The Greatest Stuff
Ariefah RAku sedang berdiri di sebuah toko buku. Melihat begitu banyak buku tertata rapi di rak-rak atau bertumpuk di meja, mengingatkanku akan sesuatu. Dulu, aku sangat membenci benda bernama buku. Bagiku itu adalah sumber masalah! Yang membuatku harus memeras otak setiap hari, mendapat omelan guru setiap kali aku tidak mengerti maksud dari buku itu atau omelan dari orang tuaku sendiri kalau aku mendapat nilai yang tidak sesuai harapan mereka.
Karena kebencianku pada buku, membuatku amat tidak suka membaca apapun yang berhubungan dengan buku dengan perkecualian buku pelajaran. Karena aku, dengan terpaksa, harus membaca buku pelajaran jika tidak ingin mendapat omelan dari guru dan orang tuaku. Meski aku membacanya hanya saat mau ujian.
Dan pada suatu sore yang gerimis, aku diajak temanku, Lily, untuk pergi ke toko buku. Aku tidak akan mau jika dia berkata jujur padaku. Karena dia berkata akan mengajakku ke café, jadi aku mau-mau aja. Tapi saat aku mengetahui ternyata dia mengajakku masuk ke sebuah toko buku, suasana hatiku langsung berubah 360º. Meskipun Lily berjanji tidak akan lama, namun tetap saja aku merasa jenuh.
Aku hanya duduk di pojok ruangan sambil menungu Lily yang sedang mencari buku. Tiga puluh menit berlalu dan Lily belum kembali dan parahnya, aku tidak tahu dimana dia sekarang! Jika aku ditinggalkannya di sebuah rumah makan atau di lapangan basket aku masih bisa memaafkan tapi tidak di toko yang penuh dengan buku-buku menyebalkan! Aku menghentakkan kedua tanganku ke samping kanan dan kiriku. Dan tiba-tiba, ‘BRUK!!”
“Oops, sorry,” kataku kepada seseorang yang semua bukunya bertebaran di lantai akibat hantaman tangan kananku. Dengan segera, aku membantunya merapikan. Dan beberapa menit kemudian…
“Thanks,” ucapnya sambil duduk di sampingku.
“Sama-sam…” aku baru menyadari kalau orang yang bukunya aku jatuhkan barusan, dan mengucapkan ‘thanks’ juga yang sedang memandangku sekarang adalah seorang malaikat penebar pesona. Bahkan aku bisa melihat aura pesona berceceran di sekitar tempatnya. Cowok ini cuakep banget! Uh, aku meleleh! Apalagi dengan background suasana di luar jendela yang membuatnya semakin keliatan…hhhh. Bagi kaum hawa, pasti kalian tau perasaan ini, saat bertemu dengan seseorang yang menarik hati. Bagi kaum adam, aku tidak tahu.
“Hei, liat apa, sih?!” katanya sambil ikut melihat ke samping kanannya.
“Ouh, enggak. Er..tadi ada…cleaning service,” kataku asal. Aku bisa menggelembungkan kepalanya sebesar Jupiter kalau sampai aku berkata yang sesungguhnya.
Dia mengerutkan dahi, “emang cleaning service-nya ganteng, ya? Kok sampai terpesona gitu?” tanyanya. Aku hanya tersenyum. “Bisa senyum, toh?” katanya lagi.
“Kok ngomong gitu?” balasku, tidak paham.
“Abis, aku liat dari tadi kamu cemberut mulu, sampai buku-bukuku juga jadi korban,” ucapnya lagi.
“Hehehe, sorry?” kataku agak malu. Tidak pernah terpikirkan olehku ada seseorang yang memperhatikanku. Aku merasa mukaku memerah saat itu.
“Nggak apa-apa, kok. Kenapa, sih? Di toko buku kok cemberut. Lagi ada masalah?”
“Enggak, sih. Aku cuma lagi nunggin temenku aja. Dia lagi nyari buku, katanya. Tapi dari tadi nggak balik-balik,” jawabku sambil melongok-longok ke sekeliling berlagak mencari Lily. Sebenarnya ini cuma alasan untuk tidak memperhatikan dia. Karena entah sejak kapan jantungku menjadi tidak normal cara berdetaknya. Aku benar-benar berdoa cowok di depanku ini tidak mendengar detak jantungku yang memekakan telinga.
“Ooh, kenapa nggak mbaca aja, daripada cemberut,” dia menawariku.
Dengan segera aku menjawab, “enggak! Nggak kalau soal buku!”
“Kenapa? Ada masalah sama buku?” tanyanya lagi.
“Bejibun!! Benda ini,” kataku sambil menunjuk buku di tangannya. “Membuat aku berpikir setiap hari, dimarahin guru, orang tua, dapet nilai jelek, membuat hidup sengsara dan banyak lagi!”tambahku. Setelah aku mengatakan ini aku baru sadar kalau pengendalian diriku hilang. Aku merasa mukaku kembali merah.
Sementara cowok itu tertawa. Aduuuh, imutnyaaa!! “Kok ketawa, sih!” kataku sambil pura-pura marah padahal menikmati juga.
“Sory, sory! Kamu tuh lucu, ya?” katanya sambil berusaha menghentikan tawanya. “Itu karena kamu memandang buku dari sisi formal,” katanya. Aku diam dan mendengarkan. “Buku itu lebih dari kumpulan kertas berisi rumus-rumus atau pelajaran sekolah. Setiap buku mempunyai ciri dan isi sendiri-sendiri. Buku pelajaran yang menurutmu menjemukan itu akan beda dengan buku-buku umum. Buku-buku ini akan lebih memberimu pengetahuan yang mencegahmu jadi orang kuper,” katanya.
Aku agak tidak terima dikatain kuper. “Tapi aku suka juga kok kalau baca-baca di internet,” kataku membela diri.
“Aku juga sering kayak gitu. Tapi akan beda kalau kamu mbaca langung dari buku. Lebih puas aja gitu. Lagian kan ilmunya buat kita juga. Sekarang mungkin kamu masih belum ngerasain pentingnya ilmu tapi saat nanti kamu dituntut untuk hidup mandiri. Kamu baru akan tahu betapa kamu butuh ilmu.”
Aku melihat buku Kimia di tangannya. “Kamu suka baca, ya?” tanyaku.
“Nggak sih sebenernya. Tapi kalau aku mesti nurutin kemauanku, aku nggak akan jadi orang di masa mendatang, kan?! Hidup itu juga menuntut profesionalisme. Bagaimana kita mengatur waktu, kebutuhan juga bagaimana kita menyikapai keadaan,” katanya. Aku hanya memandanginya. “Aku sebenernya juga bukan tipe orang yang patuh, terus belajar, selalu berkutat dengan buku, atau yang membosankan-membosankan lainnya.
Aku cuma lebih suka mematuhi peraturan yang aku buat sendiri. Kalau aku suka ya aku jalani. Tapi, ya tadi itu, belum tentu kita harus menjalani semua kesukaan kita karena hidup butuh profesionalisme,” ucapnya.
Aku tidak tahu mesti berkata apa. Ya kalau dipandang dari sisi mana pun, ucapannya itu benar, sih! Buku juga tidak bersalah. Perasaanku jadi nggak karuan gini, ya? pikirku.
“Coba deh kamu liat,” dia memberiku ensiklopedia ilmu pengetahuan yang dikeluarkannya dari tasnya. “Aku nggak minta kamu buat baca, lho! Cuma liat aja gambar-gambar di dalemnya, itu udah cukup memberi sedikit pengetahuan,” katanya sambil merapikan buku-buku di tangannya.
Aku melihat sampul buku ada gambar-gambar yang biasa terlihat di buku-buku pelajaran. Aku memandangnya dengan tidak minat. “Aku mesti pergi, nih!” katanya, yang ternyata, sudah berdiri dengan buku yang tadi aku jatuhin berada di tangan. Aku memandangnya dengan mimik menanyakan. “Mesti ngasihin buku-buku ini ke pegawai gudang. Ntar aku dimarahi lagi,” ucapnya sambil pergi.
“Hei!” panggilku. Dia berhenti dan menghadap ke arahku. “Gimana caraku ngembaliin ini?” tanyaku setengah teriak.
“Buka aja dulu!!” katanya sambil lalu.
Aku membuka buku itu. Ada tanda tangan dan inisial A.K di bawahnya. Mungkin tanda tangan cowok itu. Tunggu, cowok itu?? Oh my God!! Aku lupa kenalan!!
Itu kejadian beberapa tahun lalu. Saat aku masih kelas satu SMA dan sekarang aku sudah menjadi mahasiswi fakultas kimia. Aku tersenyum mengenang kejadian itu. Hawa dingin yang nyaman tiba-tiba terasa menembus dinginnya AC. Aku memandang ke luar jendela. Hujan. Sama seperti waktu itu. Aku memejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam.
Wajah cowok lima tahun lalu itu kembali melintas di pikiranku. Aku ingin bertemu dia untuk mengembalikan bukunya dan mengucapkan terima kasih.
“Masih membaca buku itu?” tanya seseorang. Aku mengenali suara ini. Meski agak beda namun masih memiliki ciri khas. Perlahan, aku membuka mataku dan membalikkan badan. Cowok lima tahun lalu itu kini telah menjadi lebih dewasa, ramping dan terlihat cool. Tatapan matanya terlihat tenang, masih sama seperti lima tahun lalu.
Dia mengenakan jaket hitam bergaris hijau di lengan yang di dalamnya ada kaos yang sewarna dengan garis lengannya dan bawahan celana jins. Aku harus mendongak untuk melihat wajahnya. Aku rasa dia tambah tinggi dari terakhir kali. Aku tersenyum saat melihatnya menatapku dengan senyuman. “Memang kamu pikir aku butuh waktu berapa lama untuk menyelesaikan sebuah buku?!” kataku menantang.
Dia tersenyum lagi. “Aku percaya, kok, kamu udah menyelesaikannya,” katanya.
Aku mengembalikan buku knowledge encyclopedia ke tempatnya dan mengambil sebuah buku yang sejenis namun berbahasa Indonesia, bukunya. “Ini. Makasih, ya?” kataku sambil mengulungkan buku kepadanya.
Dia menerima buku itu. “Kamu punya indra ke enam atau buku ini memang selalu kamu bawa kemanapun kamu pergi?” tanyanya terlihat heran.
“Aku cuma lagi pengen mbawa aja, eh, malah ketemu kamu, ya udah,” jawabku.
“Errmm…Enaknya aku manggil kamu dengan nama apa, ya? Soalnya kalau ‘aku, kamu, hei’ kok rasanya nggak enak banget,” aku tahu dia ingin mengajak kenalan. Baru pertama aku melihat cowok yang bisa menjaga sikap dengan tidak menyebutkan kata kenalan atau permohonan untuk kenalan.
Aku tersenyum sambil mengacungkan tangan, “Iefara Putri,” kataku.
Dia menjabat tanganku sambil berkata, “Arka Kurnia,” katanya.
Selanjutnya, dia mengajakku ke café yang ada di atas toko buku ini. Kami ngbrol banyak sambil menikmati secangkir kopi. Hujan di luar terasa begitu indah. Aku sulit untuk tidak tersenyum. Harapanku terkabul. Aku bisa bertemu dia lagi, Arka, seseorang yang sudah mengubah hidupku.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
any advice?