Silakan ingat kembali tentang perumpamaan malam dan siang di atas sana.

Menulis. Aku tidak ahli di sini. Basic-ku desain meskipun akhir-akhir ini aku mengambil online degree politik. Tapi itu tidak terlalu menjelaskan apapun. Tulisan initidak, aku lebih suka menyebutnya catatan— catatan ini ada bukan karena aku ingin. Kalau bisa memilih, aku lebih suka tidak ada saja karena ada berarti banyak hal. Ah, paradoks lagi.

Pernahkah kalian merasa begitu sesak, begitu ingin berbagi sedikit saja, menceritakan sedikit saja masalah kalian kepada siapapun yang sudi mendengar? Mungkin sekarang aku ada di titik itu. Hanya saja, tanpa kewenangan untuk bisa menceritakan semua ini kepada semua atau pun seseorang. Seperti yang kubilang dulu, keberadaannya terlalu tabu untuk menggelitik keingintahuan orang. Ini pelarianku. Mencuri akun dan password orang dan menggunakannya untuk keegoisanku. Jadi, sejauh ini kurasa akan tetap begini. Biarkan aku sedikit bercerita kepada kalian, siapapun. Maaf kalau harus menyamarkan semua nama. Tapi aku tidak akan meminta maaf atas frekuensi menulisku yang seenaknya. Sudah kukatakan, ini tidak mudah dan kehidupanku yang sekarang sudah berbeda. Aku harus mencari celah diantaranya untuk bisa satu atau dua jam menulis di sini. Jangan tanya kenapa aku tidak menyerah saja karena aku, kurasa, butuh sedikit pelarian ini. Kuharap dia tidak akan tahu. Seperti dia yang tidak membiarkanku tahu lebih banyak.

*

Aku diam selama di mobilnya. Entahlah mau dibawa kemana. Badanku mulai menggigil karena basah tapi aku mati-matian bersikap seolah baik-baik saja. Gila? Sebut saja begitu. Lagipula semua sudah terlanjur menjadi  terlalu gila sejak aku bertemu dengannya. Sejauh ini anak-anak kosku yang apatis itu tidak tahu perihal “jengukan” polisi ke kos kami weekend lalu. Tapi tetap saja belum ada yang bisa dibilang normal. Pertama, tentang dia yang tiba-tiba bisa muncul di kosku dengan berdarah-darah, menyekapku, dan “memaksa” aku untuk akhirnya “menolong”nya. Baru bernapas sebentar, setelah kukira semua kembali normal lagi, aku dihadapkan pada pembunuhan mantan calon bosku di depan mataku! Dan itu semua dilakukan oleh orang yang sama! Bodohnya, sekarang aku di sini, di dalam mobilnya. Menurut patuh begitu saja seperti sapi yang dipacok hidungnya. Ya Tuhan, kami bahkan belum berkenalan secara resmi! Entah dunia ini yang gila atau aku yang terlalu bodoh.

Aku tidak punya gagasan akan bagaimana setelah ini. Dia berjanji akan menyelesaikan semuanya, aku hanya tinggal tunggu beres. Aku belum menjawab. Tentu saja aku belum menjawab! Untuk urusan seperti ini mana bisa kujawab seenak jidat. Tapi seharusnya memang begitu. Maksudku, dia yang “menyeretku” ke sini, bukan? Ah, sebenarnya ini hanya pembenaran. Dari awal hatiku cenderung memilih untuk ikut campur. Aku tidak terbiasa menggelindingkan bolaku tanpa pengawasan. Lagipula, siapa dia?! Aku menghela napas berat. Situasi ini terlalu rumit, aku tidak bisa mengerti. Terlebih, aku juga sama sekali tidak bisa menemukan benang merahnya untuk saat ini. Maksudku, kenapa aku, yang hanya seorang mahasiswa desain biasa yang cenderung malas dan tidak punya nilai jual ini, harus terlibat dengan seorang kriminal entah siapa!

Mobil sport hitamnya berhenti di lampu merah sebuah perempatan besar Karanganyar. Suhu AC menggelitik leher membuatku refleks menggigil. Sepertinya dia melihat detail kecil ini karena detik berikutnya ia menaikkan suhu ACnya, membuatku sedikit lebih hangat. Aku bermaksud membisikkan terima kasih tapi rupanya terlalu banyak berpikir dan akhirnya kami hanya diam lagi. Aku mengutuki diriku sendiri. Oh, ayolah! Kemana diriku yang tidak terlalu pendiam itu pergi?

“Malam itu,” dia, akhirnya, memecah keheningan. “Kenapa kau memutuskan menolongku?”

Aku mengangkat bahu, “Kau sendiri, kenapa seenaknya masuk kosku?”

“Kosmu yang terdekat dengan pengamanan hampir nol. Lagipula, kukira tidak akan ada seorang gadis yang pulang dini hari dan memergokiku,” ujarnya.

Aku merasa mukaku menghangat. Apa sebejat itu untuk seorang gadis pulang dini hari? Sialan!

“Kolot sekali pemikiranmu! Jaman sekarang mana ada mindset seorang gadis pulang dini hari berarti bejat!” bantahku.

“Siapa yang bilang bejat?” tanyanya.

Orang ini! Hiissh!

“Kaubilang pengamanan nol! Siapa bilang! Aku mengunci pintunya!” aku mencoba mengendalikan arah percakapan.

“Cuma gembok aja. Maling ayam juga bisa membobol,” ujarnya, masih datar.

“Kenapa sih kau begitu cerewet! Kenapa tidak sesimpel bilang-”

“Terima kasih,” potongnya.

“Iya,” jawabku canggung. “Sama-sama.”

“Jadi?” tagihnya. “Kenapa kau menolongku?”

“Waktu itu ada polisi yang-”

“Aku tahu,” dia memotong lagi. Baiklah, sepertinya dia kekeuh menginginkan jawaban dariku.

“Entahlah,” jawabku.

“Kenapa?”

“Aku nggak tahu! Kenapa sih ka uterus tanya kenapa?! Aku nggak tahu, aku nggak tahu! Puas? Lagipula, kenapa sih menolong harus banget pakai alasan? Mungkin, ya, okay, untukmu membunuh orang memang membutuhkan alasan tapi jangan menerapkan standar ganda dong! Itu tidak berlaku untuk menolong kan?” bantahku.

Aku melihat tangannya mencengkeram stir mobil lebih erat. Dia seperti susah payah menahan emosinya. Aku tidak tahu bagian mana dari kalimatku yang salah. Apa salah merasa sedikit kesal atas cecaran pertanyaannya?

Dia menghentikan mobilnya. Oke, oke, aku siap diturunkan dimanapun.

“Kita sampai,” ucapnya.

eh?

Aku memandang keluar. Kami sudah berada di depan sebuah villa bergaya modern minimalis dengan dinding yang sebagian besar tertutup kaca. Ini rumahnya?

Hujan masih mengguyur deras, kami keluar dan buru-buru berlari ke teras. Setelah sejenak mengusir hujan di rambut dan baju (yang sayangnya memang sudah basah dari tadi), aku mengikutinya. Mengekor di belakangnya yang hendak membuka pintu depan. Aku sudah melangkahkan kaki masuk saat dia menahanku.

“Ada apa?” tanyaku.

Di dalam sana gelap, hanya ada bantuan cahaya remang-remang dari luar yang sayangnya pun sudah mulai redup tapi dia seperti bisa melihat segalanya. Seketika dia memepetku ke tembok bersamaan dengan desing peluru yang memecahkan kaca pintu dimana sebelumnya aku berdiri. Ada orang lain yang sudah menanti kami!


Eraser #05 – to be continued.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

any advice?